Bagas meletakan kembali tali tambang biru yang siap menjadi perantara ruh nya menuju neraka. Masih dengan perasaan gundah, Bagas menangis sejadi-jadinya. Mempertanyakan kepada ruang kosong tentang alur hidupnya yang nestapa. Dia menendang galon air mineral di belakang pintu. Suaranya gaduh memecah sunyi.
Ini adalah bulan ramadan. Bulan yang kehadirannya disambut suka cita oleh seluruh umat muslim. Kecuali Bagas. Begitu banyak keresahan berkecamuk pada jiwanya. Ramadan kali ini harus Bagas lalui tanpa pekerjaan dan tanpa pendamping hidup. Separuh napasnya telah meregang nyawa diamuk Covid- 19 secara tiba-tiba. Kini, hanya ada dia dan Adiasta anak semata wayangnya. Bocah autisme berusia enam tahun.
Dalam duka yang masih bersemayam atas perginya belahan jiwa, Bagas masih harus banting tulang mencari pekerjaan untuk membiayai kehidupannya dan Adiasta. Merawat anak autisme tidak mudah. Butuh banyak kekhususan. Makanan tidak boleh mengandung pengawet, tepung terigu, ataupun susu sapi. Mi instan tak bisa diberikan kepadanya padahal di masa sulit ini mi instan satu-satunya solusi mengganjal perut di kala lapar.
Belum lagi ketika Adiasta tantrum saat malam tiba. Biasanya bocah kecil itu tidak mau tidur hingga menjelang pagi. Kalau sudah begitu, Bagas harus meladeni anaknya sampai tertidur. Otomatis akan berat sekali kepalanya saat bangun di pagi hari. Ini terus berulang.
“mamam mamam mamam” gumam Adiasta. Begitulah caranya meminta makan saat dia lapar. Dia tak bisa berkomunikasi verbal dua arah. Seringnya, bila ingin sesuatu, dia menarik tangan Bagas atau mengoceh-ngoceh.
“Iya sayang, tunggu ya. Papa masakin telur dadar dulu”, ucap Bagas kepadanya sambil membelai rambutnya. Entah dia paham atau tidak, tapi Bagas selalu mengajak dia berbicara layaknya dia paham.
Adiasta meloncat-loncat sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Suatu kebiasaan seorang anak dengan autisme. Segera Bagas kunci pintu depan agar Adista tidak keluar. Setelah itu Bagas menuju dapur untuk membuatkan Adiasta telur dadar. Hanya telur, tahu, dan tempe yang yang sanggup Bagas berikan di masa sulit ini.
Dulu, saat Bagas masih berpenghasilan tetap, dan istri masih ada, Adiasta mendapatkan haknya sebagai anak dengan baik. Adiasta diikutkan terapi sensori integrasi pada salah satu klinik tumbuh kembang di kawasan Jakarta Selatan. Istrinya juga selalu membuatkan makanan kesukaan Adiasta. Pepes tahu, opor ayam kampung, pampis ikan cakalang, tempe bacem, nuget ayam, dan kue-kue berbahan tepung mocav.
“Adi, ini telurnya udah mateng. Mam yuk. Papa suapin”. Dengan hati perih Bagas menyuapinya sendok demi sendok. Adi tak bisa diam. Terus saja mondar-mandir sambil mengunyah makanannya lahap sekali. Melihat Adi mau memakan maakannya, membuat luka Bagas sedikit memudar. Tak banyak yang bisa Bagas lakukan untuk putranya selain menjaga dan memberikan yang dia bisa.
Angin sore berhembus syahdu menembus celah-celah jendela kamar. Bagas merasa kedinginan. Bagas menutup jendela rapat-rapat, lalu mengambil dompet coklat hadiah ulang tahun dari mendiang istrinya. Isinya ada 55 ribu rupiah. Ya, tinggal segitu saja.
Bagas memutar otak, bagaimana caranya agar sisa uang itu bisa menghidupi Bagas dan putranya sampai dia mendapatkan pekerjaan kembali. Di masa pandemi ini, mencari pekerjaan tak semudah saat sebelum pandemi. Banyak perusahaan gulung tikar.
Entahlah, atau mungkin Bagas yang terlalu pemilih. Bagas memang memilih tempat bekerja yang tak jauh dari tempat penitipan anak. Mau bagaimana lagi, tak mungkin Adiasta ditinggalkannya seorang diri di rumah.
Semalaman Bagas mencari solusi. Akhirnya Bagas memutuskan untuk menggunakan empat puluh ribu sebagai modal berjualan kolak atau takjil buka puasa. Sementara sisanya untuk membeli makan esok hari.
Bagas mengajak anaknya ke pasar untuk berbelanja. Sangat merepotkan. Adi tak bisa berada di tempat ramai. Ia kerap menarik-narik tangan papanya meminta pergi dari situ. Dia meraung-raung dan berguling di tanah becek. Badannya kotor.
Seorang ibu berteriak ke arah Bagas, “Pak. Anaknya jangan dipaksa gitu!”.
Ada lagi yang kasak-kusuk, “Anaknya kenapa sih? Kelainan kali ya?.”
Ada juga yang membela sambil menghampiri ingin menolong, “Eh. Bulan puasa gak boleh julid. Kita kan gak tahu apa yang terjadi sama bapak itu. Lagian elu bukannya nolongin.”
Dengan segenap upaya, Bagas berulang kali menenangkan Adi. Teriakan dan cemooh orang diabaikannya. Orang yang ingin menolong pun mentah karena Adi tak bisa ditenangkan oleh siapapun selain papanya. Acara berbelanja mereka seperti drama. Mata orang-orang terus menatap aneh ke arah mereka seperti sedang menonton sebuah pertunjukan. Setelah segala upaya dilakukan, akhirnya mereka berhasil membeli kebutuhan membuat kolak.
Setibanya di rumah, Adi langsung dimandikan oleh Bagas menggunakan air hangat. Jangan dibayangkan itu air hangat dari water heater, melainkan campuran air panas di dalam termos Lion Star yang dituangkan ke dalam sebuah ember kemudian dicampur air keran. Jadilah air hangat.
“Adi cepet bobo ya nak. Papa mau belajar bikin kolak dan gorengan di youtube. Besok Adi ikut papa jualan ya”. Ucap Bagas. Adiasta seolah paham. Malam itu Adi lekas tidur.
Meja coklat Bagas pasang di tepi jalan. Wadah-wadah kolak Bagasn jejerkan di atasnya. Bagas yakin, ramadan ini akan menjadi ramadan berkah buat mereka. Benar saja. Dagangan mereka terjual habis. Ucapan syukur kepada sang pencipta tak putus Bagas panjatkan. Setelah membereskan peralatan, Bagas langsung menuju rumah untuk berbuka puasa. Sehabis tarawih, Bagas dan Adi akan belanja lagi untuk berjualan besok. Pasti akan ada drama nanti di pasar. Tapi Bagas siap melaluinya.
“Adi, c’mon. Ikut papa lagi!.” Seru Bagas padanya. Adi sigap sekali. Dia mengambil sepatu dan memakainya sendiri. Bagas nyalakan motor hitamnya, dan dia ikat pinggang Adi ke pinggangnya menggunakan jarit merah agar Adi tak terjatuh apabila mengantuk di jalan.
Keesokannya, mereka berjualan lagi. Dagangannya laris lagi. Tapi, ada yang berbeda dengan Adi. Biasanya dia loncat-loncat dan mondar-mandir, tapi kali ini dia lebih banyak duduk diam. Bagas menggendong Adi dan memeluknya. Suhu tubuh Adi panas sekali. Bagas panik. Dia bergegas membawa Adi ke dokter. Sisa tiga gelas kolak diberikannya kepada teman sesama pedagang sekaligus menitipkan barang-barangnya sebentar.
Sesampainya di rumah sakit, dokter mengatakan bahwa Adi terkena infeksi paru-paru dan harus dirawat. Mendengar itu, seketika saja dunia Bagas runtuh. Jiwa rapuhnya yang sudah mulai disusun rapi langsung hancur berkeping-keping. Adi, kawan hidup satu-satunya harus dirawat di rumah sakit. Malang, Bagas sebagai ayahnya tidak diizinkan menjaga karena prosedur masa Covid-19.
“Bagaimana aku bisa kecolongan?. Selama ini aku menjaga Adi dengan sangat baik.” Bagas bicara sendiri. Suaranya bergetar.
Langkahnya lunglai menuju parkiran motor. Kacau sekali pikirannya sepanjang perjalanan menuju rumah. Bukan karena biaya. Bagas tidak memikirkan biaya karena biaya perawatan Adi sudah ditanggung oleh asuransi. Kalaupun tak ditanggung asuransi, Bagas akan bekerja keras mencari biayanya.
Bagas memikirkan, bagaimana menjalani hari tanpa belahan jiwa dan buah hati. Di rumah sederhana itu, hanya Bagas seorang diri beserta seluruh kenangan seperti serpihan puzzle. Bagas menyusunnya hingga menjadi cerita yang membuatnya sesekali tersenyum dan menangis sendiri. Cerita tentang masa-masa indah bersama istri dan anak tercinta di rumah itu.
Ini adalah hari ketiga Bagas berjualan takjil di bulan ramadan. Bagas menguatkan dirinya, karena kalau dia tumbang, tak ada lagi tangan hangat yang akan memeluk dan membelai Adiasta. Orang lain tak akan menyayangi Adi seperti Bagas menyayanginya. Terlebih, adalah anak dengan autisme. Bagas sangat takut apabila Adiasta disia-sia oleh orang lain.
Kelar berjualan, Bagas menjenguk Adi di rumah sakit. Bagas hanya bisa menatapnya dari balik pintu kaca. Pedih, namun tak mengapa selama dia masih bisa melihat malaikat kecilnya.
Adi terbaring dengan selang-selang infus di tubuhnya. Matanya terpejam. Dia sangat tenang, mungkin pengaruh obat tidur. Biasanya, jangankan diberi selang. Ditempeli sesuatu di kulitnya saja Adi selalu memberontak. Begitulah anak autisme.
“Adi, papa rindu kamu nak.” Bisik ku pada dinding kaca.
Tangan Adi bergerak-gerak. Mungkin dia merasakan kehadiran papanya. Kekuatan Bagas tumbang. Bagas menyandarkan dirinya pada kursi putih depan ruang perawatan Adi. Dia ingin menemani anaknya di situ meskipun terpisah oleh tembok kaca.
Namun seorang perawat menghampiri dan mengatakan bahwa waktu besuk sudah habis. Bagas tidak diperbolehkan menunggu di situ. Bagas seperti tersesat. Bingung. Berat melangkahkan kaki menuju rumah, tempat yang sejatinya di sanalah terdapat cinta dan kehangatan.
“Buat apa aku pulang ke rumah. Aku sebatang kara.”
“Adi anak ku, malaikat ku, lekas sembuh ya nak. Papa ingin main lagi sama kamu. Papa kangen lihat Adi loncat-loncat.” Bagas berujar sendiri dalam derasnya air mata.
Hari ini, hari keempat Bagas berjualan. Tak hanya kolak. Ada juga nasi bakar, dan kue cucur titipan orang. Lumayan untuk menambah penghasilan. Bagas berniat membelikan sepeda roda empat untuk malaikat kecilnya.
Alhamdulillah di tengah suasana depresi Bagas masih memiliki kesadaran. Bagas selalu membaca ayat suci Al-qur’an setelah selesai tarawih. Pada puasa kelima ini dia sudah membaca sampai juz sebelas. Sebelum sahur pun tak lupa Bagas melaksanakan salat tahajud. Seluruh doa dan harapannya adalah kembalinya Adiasta dalam pelukannya.
Kondisi kesehatan Bagas sedang tak baik. Karenanya dia tak membesuk Adi malam itu. Sedari siang, kepala Bagas terasa berat dan sakit. Bagas khawatir terjatuh dari motor apabila pergi menjenguk Adi. Kalau naik ojek online cukup mahal. Biarlah hanya malam ini saja. Rangkaian doa Bagas kirimkan untuk menemani Adi yang terbaring dalam balutan infus.
“Papa.. papa.. papa.. papa..” Adi mengigau sepanjang malam. Dia memanggil-manggil papanya seperti tahu bahwa malam itu papanya tidak datang.
“Papa… Adi mama.. Adi mama”. Adi yang bicaranya memang belum lancar, berulang-ulang juga mengucapan -Adi mama Adi mama-. Tubuh Adi kejang. Napasnya putus-putus. Tim medis langsung memberikan penanganan medik. Salah satu perawat berulang kali menghubungi Bagas namun tak ada respon. Mungkin Bagas terlelap karena obat yang diminumnya mengandung obat tidur.
Bagas terburu-buru menuju rumah sakit setelah melihat ada banyak telepon masuk semalam dari rumah sakit.
“Betapa aku sudah di ujung kekuatanku sebagai manusia. Aku tak punya tempat berbagi. Orang tua sudah tiada. Adik-adik berada di lain kota. Selain itu, aku memang tak mau mereka mengetahui kesengsaraanku saat ini.” Pagi itu, Bagas meracau di depan ruang perawatan putra semata wayangnya sambil melihat-lihat foto keluarga di telepon genggam miliknya.
Di luar sana, hujan mengguyur kota. Halilintar bersahutan tak mau kalah dengan suara bising kendaraan. Kaki-kaki berlarian mencari tempat berteduh. Bagas sesekali mengeluarkan tangannya dari jendela ruang tunggu untuk merasakan dinginnya air hujan. Alam seperti merasakan keperihannya.
Kondisi Adi masih belum stabil. Dokter dan perawat keluar masuk ruangannya secara berkala. Seribu doa Bagas panjatkan kepada sang Pencipta. Ramadan ini, Tuhan telah menyelamatkan perekonomian Bagas dengan melariskan dagangannya. Bagas memohon sekali lagi agar Tuhan memberikan anugerahnya, yaitu keselamatan Adiasta.
Bagas mengamati setiap raut wajah di rumah sakit itu. Wajah dokter yang tenang, wajah perawat yang lelah, wajah keluarga pasien yang pasrah, dan wajahnya sendiri yang terpantul di kaca pintu ruang perawatan. Wajah lusuh, kesepian, lelah, dan depresi.
Tanpa bicara, Bagas berjalan menelusuri setiap koridor di lantai tiga rumah sakit. Tiba-tiba, dia menekan nomor telepon adik-adiknya. Ini titik terendah dalam hidup Bagas. Prinsipnya luluh. Dia menceritakan kondisinya, dan meminta adik-adiknya untuk datang ke Jakarta.
Dulu, Bagas memang tidak bisa menerima kondisi Adiasta saat dokter mendiagnosa anaknya sebagai anak autis. Bagas kerap bersikap kasar bahkan menginginkan Adi untuk kembali ke pangkuan-Nya saja. Namun berkat mendiang istri tercintanya yang begitu sabar merawat Adi dan juga memberikan pengertian kepada Bagas, kini, setelah perjalanan panjang dalam hidupnya, Bagas menyadari bahwa Adi merupakan nyawanya. Rumahnya. Penawar rindunya. Rasa sayang Bagas kepada Adi tak main-main. Bagas sangat menyayangi Adi bahkan takut kehilangan Adi. Terlebih, setelah istrinya kembali ke pangkuan sang pemberi hidup.
Suster memanggil-manggil nama Bagas. “Pak Bagas. Pak Bagas.”
“Iya suster ada apa?.”
“Akan dilakukan tindakan medis terhadap anak bapak. Apabila bapak menyetujuinya, tolong ditandatangani.”.
Permintaan suster seperti bukan pilihan meskipun suster mengatakan -apabila bapak menyetujuinya-. Bagas masih trauma dengan kejadian setahun lalu. Sebelum istrinya menghembuskan napas terakhirnya, Bagas juga diminta menandatangani surat yang langsung dia tandatangani tanpa dibaca terlebih dahulu.
Dia pikir, tak mungkin dokter melakukan tindakan kalau bukan karena bagian dari prosedur kesehatan. Kalau Bagas tidak menyetujuinya, lantas bisa apa?. Kalau setuju dan kemudian terjadi apa-apa, lantas bisa apa juga?. Bagas hanya pasrah. Akhirnya dia menyetujui tindakan medis yang akan dilakukan kepada malaikat kecilnya yang terbaring lemah di atas kasur berseprei putih.
Hari sudah larut, Bagas diminta meninggalkan tempatnya menunggu Adi. Dia pulang.
Di rumah, sudah ada dua orang adiknya. Nelly dan Fajri. Nelly datang dari Kalimantan Selatan, dan Fajri dari Semarang. Mereka bisa langsung masuk karena Bagas memberitahu kunci rumahnya ditaruh di dalam pot.
“Bang, gimana kondisi Adi.”
“Gak tau lah dek. Kata dokter akan terus diupayakan untuk pulih. Cuma dia satu-satunya harta abang. Abang ingin mati saja bila Adi tak selamat.”
“Sabar bang. Kita berdoa terus.” Kata Nelly, adik kedua Bagas.
“Kenapa abang tak pernah cerita kepada kami tentang keadaan abang?. Kalau ditelepon selalu bilang baik, baik, baik.” Sambil membuka kulkas dan lemari-lemari di dapur, Fajri adik ketiga Bagas, menyayangkan sikap abangnya. Fajri menggeleng-gelengkan kepala melihat isi kulkas hanya ada satu butir telur dan sedikit bahan-bahan jualannya. Toples gula, kopi, dan teh juga kosong. Isi rumah pun berantakan.
Meski iba, tapi Fajri tak memperlihatkannya karena dia tahu, abangnya tak mau dikasihani. Abangnya dulu manajer hotel yang sukses. Kuliah adik-adiknya pun ditanggung oleh Bagas. Fajri yakin, pasti abangnya tak mau membebani adik-adiknya. Padahal, berkat Bagas kini Nelly dan Fajri menjadi sukses juga. Nelly berprofesi sebagai pengusaha kelapa sawit dan batu bara di Kalimantan Selatan dan Fajri berprofesi sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Semarang.
Karena di rumah Bagas tidak ada apapun untuk dimakan, maka malam itu juga Fajri belanja kebutuhan untuk di rumah Bagas, sekalian makanan siap saji untuk sahur nanti.
Dua hari berlalu. Kondisi malaikat kecil Bagas tak menunjukan perkembangan. Perasaan Bagas mulai tidak enak. Namun terus ditepisnya karena dia tak ingin itu menjadi doa. Sebisa mungkin Bagas berpikir yang baik-baik tentang Adiasta.
Malam itu, Bagas dan kedua adiknya membesuk Adi di rumah sakit. Ada kejanggalan. Biasanya jam 11 malam seluruh keluarga pengunjung sudah diminta meninggalkan tempat. Namun kali ini beda. Pengunjung memang diimbau untuk pergi, kecuali keluarga pasien Adiasta.
Bagas tertidur di bangku puti depan ruang perawatan Adi. “Pa, Adi seneng bisa menjadi bagian dari hidup papa. Terima kasih ya pa. Papa jangan sakit, jangan sedih terus. Adi sayang papa.” Tiba-tiba saja Bagas terbangun. Bagas bingung karena dalam mimpinya Adi bisa berkomunikasi. Bagas langsung berdiri lalu menghampiri adik-adiknya yang sedang berkomunikasi dengan suster.
“Ada apa ini?. Kenapa semua terlihat panik?.” Tanya Bagas.
“Bang, yang kuat ya bang. Adi kritis. Maaf tadi Abang tidak kami bangunkan karena sudah dua hari Abang tak tidur. Baru tadi kami lihat abang bisa terlelap.” Jawab Nelly.
Tak lama berselang, Dokter keluar dari ruang perawatan. “Pak Bagas, mohon dikuatkan hatinya. Kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi Tuhan lebih sayang dengan Anak bapak.” Kuabaikan dokter bicara. Aku langsung berlari dengan air mata bercucuran ke arah pembaringan malaikat ku. Aku memeluknya. Kalau bisa, aku ingin ikut dengannya. Curang. Kenapa istri dan anakku kini bisa bersama sementara aku tertinggal sendirian di dunia.
“Aku menyesal dulu pernah berdoa kepada Tuhan untuk mengambil Adiasta kembali ke pangkuannya hanya karena dia autis. Tapi kan sekarang aku sudah berubah. Kenapa di kala aku sudah menyayanginya dengan sepenuh hati, Tuhan malah menjemputnya?.” Bagas meraung-raung seperti anak kecil di ruangan berpendingin ruangan 24℃ itu.
Ramadan ini, menyisakan banyak kisah bagi kehidupan Bagas. Tuhan memberi Bagas rezeki materi lewat dagangannya yang laris saat tak ada uang lagi, tapi Tuhan juga mengambil malaikat kecilnya yang autis. Hidup benar-benar hanyalah sebuah titipan. Tak lebih.
Mendengar suara galon yang berisik dari gudang, Nelly langsung menghampiri. “Ya Allah. Ada apa ini abang?. Kenapa ada tali tambang di leher abang?.” Ternyata lingkaran tali tambang masih melingkar di leher Bagas. Gulungannya lah yang Bagas letakkan kembali di meja.
“Fajri! Fajri! Sini cepat.” Teriak Nelly. Fajri bergegas menghampiri. Tanpa perlu menjelaskan apapun, Nelly dan Fajri langsung memeluk abangnya.
“Bang, sabar ya bang. Nanti biar abang ikut Fajri saja ke Semarang. Kita habiskan ramadan di sana. Kita lebaran di sana”. Bujuk Fajri.
“Abang boleh sedih. Tapi abang jangan lakukan hal-hal yang dilarang agama seperti ini. Kasihan istri dan anak abang di sana”. Nelly menambahkan sambil menangis memeluk abangnya. Bagas diam saja.
“Ayo kita wudu bang. Kita salat Zuhur berjamaah. Kita memohon rahmat dan ampunan kepada Allah. Insya Allah pada ramadan Allah akan memberikan kebaikan kepada umatnya yang berserah diri.” Fajri mencoba menenangkan abangnya.
Seketika saja, Bagas melepas tali di lehernya, kemudian membalas memeluk adik-adiknya. “Iya. Abang salah sudah berbuat begini. Abang akan berusaha mengikhlaskan kepergian Adi. Allah pasti punya rencana lain untuk hidup abang.”
Mereka pun solat berjamaah, membaca kitab suci Al-qur’an, lalu bersiap-siap merapikan pakaian yang akan Bagas bawa ke Semarang. Bagas akan memulai hidup baru di Semarang. Ramadan ini, menjadi awal baru jejak langkah Bagas menuju ridho Ilahi.