Dalam konteks apapun, sistem patriarki memiliki dampak negatif terhadap kondisi kesejahteraan masyarakat. Patriarki secara sederhana dipahami sebagai sebuah sistem sosial yang didominasi oleh laki-laki. Dalam sistem patriarki, kelompok laki-laki memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk memerintah, menindas, bahkan mengeksploitasi kelompok perempuan. Oleh sebab itu dalam sistem patriarki, perempuan merupakan kelompok yang tersubordinasi.

Kontrol dan dominasi dalam sistem patriarki bertujuan untuk memastikan adanya keamanan bagi kelompok laki-laki. Menurut Allan Johnson dalam The Gender Knot: Unraveling Our Patriarchal Legacy (1997), patriarki mendorong laki-laki untuk mencari keamanan, status, dan penghargaan lainnya melalui kontrol. Patriarki juga mendorong laki-laki untuk mempertahankan kendali untuk melawan ancaman.

Pengertian dari Johnson tersebut menunjukkan bahwa patriarki bukan hanya sekedar hubungan antara laki-laki dan perempuan, namun lebih mengenai apa yang terjadi di antara laki-laki. Oleh sebab itu, Johnson melihat bahwa penindasan dan subordinasi terhadap perempuan merupakan bagian penting dari patriarki, namun secara paradoks hal tersebut bukan hal yang inti dari patriarki.

Dalam tulisannya yang berjudul A New Definition of Patriarchy: Control of Women’s Sexuality, Private Property, and War (2016), Carol. P Christ mendefinisikan sistem patriarki sebagai sistem dominasi yang ditegakkan melalui kekerasan dan ancaman. Christ menyebut bahwa etos perang yang melegitimasi bentuk kekerasan di mana laki-laki memiliki dominasi terhadap perempuan melalui kontrol seksualitas serta kontrol kepemilikan sumber daya merupakan akar utama dari terbentuknya sistem patriarki.

Sistem patriarki di era kontemporer saat ini tidak dapat disejajarkan dengan sistem patriarki pada era sebelum masa industrialisasi. Carol. P Christ (2016) menyebutkan bahwa di era industrialisasi, beberapa aspek dalam sistem patriarki diintensifkan sementara yang lain dikurangi. 

Christ menyebut era industrialisasi mengintensifkan patriarki untuk mengeksploitasi sumber daya menjadi lebih efisien atau membuat teknologi untuk perang. 

Sementara itu, gerakan-gerakan perempuan cenderung berusaha untuk dihapuskan. Christ menambahkan bahwa industrialisasi menyebabkan runtuhnya sistem integral patriarki yang berbasis pada kontrol perempuan, kepemilikan pribadi, dan perang.

Diskriminasi Gender dan Penggunaan Kekerasan

Sama halnya dengan sistem sosial lainnya, sistem patriarki pada dasarnya juga memiliki sifat yang tidak tetap. Sistem patriarki dapat muncul dalam sistem pemerintahan demokrasi, otoriter, maupun monarki. 

Sistem demokrasi juga pula dapat muncul di sistem ekonomi neoliberal maupun sosialis. Sistem patriarki yang mendominasi tatanan sosial politik akan memunculkan kecenderungan bagi negara untuk mempertahankan sistem yang ada.

Dalam kerangka sudut pandang patriarki, kekerasan yang muncul terhadap perempuan merupakan masalah yang muncul dalam konteks sosial dan budaya, bukan masalah individu. Patriarki dan struktur yang dipertahankannya menjadi akar utama penyebab kekerasan yang melegitimasi perbuatan seseorang melakukan kekerasan.

Masyarakat yang patriarkis akan cenderung mempertahankan dominasi laki-laki atas perempuan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Dominasi ini akan menyebabkan kelompok laki-laki memiliki kekuatan yang dominan di masyarakat dan memunculkan ketidaksetaraan gender. Terdapat empat indikator global untuk mengukur kesetaraan gender; (1) partisipasi dan kesempatan ekonomi, (2) tingkat Pendidikan, (3) partisipasi politik, dan (4) kesehatan dan kelangsungan hidup.

Berdasarkan Global Gender Gap Report 2021 yang diterbitkan oleh World Economic Forum, Timur Tengah dan Afrika Utara merupakan dua wilayah yang memiliki ketimpangan gender paling tinggi di antara wilayah lain. Menurut laporan tersebut, diperlukan waktu kurang lebih 142.4 tahun untuk memperbaiki ketimpangan gender di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara.

Sistem patriarki yang mendominasi telah menjebak banyak keluarga di Timur Tengah dan Afrika Utara. Diskriminasi gender terjadi di dalam keluarga tercermin melalui peran dominan laki-laki yang memiliki kehormatan lebih tinggi ketimbang perempuan. 

Hampir seluruh pemimpin politik yang superior di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara merupakan laki-laki. Sistem patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin politik akan cenderung menghasilkan kebijakan politik yang menempatkan perempuan dalam posisi rentan.

Kekerasan merupakan karakter utama yang ada di dalam masyarakat patriarki. Kekerasan yang muncul dalam sistem patriarki dapat berbentuk kekerasan fisik, verbal, ekonomi, atau kekerasan seksual. 

Dalam konteks ini, perempuan dan anak-anak merupakan korban utama dari kekerasan yang tercipta dari sistem patriarki. Sistem patriarki pada dasarnya dikembangkan dan dikendalikan oleh laki-laki yang dominan terhadap perempuan, anak-anak, atau bahkan laki-laki lain.

Dalam keluarga yang patriarkis, pengambilan keputusan di rumah merupakan hak prerogatif laki-laki dan menghendaki adanya peran gender yang kaku. Oleh sebab itu, laki-laki yang ada dalam sistem patriarki cenderung melakukan rasionalisasi terhadap kekerasan yang mereka lakukan. 

Rasionalisasi kekerasan ini sebagai misalnya keyakinan pada pemukulan terhadap istri merupakan sesuatu yang sah dan bentuk dari sikap disiplin. Penggunaan kekerasan oleh laki-laki terhadap perempuan dianggap sebagai bentuk sikap laki-laki untuk mengendalikan perempuan.

Selain kekerasan dalam keluarga, masyarakat patriarki juga cenderung menggunakan kekerasan di dalam institusi negara. Sistem patriarki yang mendominasi sebuah negara akan cenderung menghasilkan ketimpangan wakil perempuan dalam representasi politik. 

Oleh sebab itu, kekerasan—verbal maupun fisik—akan cenderung terus terjadi di dalam negara yang didominasi oleh masyarakat patriarki karena tidak negara tidak mampu hadir untuk mengakhiri kekerasan.

Selain kekerasan dalam keluarga, kondisi masyarakat yang patriarkis juga mampu mendorong terjadinya kekerasan dalam tingkat negara. Nilai-nilai dalam militer memiliki kontribusi terhadap konstruksi gender—maskulin dan feminin—yang menghasilkan peran gender yang kaku di masyarakat. Colleen Burke (1999) dalam tulisannya yang berjudul Women and Militarism menyebut bahwa patriarki merupakan salah satu akar dari militerisme.

Hasil penelitian dari Elveren dan Moghadam (2022) dalam Militarization and Gender Inequality: Exploring the Impact menunjukkan bahwa tingkat militerisasi dalam suatu negara secara signifikan memiliki korelasi dengan tingkat ketimpangan gender. Elveren dan Moghadam (2022) juga menemukan bahwa ketimpangan gender yang ada di politik secara signifikan berdampak terhadap jumlah pengeluaran militer yang digunakan oleh sebuah negara dalam perang.

Menurut Global Peace Index 2021, kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara merupakan Kawasan yang paling tidak aman di dunia. Dalam laporan tersebut, Timur Tengah dan Afrika Utara merupakan rumah bagi tiga dari lima negara yang rawan konflik di dunia. Laporan ini berbanding lurus dengan laporan dari Global Gender Gap Report 2021 yang juga mencatat bahwa Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara merupakan kawasan yang memiliki ketimpangan gender paling tinggi.

Perempuan merupakan kelompok yang paling dirugikan atas berlangsungnya sistem patriarki. Dalam studi kasus di Afrika misalnya, sistem patriarki yang terbentuk acap kali memberikan otoritas kepada ayah sebagai keluarga untuk mengontrol seluruh kehidupan anggota keluarga termasuk istri dan anak-anak mereka. Ayah dapat mengontrol atau bahkan memaksa istri atau anak-anak mereka untuk bekerja sesuai kehendak sang ayah.

Selain itu, patriarki menjadi faktor penting yang membentuk peluang kerja bagi perempuan. Sekalipun perempuan telah masuk ke dalam dunia kerja, namun perempuan masih berada dalam posisi yang rentan. Masyarakat yang patriarkis umumnya memberikan peran ideal bagi laki-laki sebagai seorang pencari nafkah utama. 

Sementara itu, perempuan menikah yang bekerja dianggap hanya memberikan penghasilan tambahan untuk keluarga. Hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya kesenjangan upah antara pekerja perempuan dan pekerja laki-laki.

Dalam studi gender, masuknya perempuan ke dunia kerja yang dibarengi dengan perkembangan ekonomi di dalam masyarakat patriarkis sukar memberikan dampak positif bagi perempuan. Hal ini disebabkan oleh adanya kesenjangan—terutama upah dan beban kerja—yang terjadi antara pekerja laki-laki dan perempuan.

Sistem sosial patriarki yang ditegakkan dalam sebuah struktur masyarakat akan selalu menghambat tingkat kesejahteraan yang ada di dalamnya. Dalam konteks ini, kesejahteraan tidak boleh hanya diasosiasikan dengan kondisi ekonomi masyarakat. Kesejahteraan perempuan tidak hanya diukur melalui parameter ekonomi, namun juga sosial, kesehatan, dan keamanan.

Melalui standar ekonomi misalnya, Korea Selatan dan Jepang merupakan dua negara yang dapat dikategorikan sebagai negara sejahtera. Namun kedua negara tersebut masuk ke dalam negara patriarkis yang dibuktikan dengan tingginya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. 

Berdasarkan Global Gender Gap Report 2021, Jepang menempati peringkat 120 dalam kesenjangan gender dan masuk ke dalam negara dengan peringkat terendah di kawasan Asia Timur dan Pasifik.

Menurut Global Gender Gap Report 2021, ketimpangan gender yang terjadi di Jepang ditunjukkan oleh adanya tingkat partisipasi perempuan dalam politik dan ekonomi yang rendah hingga partisipasi ekonomi. Selain itu, ketimpangan upah dan beban kerja perempuan yang lebih berat daripada beban kerja laki-laki menjadi dua hal yang paling menghambat tingkat kesejahteraan perempuan di Jepang.

Patriarki memberikan dampak di berbagai bidang masyarakat termasuk budaya, keluarga, dan tempat kerja. Terpeliharanya sistem patriarki dalam masyarakat lantas dapat memunculkan bentuk ketimpangan dan kekerasan berbasis gender.

Dalam buku yang berjudul The First Political Order: How Sex Shapes Governance and National Security Worldwide, Valerie M. Hudson (2020) melakukan studi empiris dalam skala lintas negara dan menemukan bahwa dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan dalam suatu negara cenderung memiliki dampak negatif terhadap keamanan, stabilitas, kesehatan, serta kesejahteraan masyarakat. Meski demikian, sistem patriarki tidak dapat disebut sebagai faktor tunggal atas adanya ketidaksetaraan di dalam masyarakat.

Sistem patriarki yang ada dan berdampingan dengan sistem penindasan lainnya—ras, suku, golongan, dan agama—akan mampu membentuk ketidaksetaraan yang kompleks. Terdapat banyak variabel yang menyusun adanya ketidaksetaraan dalam masyarakat. Meskipun bukan variabel utama, sistem patriarki tidak dapat diabaikan atas kontribusinya menciptakan ketidaksetaraan dalam masyarakat.

Kondisi patriarkis yang terdapat di dalam sebuah masyarakat tidak dapat menjadi faktor tunggal untuk menilai kesejahteraan. Namun dalam kondisi apapun dan dimanapun, penggunaan kekerasan, diskriminasi, dan kurang dilibatkannya perempuan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik dapat menghambat kesejahteraan masyarakat.