Secara kodrati manusia akan selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya. Aristoteles mengutarakan satu term: animal rationale, hewan yang berakal budi, untuk menggambarkan sesuatu yang khas dari manusia. 

Dari Antroposentrisme-Modernitas

Hal ini muncul atas andaian bahwa melalui rasionalitas manusia mempertahankan hidupnya. Andaian-andaian semacam ini berangkat dari paradigma berpikir Yunani kuno yang memposisikan manusia sebagai bagian dari alam semesta. 

Di abad modern, pengertian tersebut bergeser. Pengertian bahwa manusia berakal budi membuat manusia memposisikan diri sebagai pusat dari segalanya (antroposentris)—berawal dari ego cogito Descartes. 

Hal ini berakibat pada kesadaran akan manusia yang berhak atas seluruh alam dan isinya—eksploitasi terhadap alam menjadi terlegitimasi. 

Francis Bacon menandaskan bahwa melalui metode induktif/eksperimen, manusia dapat memecahkan "misteri" alam; bahwa kemudian manusia akan hidup dan terus menerus menggali pengetahuan guna menguasai alam

Ini kemudian mengakibatkan cara kita melihat alam lebih bernuansa pragmatik/instrumental. 


Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa industri membawa banyak perubahan pada hidup manusia, mulai dari pola konsumsi, hingga ke tataran episteme-nya (cara berpikir). 

Eksploitasi dimulai sejak ditemukannya teknologi pertanian, atau dalam hal ini dikenal sebagai “revolusi hijau”. Perkembangan teknologi pertanian semakin maju, membuat eksploitasi semakin besar, hingga akhirnya meletus Revolusi Industri. 

Pola produksi yang masif dan sangat agresif membuat eksploitasi semakin tak terkendali dan manusia mulai melupakan kemanusiaan. Eksploitasi besar-besaran akhirnya menimbulkan kerusakan yang begitu besar. 

Dalam tatanan sosial, ia menimbulkan penindasan yang tiada henti, keterasingan dan kesenjangan ekonomi. Di dalam hubungan manusia dengan alam, ia menghasilan kerusakan besar di atmosfer, di tanah, pengerukan dan eksploitasi yang membawa bencana hebat hingga perubahan iklim yang tak menentu, pemanasan global, sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan.


Gairah manusia yang semula ingin memecahkan misteri alam, dengan terus mengupayakan rasionalitas di dalamnya, berubah menjadi petaka. Semangat modernitas untuk membawa manusia pada kebahagiaan—setidaknya melalui mitos-mitos yang mencerahkan—justru membawa manusia pada penindasan yang berkepanjangan, baik terhadap manusia itu sendiri, maupun terhadap alam. 

Manusia tertindas oleh sistem yang sudah dibuatnya sendiri. Alam tertindas oleh manusia, di mana visi atas rasionalitas yang berupaya menuju pencerahan manusia, justru membawa petaka bagi lingkungannya, bahwa alam dihancurkan demi—apa yang kita katakan—pencerahan total serta pemenuhan kebutuhan hidup. 

Kondisi semacam ini terdeteksi oleh salah satu pendiri Institut für Sozialforschung, Horkheimer. Ia berangkat dari kritiknya terhadap Hegel, lalu mengkritik para positivis yang dianggapnya sebagai pencetus teori tradisional. 

Teori Kritis dan Lingkungan Hidup

Teori tradisional dalam pandangan Horkheimer digambarkan sebagai sikap afirmatif terhadap keadaan, tidak berusaha membongkar maupun emansipatif terhadap manusia dari ketertindasannya. 

Sementara, Horkheimer mencetuskan perlunya teori kritis—dengan upaya pembongkaran terhadap "mitos" rasionalitas/pencerahan yang bernada pesimistis—untuk mengetahui serta memunculkan kesadaran yang emasipatoris terhadap ketertindasan manusia. 

Namun, tafsir terhadap pemikiran Horkheimer ini berkembang di dalam ekologi, bahwa tidak hanya manusia yang perlu diperjuangkan. Lingkungan sosial telah membentuk alam sedemikian rupa, sehingga alam juga perlu diperjuangkan dalam upayanya untuk membuat alam tetap terkondisikan dan menunjang dengan baik kehidupan manusia dalam rantai ekosistem. 

Muncul lah gerakan ekologi sebagai gerak dari manusia yang sadar akan alamnya dan membentuk collective consciousness tentang alam yang memiliki rasionalitasnya. 

Dalam perkembangannya, paradigma berpikir tentang alam dan hubungannya dengan manusia membentuk pardigma baru bernama ekosentrisme, yang merupakan perkembangan dan hasil dialektis atas paradigma berpikir sebelumnya, yaitu antroposentrisme dan biosentrisme. 

Ekosentrisime

Ekosentrisme berpandangan bahwa seluruh kehidupan merupakan satu-kesatuan dalam rantai ekosistem dengan yang tak hidup seperti batu-batuan, gunung, air, dsb. Ia saling mempengaruhi sehingga manusia tak dapat lepas dari tanggung jawab moral untuk tetap menjaga lingkungannya, menjaga tanah tetap utuh dan pohon tetap hidup. 

Tanggung jawab tersebut secara langsung akan membawa ekosistem yang baik bagi perkembangan manusia itu sendiri. Jadi, seluruh biota yang terdapat pada rantai ekosistem saling mempengaruhi satu sama lain. 

Bagi Erns Haeckel, terdapat hubungan resiprokal antara binatang, manusia dan tumbuhan yang mempengaruhi kedinamisan alam. Selain itu, dominasi  terhadap alam juga berpengaruh terhadap munculnya krisis sosial-ekologis

Ekologi-Anarkisme

Di tengah krisis sosial yang terjadi, seorang filsuf anarko bernama Murray Bookchin mengungkapkan keprihatinannya melalui karya-karyanya, salah satunya adalah The Ecology of Freedom

Di dalam buku The Ecology of Freedom, Bookchin menjelaskan bagaimana krisis sosial dan keterkaitannya dengan ekologi. Bookchin mengkajinya melalui pandangan teori kritis serta anarkisme yang menolak segala bentuk dominasi

Melalui pisau bedah teori kritis, ia berpendapat bahwa segala kerusakan yang terjadi sekarang merupakan perkembangan dari usaha manusia di masa modern untuk mencapai rasionalitas sejati/pencerahan bagi umat manusia yang mana justru membawa manusia pada alam pikir instrumental—seluruh pengetahuan manusia akan alam didasarkan pada efektifitas dan efisensi dari pemenuhan “kebutuhan” manusia. 

Hal ini disebabkan karena rasionalitaslah manusia terarah pada dominasi terhadap lingkungan hidup. Manusia merasa berhak atas alam dan seluruh isinya. 

Situasi ini diperburuk setelah meletusnya revolusi industri hingga pasca perang dunia kedua. Kerusakan tersebut tentu saja dipengaruhi oleh kapitalisme dan perkembangan teknologi. 

Namun, Bookchin sendiri tidak menolak perkembangan teknologi. Justru ia menyarankan perlu ada upaya kritis secara menyeluruh terhadap kemajuan teknologi yang menjadi penyebab krisis sosial, kendati teknologi dan seluruh penelitian sosial yang sudah ada tak perlu ditolak

Bookchin berpendapat bahwa krisis sosial yang terjadi saat ini terjadi justru akibat adanya dominasi sosial terhadap alam yang berujung pada eksploitasi yang masif. Melalui definisi yang ditawarkan Ernst Haeckel tentang ekologi, Bookchin mempertimbangkan pula bahwa terdapat hubungan timbal balik antara yang hidup dan yang tidak hidup.

Ekologi Sosial

Tawaran Bookchin dalam mengatasi hal tersebut dijelaskan dalam The Ecology of Freedom yaitu ekologi sosial. Ekologi sosial yang ditawarkan oleh Bookchin berangkat dari pandangan bahwa krisis sosial yang terjadi adalah akibat dari eksploitasi manusia terhadap alamnya. 

Dalam menjelaskan hal ini, ia pertama-tama mendefinisikan terlebih dahulu perbedaan ekologi dan environmentalism yang menurutnya sering kali dicampur dalam penggunaan kata tersebut. 

Enviromentalism adalah pandangan mekanis dan instrumental yang melihat alam sebagai habitat pasif yang dianggap lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia

Baginya, enviromentalist terlalu reformis dan tidak melihat pada akar permasalahan, bahwa seluruh permasalahan yang terjadi sebenarnya berpusat pada dominasi dan hierarki masyarakat

Sedangkan ekologi, menurut Bookchin menelisik persoalan dinamika keseimbangan alam dengan andaian bahwa makhluk hidup dan yang non-hidup saling berkaitan (interdependence) satu sama lain. 

Konsekuensinya, science dan teknologi sebagai penemuan manusia, juga merupakan bagian dari alam karena hal tersebut merupakan peran manusia di dalam alam/ekosistem.  

Maka, ekologi hendak mempersoalkan dampak yang luas dari paradigma berpikir “kemanusiaan yang terpisah dari alam”.

Melalui ekologi sosialnya, ia berpendapat bahwa untuk menangani krisis sosial yang ada kita perlu memutus rantai dominasi, eksploitasi dan hierarki yang sudah ada pada kondisi masyarakat saat ini. 

Lebih lanjut, Bookchin menjelaskan bahwa hierarki tak dapat dipahami hanya sekedar pada tataran sistem ekonomi politik, melainkan juga pada sistem kepatuhan, ketaatan terhadap yang tradisional maupun yang psikologis. 

Dengan tidak adanya hierarki dan dominasi, keutuhan ekologi akan terjamin; bahwa lingkungan yang begitu plural akan sampai pada keutuhan (wholeness). 

Keutuhan inilah yang menjadikan keseimbangan alam dan manusia terpelihara. Kesatuan dari yang beragam ini merupakan dialektika yang imanen. Ekosistem alam dan komunitas sosial manusia pada dasarnya adalah saling berinteraksi dan terjadi melalui cara-cara yang dialektis Naturalis Dialektis). 

Konsekuensinya, bahwa kita tak mungkin memandang alam melalui rasio instrumental namun melalui cara pandang yang dialektis—memandang alam sebagai proses yang terus berkembang.


Tak dapat disangkal bahwa ekologi sosial mengandaikan bahwa ada saling keterkaitan antara sistem sosial dan sistem alam sehingga membentuk suatu ekosistem dunia. 

Artinya, sumber permasalahan terbesar dari perusakan lingkungan adalah adanya dominasi. Dominasi yang berawal dari dominasi terhadap manusia, melahirkan bentuk dominasi baru yaitu dominasi manusia terhadap alam. 

Hal ini disebabkan karena adanya kelas ekonomi/hierarki yang melahirkan suatu situasi yang kompetitif dan saling mendominasi satu sama lain. Ini juga didukung dengan sistem hukum yang sedemikian dominatif.

Baca Juga: Dialog Bumi