Dalam dunia digital seperti hari ini, arus kebohongan dan manipulasi membonceng kencangnya sistem komunikasi manusia modern. Internet memang menyediakan miliaran pengetahuan, tapi perlu diingat, sepanjang umur peradaban manusia belum pernah dijumpai fitnah tiap detik berseliweran melintasi batas Kota dan Negara.

Perlintasan informasi yang tidak sedikit membawa berita hoaks, diperparah naiknya pamor tokoh-tokoh intoleran di berbagai Negara, melahirkan kekhawatiran-kekhawatiran bagi masa depan dunia. Kelompok yang paling ketakutan tentu mereka yang paling lemah dan minor.

Terpilihnya Donald Trump, menguatnya cakar kekuasaan Erdogan dalam sistem politik Turki, lemahnya laju reformasi sipil di Myanmar, dan kekalahan Ahok di Jakarta, seakan mempertegas gejala intoleransi yang kian hari kian menguasai belahan bumi. Lalu, di mana peran dan masa depan organisasi mahasiswa?.

Sebagai Aktivis HMI, Saya sudah mengamati gejala, fenomena dan tingkat dinamika di beberapa organisasi kemahasiswaan. Hasilnya, anak-anak muda yang kuliah dan tergabung dalam organisasi kemahasiswaan, baik intra maupun ekstra kampus, menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan.

Fakta bahwa Negara-negara adidaya seperti Rusia, Tiongkok dan Amerika Serikat yang memanas-manasi konflik di berbagai Negara, membuat jutaan orang menderita karena peperangan. Dalam dunia yang dipenuhi tangis airmata, penindasan dan kesewenang-wenangan, nyatanya organisasi mahasiswa tidak mampu berbuat banyak.

Dunia sudah jelas-jelas bergerak ke arah kehancuran masif, tapi mahasiswa masih tidak mampu menangkap kesadaran dan mengantisipasi konflik meski tiap menit memegang ponsel yang terhubung ke dunia melalui internet. Jangankan mengandalkan Aktivis BEM dalam kampus, organisasi ekstra kampus saja pasif dan masa bodoh.

Konflik politik yang hari ini menghancurkan Suriah, Irak, Libya, Yaman, Venezuela dan Kashmir, bukan karena apakah orang-orang tersebut tahu letak masalahnya dimana, tapi mereka tidak sadar mana pihak yang menjadi ‘’Aktor kecil’’, dan mana yang menjadi ‘’Aktor Besar’’.

Di Indonesia, Ahok yang sudah jelas-jelas terbukti berkontribusi bagi pembangunan Jakarta dan transparansi informasi publik, hanya karena ‘’salah banting lidah’’ dikecam jutaan orang, padahal dia orang Indonesia yang Pancasilais.

Puluhan ribu mahasiswa rela turun ke jalan sampai berjilid-jilid,  yang mengatasnamakan Umat Islam Indonesia, kemana saat emas Papua dikeruk asing, puluhan ribu calon jamaah umroh duitnya digelapkan, anggaran pengadaan Al Qur’an dikorupsi dan LBH Jakarta sebagai Lembaga Hukum Penolong kaum miskin digeruduk? Kalian kemana? Kenapa diam saja?

Sebagai Orang yang sudah lebih dari enam tahun berproses di Himpunan Mahasiswa Islam, Saya melihat di dalam diri mahasiswa Indonesia hari ini terdapat ketidaksadaran akut. Mereka tidak paham mana yang mesti dimusuhi, dan mana yang wajib dihormati. Mereka tidak tahu siapa musuh sebenarnya bangsa Indonesia.

Mereka yang katanya Mahasiswa, mengakses internet tiap hari dan rutin mengadakan seminar tiap bulan, telah dibingungkan dengan banyaknya berita hoaks di dunia maya. Mereka tidak paham, kalau kelompok antar golongan di Negeri ini sengaja dibuat saling berkelahi dan mencurigai, agar orang asing aman-aman saja mencuri kekayaan Negeri ini.

Kasus hoaks yang mengakibatkan digeruduknya LBH Jakarta, di-bully-nya Tifatul Sembiring karena foto palsu korban yang diduga Rohingnya terdampar di pantai, atau kasus skandal ‘’chat mesum Habib Rizieq’’, membuat mahasiswa tidak dapat memastikan berita mana yang benar.

Pada awal masuk ajaran baru, organisasi-organisasi ekstra kurikuler seperti HMI, PMII, GMNI dan KAMMI berebut kader untuk dijadikan anggota. Forum-forum pelatihan, seminar, diskusi atau bedah buku diadakan tiap minggu tanpa henti dalam tiga bulan pertama masuk kuliah. Semua berlomba-lomba mencitrakan eksistensi organisasi.

Secara Nasional, tiap tahun organisasi-organisasi ini mampu menggaet puluhan ribu mahasiswa untuk direkrut menjadi anggotanya. Tapi apa yang dijanjikan organisasi kemahasiswaan kepada mahasiswa baru?

Ketika demonstrasi yang mengklaim atas nama ‘’Umat Islam’’ hingga berjilid-jilid dan sempat mengganggu kedamaian Ibukota, Kita berharap Petinggi-petinggi organisasi mahasiswa dapat menjadi pelopor Penjaga persatuan, bukan malah pasif atau ikut memanasi pergolakan. Sikap HMI cenderung anti Ahok, PMII labil, GMKI diam dan KAMMI terlalu kekanan-kananan.

Mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi, merupakan aset bagi pembangunan Nasional. Jika Tokoh nasional dan kaum tua berseteru politik, kerukunan Nasional terancam, maka kaum muda wajib hukumnya menjadi Pelopor toleransi. Kalau saat muda saja berpikiran sempit dan tergiur politik praktis, bagaimana kalau sudah tua?

Dunia makin mengglobal, itu fakta. Tren dunia secara umum dan Eropa khususnya, pergaulan yang membawa-bawa unsur SARA makin tidak relevan. Itulah realitanya meski frekuensinya masih fluktuatif. Di Indonesia, ada arus identitas golongan yang menguat. Dan payahnya lagi, penguatan unsur budaya tersebut berasal dari asing.

Di mana-mana di kota besar, pengaruh budaya Arab bersaing ketat dengan style Urban dari Korea Selatan. Pertarungan hegemoni tidak selalu berhadap-hadapan, beberapa muncul dalam bentuk gadis-gadis bercadar ala Arab berjalan-jalan di Mall, tapi yang ditonton film Korea, sebelum pulang menyempatkan diri membeli baju adat Korea.

Persoalan seseorang memakai apa, menonton atau memakan apa, memang urusan Dia sendiri. Termasuk menguatnya pengaruh Arabisasi, juga merupakan hak individu tersebut bila memilih budaya asing. Akan tetapi, Saya mau bertanya, kalau Anak Indonesia saja keranjingan budaya bangsa lain, lalu yang mencintai budaya lokal kita siapa?

Sebelum masuk terlalu jauh ke dalam organisasi mahasiswa, dulu Saya sempat optimis. Tiap bulan ribuan orang masuk HMI, sepanjang malam, hampir seminggu mahasiswa-mahasiswa darah muda, dididik dan dilatih untuk menjadi insan-insan yang sadar akan pentingnya mencintai agamanya sekaligus Bangsanya.

Dengan banyaknya aplikasi game dan hiburan seperti hari ini, dan ditunjang jendela dunia yang dapat diakses dalam genggaman, Saya tidak tahu apakah mahasiswa jaman sekarang kecenderungannya makin rajin membaca atau justru makin tidak serius dalam belajar. Seandainya saja mereka sadar, semua Agama pasti meminjam baju budaya untuk dapat diimplementasikan.

Meski dalam agama yang sama, apabila agama tersebut dianut oleh masyarakat dan bangsa berbeda, maka wujud praktik partikularnya sehari-hari pasti berbeda. Maka mencintai budaya oranglain dengan menelantarkan khazanah budaya sendiri merupakan perilaku yang menurut Saya aneh dan tidak masuk akal.

Daripada mencintai budaya oranglain, yang membuat kita menjadi objek hegemoni peradaban orang asing, lebih baik berputar haluan dan mulai mencintai apa yang menjadi milik kita sendiri. Kesadaran seperti inilah yang harusnya muncul dalam tubuh HMI dan KAMMI yang mengaku sebagai organisasi Pengusung Perubahan.

Saya memandang PMII lebih optimis ketimbang KAMMI. Selain karena berhaluan Islam ala NU dan Sunni tradisional, PMII pasca reformasi makin inklusif dan makin ‘’meng-Gus Dur’’. Namun ada beberapa hal yang perlu dikritik, misalnya posisi PMII yang masih dibawah hegemoni NU merupakan kenyataan yang disayangkan.

Menjadi mahasiswa berarti menjadi manusia bebas. Merdeka dalam ide, merdeka dalam pengambilan keputusan. Karena manusia makhluk relatif, maka tidak mungkin tidak pernah salah. Maka sikap yang benar bukanlah sikap yang tunduk dan patuh pada manusia lain, tapi terus-menerus bersikap kritis tanpa pandang bulu kepada siapapun.

Saya membayangkan pada tiap pelatihan, masing-masing organisasi mahasiswa menyelenggarakan diskusi yang mendukung makin merdekanya gagasan dan semangat berkemajuan dalam diri mahasiswa. Pelatihan organisasi harus memuat konten yang progresif, kritis, revolusioner, toleran, inklusif dan relativis.

Pertarungan Tiongkok dan Amerika Serikat di Laut Natuna Utara, ancaman radikalisme serta menguatnya politik identitas, membuat masa depan persatuan di Negeri ini terasa mendung. Organisasi mahasiswa yang menjadi Produsen bibit-bibit pemimpin masa depan, harus sudah bersiap-siap terhadap segala kemungkinan yang terjadi pada masa depan.

Organisasi mahasiswa harus menjadi kawah candradimuka yang mencetak pemimpin bangsa masa depan. Out put pemimpin yang dihasilkan harus mampu menuntaskan persoalan Negara masa lalu yang belum tuntas, persoalan terkini dan menerjemahkan yang akan datang dan diselesaikan menggunakan perspektif Pancasila sebagai ideologi negara.

Sebagai anak bangsa, sudah sewajarnya kader-kader organisasi mahasiswa sadar akan persoalan yang dihadapi negaranya. Kalau mahasiswa hanya sibuk pada rutinitas remeh dan individual, lalu diperparah dengan rasa bosan pada berita korupsi yang menggila, maka lengkap sudah awan mendung masa depan Negara ini.

Saya tidak percaya pada mahasiswa yang hanya sibuk pacaran, main game dan menghabiskan waktunya berdebat soal siapa pacar baru artis idola, dapat berkontribusi bagi penyelamatan bangsa dari ancaman intoleransi. Bagaimana mungkin Negara ini dapat bersaing dengan Negara lain, kalau Pemudanya sibuk bergalau-galau ria?

Saat Mahasiswa tenggelam dalam lika-liku kisah pacaran yang tidak mendewasakan dan terjebak pada asmara yang tidak progresif, maka disitulah peran organisasi mahasiswa untuk menyadarkan adik-adik kita. Organisasi sekelas HMI, PMII dan GMNI, harus mampu membebaskan mahasiswa dari tawanan ikatan cinta tidak berkemajuan.

Dalam dunia yang dipenuhi mahasiswa-mahasiswa labil, terkungkung percintaan dan diterbudak game-game terbaru, maka forum pelatihanlah jawabannya. Untuk mewujudkan kaderisasi yang menyadarkan mahasiswa, Ketua-ketua organisasi harus mampu memformulasikan pelatihan yang manusiawi dan memacu terbangunnya nalar kritis.

Hanya dengan dimulai dari pelatihan yang revolusionerlah, organisasi mahasiswa dapat terus memperbarui diri melawan tantangan yang datang pada masa depan. Organisasi yang tidak progresif, hanya akan menjadi kakek tua yang renta dan menuju kematian. Tidak menarik lagi dan bakal ditinggal pergi anggotanya.