Ada beberapa yang saya sesali dari bangsa ini. Ada beberapa hal yang membuatku kecewa dari watak orang-orang di negeri ini. Terlebih bila melihat kecenderungan akhir-akhir ini yang terjadi dalam demokrasi di Indonesia.
Iya, ada energi besar bangsa kita yang habis untuk hal-hal tidak produktif. Ini mirip orang panjat pinang, ada yang hendak merangkak naik, tapi diganduli dari bawah supaya jatuh.
Pada Pemilihan Umum Presiden tahun 2014, saya mendukung Jokowi. Kini, pak Jokowi menjadi Presiden. Karena dia Presiden, dipundaknya melekat tanggung jawab dan kewajiban.
Maka, bila ada kebijakan yang merugikan masyarakat luas, tentu saya tidak segan-segan untuk mengkritiknya. Waktu itu, saya pun tidak tahu kinerja Jokowi bakal seperti apa jikalau menjadi Presiden. Hanya saja, saya yang Aktivis HAM ini, tentu tidak mungkin memilih atau mendukung Prabowo.
Jokowi menang Pilpres itu fakta. Jokowi resmi dan sah menjadi Presiden RI ke-7 juga itu fakta. Jokowi mempunyai keunggulan dan kelemahan, sisi negatif dan positif, itu juga fakta. Akan tetapi, apakah Jokowi bakal mencalonkan diri lagi pada Pilpres tahun 2019, itu wilayah kesimpulan politik. Tapi, menurut saya, 90% lebih naluri saya menyimpulkan: Jokowi memang bakal mencalonkan diri lagi.
Meski saya bukan pendukung Prabowo, saya apresiatif atas sikapnya dalam menerima kekalahan Pilpres tahun 2014. Bagi saya, seorang yang kalah tapi tetap bersikap elegan, perlu dihormati sebagaimana pihak yang menang. Saya tidak dapat membayangkan betapa kacaunya negeri ini bila seorang kandidat presiden yang kalah, tidak terima dan mengagitasi pendukungnya untuk menciptakan kerusuhan.
Kedewasaan Prabowo menerima kenyataan harus diberi applause oleh semua pihak. Saya mewanti-wanti betul, jangan sampai kasus seperti di Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah, Burundi, Irak, Yaman, Venezuela, dan Mesir terjadi di Indonesia. Hanya karena dua orang rebutan jabatan, nyawa jutaan orang dipertaruhkan. Hanya karena nafsu politik segelintir orang, demokrasi dibunuh dan ketentraman publik digadaikan.
Saya menangkap kesan, Jokowi sesungguhnya adalah seorang yang rendah hati. Dia sederhana, dikelilingi elit rakus, mempunyai visi bagus dan teman yang dapat menghiburnya adalah tawa rakyat kecil. Saya pikir, sudah belasan tahun lamanya, Jokowi muak dengan elit politik dan pejabat negeri ini yang tidak becus mengurus Indonesia. Jokowi adalah orang yang tumbuh dari keprihatinan terhadap kondisi bangsanya yang salah kelola.
Prabowo, berdasarkan analisa saya dari jauh (saya tidak pernah bertemu dengan Prabowo), adalah orang yang tumbuh dalam suasana ningrat. Menurut saya, militansi dan penempaan hidupnya yang keras, bukan timbul dari hidup yang serba kesusahan. Pribadi Prabowo yang tangguh, memang sengaja didapat dari kesadaran pendidikan. Orangtuanya yang bangsawan, tidak mau Prabowo tumbuh menjadi anak orang kaya yang manja.
Saya teringat nasihat Nurcholish Madjid, intinya begini: ‘’Bahwa dalam suatu sistem politik, pengaturan ala demokrasi adalah yang paling mendekati prinsip Islam. Dalam negara demokrasi, oposisi diperlukan untuk menyeimbangkan politik. Oposisi tidak boleh terlalu kuat, karena dapat merecoki program yang dijalankan Presiden. Oposisi juga tidak boleh terlalu lemah, karena akan membuat Presiden sewenang-wenang’’.
Nasihat di atas sudah saya renungi berkali-kali. Kini, pesan Sang Begawan Guru Bangsa tersebut sudah menjadi bagian dari ideologi saya. Sudah menyatu dalam urat nadi saya. Dari cara berpikir di atas, sangat disayangkan bila anak bangsa di negeri ini terlalu bernafsu mengkritik presidennya, sampai-sampai kinerja positif pun tidak dihargai. Boleh mengkritik, asal konstruktif dan menggunakan perspektif yang adil serta berimbang.
Analisa saya mengatakan, Prabowo tidak mungkin menyerah hanya karena kalah pada Pilpres 2014 lalu. Dia sepertinya masih ingin bertempur lagi dan membuktikan diri bahwa dia pejuang yang tidak mudah ditaklukkan. Seorang politisi, wajib hukumnya memiliki sifat optimis dan kepercayaan diri yang tinggi. Saya mengapresiasi sikap demokratis dan pantang menyerah yang dimiliki Prabowo.
Bagaimana posisi SBY? Saya pikir, pak Beye tidak akan mau mempertaruhkan nama baiknya dengan mencalonkan diri lagi. Selain karena prestasinya yang sudah klimaks, juga kejadian-kejadian yang dia dan partainya alami pasca lengser, tidak memungkinkan dirinya dapat bersinar lagi.
Minimal, daya jual namanya sudah tergantikan oleh Jokowi yang lebih muda, real, dan gagasannya implementatif. Meski secara gaya dan penampilan lebih meyakinkan SBY, sesungguhnya keraguan orang terhadap Jokowi terbantah dengan sendirinya melalui kinerja.
Analisa saya ini hanya berlaku bagi orang yang tercerahkan. Sebenarnya omong begini, adalah pembicaraan tingkat tinggi yang hanya dipahami oleh orang dengan intelektual tinggi dan bersih hatinya.
Maaf bila analisa netral begini tidak dapat dipahami oleh Hoaxer atau Haters yang fanatis ke salah satu kandidat. Sejauh yang sudah saya pelajari, kebencian dan fanatisme membuat seseorang tidak akan pernah menerima kebenaran.
Turunnya harga BBM di Papua secara drastis, kecakapan meloloskan proyek-proyek transportasi, mencabut subsidi yang salah sasaran, tax amnesti, pembangunan jalan, tol, bandara, pelabuhan, dan kawasan ekonomi khusus, adalah prestasi gemilang Jokowi yang tidak mudah diakui oleh para pembencinya.
Suka atau tidak suka, faktanya memang demikian. Susah memang bila kita berdiskusi dengan orang yang dari sononya sudah ‘’pokoknya tidak’’.
Bila kecenderungan kinerja seperti ini bisa dipertahankan, misalnya tidak ada kerusuhan hebat, blunder politik atau konflik nasional yang mencoreng citra Jokowi, insting saya mengatakan, pada tahun 2019 Jokowi terpilih lagi menjadi presiden untuk periode kedua kalinya. Saya menangkap jejak masa depan melalui analisa, bahwa seyakin apapun Prabowo, rakyat mayoritas tetap akan memilih yang sudah pasti kinerjanya, yaitu Jokowi.
Saran saya, dari pada ongkos ekonomi, politik dan sosial, dikeluarkan jor-joran oleh Prabowo dan timnya, dan memberi hasil yang sama sebagaimana Pilpres tahun 2014, lebih baik jangan ngotot. Saran saya, sebaiknya Prabowo bermitra dengan Jokowi dan menerima posisi Wakil Presiden. Meski bukan menjadi yang nomor satu, menjadi Wakil Presiden adalah gerbong para pemenang. Seorang pejuang, se-idealis apapun, butuh merasakan kemenangan empiris.
Prabowo dan pendukungnya mempunyai kekuatan besar serta berpengaruh, merupakan fakta. Prabowo sebagai sosok Negarawan yang bernilai dan berintegritas, juga banyak orang yang mengamininya. Akan tetapi, ini persoalan perebutan kekuasaan. Daripada tidak mendapat apa-apa sama sekali, lebih baik mendapat separuh dan dengan legowo menerima posisi Wakil Presiden. Lagipula Jusuf Kalla sudah tua dan punya pengalaman dua kali menjadi wakil Presiden.
Cobalah pengaruh Prabowo yang besar tersebut digunakan untuk menyukseskan program pembangunan negara. Jangan sampai kekuatan politik hanya tumpah pada kritik yang seringkali destruktif.
Kritik dan penyeimbangan kekuatan politik dalam rangka menjaga demokrasi itu wajib, asal tidak buta dan adil dalam menilai kinerja pemerintah. Bila kebijakannya positif bagi rakyat, maka harus didukung dan diapresiasi. Bila salah dan merugikan bangsa, harus diteriaki sekencang-kencangnya.