Dini hari berhawa dingin. Mbedhiding, istilah kondisi udara di peralihan musim, penghujan menuju kemarau. Biasa di bulan juni-juli seperti ini, dia ganti kulit—mlungsungi—. Kulit paling tipis di wajah akan mengering, memutih, dan terlepas. Ganti yang baru. Abdun tahu itu. Tapi, bukan masalah besar baginya. Apalagi sampai harus pergi nyalon. Intensive care setiap hari.
Ah, tidak. Tidak ada yang perlu disalahkan. Tidak ada yang perlu dikeluhkan. Tak perlu sambat, mutung, dan lain-lain. Baginya, hal itu adalah sebuah bukti, bahwa manusia yang tubuh, tidak bisa lepas dari pengaruh alam dunia.
Yah, begitulah kalau pikirannya lagi murup. Sok bijak, sofistik. Terlebih jika baru selesai mengaji. Dalam perjalanan pulang seperti ini.
Di pinggir jalan dekat pertigaan ibukota kecamatan, Abdun menghentikan laju sepeda motor butut-nya. Singgah ke sebuah warung kopi. Cukup sepi. Selain laki-laki penjual, hanya dua laki-laki muda di sana. Khusyuk menghadapkan wajah ke gadget.
“Kopi hitam… Biasa.” Abdun menegaskan. Si penjual tersenyum dengan mimik muka yang karib. Istilahnya, sok kenal.
“Darimana, Mas?!” katanya memperhatikan Abdun yang bersarung dan berpeci. “Habis belajar ndukun, ya?!”
Abdun terkejut. Tak menyangka datangnya pertanyaan itu.
“Kenapa?! Pingin tambah laris?!”
“Sudah tahu, begitu kok?!
“Harus banyak banyak bersyukur,” kata Abdun tertawa. Kemudian pergi dari hadapan penjual itu dengan membawa jajan pisang molen.
Dalam duduknya, Abdun teringat apa yang disampaikan oleh Mbah Mad. Pandang dan bacalah semua yang datang kepadamu sebagai ayat, demikian katanya.
Semua adalah ayat. Sesederhana itu. Semuanya. Termasuk kejadian di warung kopi itu. Dugaan si penjual dan sebagainya. Juga kopi yang baru saja terhidang di atas meja. Untuk dinikmatinya, bersama waktu yang telah melewati pukul tiga dini hari.
Kira-kira, inilah yang ingin diungkapkan Zehan Zareez dalam puisi “Bertuhan Tanpa Bising” pada buku Tuhan Maha Kopi —versi draft buku Pdf, yang diberikan kepada penulis—. Bahwa segelas kopi yang pekat dan nikmat adalah ayat. Kauniyah. Ayat yang tersirat. Lengkapnya sebagai berikut:
Bertuhan Tanpa Bising
Aku berlindung kepada Tuhan
Yang menghitamkan kopi dengan segenap kepekatannya
Cangkir-cangkir telah penuh
Dikecup bibir
Harusnya ada yang lebih malu,selain;aku
Saat dzikir-dzikir tak sampai menembus satir
Kopi hitam bukan lantaran ia berdosa
Ia justru tegar dengan ketetapan tanpa bantah
Padahal berdzikir
Kita saja yang tak cukup tahu
Jangan kira air mani suci;
Lantaran ia putih
Dosa lahir dari sana
Tuhan Maha Segala,tanpa warna
Penglihatannya pun, tanpa mata
Yang tampak dari warna bukanlah nilai
Yang terlihat oleh mata membuat lalai
Dalam keberadaannya sebagai “ayat”, maka segelas kopi sudah sepantasnya dibaca, tak bisa lepas dari-Nya. Dengan segala kesempurnaan-Nya. Sebagaimana membaca yang “tersurat”, maka (aku) pun membaca yang tersirat dengan… berlindung kepada Tuhan Yang menghitamkan kopi dengan segenap kepekatannya//. Dengan hikmah yang ada dalam seluruh ciptaan-Nya.
….rabbana maa khalaqta hadza bathilaa. Demikian ungkapan hamba yang dikaruniai dengan pengetahuan dan hikmah— ulul albab—. Bahwa tak ada satupun ciptaan-Nya di dunia ini yang sia-sia. Begitupun kopi dalam pandangan Zareez. Baginya,… Kopi hitam bukan lantaran ia berdosa/ Ia justru tegar dengan ketetapan tanpa bantah/ Padahal berdzikir.
Dengan “membaca” kopi, maka kita—yang diciptakan sebagai manusia—seharusnya malu. Bukan kopi, yang selalu “berdzikir”. Melainkan kita yang lupa. Entah, berapa banyak… cangkir-cangkir telah penuh/ Dikecup bibir/… Tapi tak sekalipun mengingat-Nya. Menikmati kopi dengan rasa syukur.
Mungkin, karena kita manusia. Terlalu sering berbuat salah lupa. Merasa lebih mulia dari yang lain. Bahkan, malaikat pun diperintah “bersujud” kepada Adam.
Tapi, bukankah setelah peristiwa itu, Adam dan Hawa melakukan dosa?!
Kita saja yang tak cukup tahu… bahwa dosa lahir dari kondisi lupa kepada-Nya. Sebagaimana iblis yang merasa lebih mulia. Melupakan-Nya ketika melihat Adam. Memandang rendah.
Lalu, bagaimana pandangan manusia terhadap kopi?! Begitu juga berbagai jenis (warna)— makhluknya yang lain?!
Yah, Tuhan Maha Suci. Juga dari salah dan keliru yang dituduhkan manusia. Tidak mau menerima keberadaan dirinya sebagai hamba, yang terkadang men-tuhan-kan diri di hadapan-Nya.
Perlahan Abdun menyeruput kopi yang masih hangat. Pekat lagi nikmat.
Barangkali, perlu juga bertanya kepada bayi manusia. Kenapa menangis di setiap kelahirannya?! gumamnya.
Seketika Abdun teringat anak perempuannya. Usianya belum empat puluh hari di dunia. Berharap bisa mendapatkan jawaban.