Aku menulis kisah ini, kekasih. Untuk mengabadikan namamu dalam sebuah kitab bernama kenangan. Senyum manismu yang membayang di sekujur waktuku, teduh wajahmu yang mengalihkan seluruh semestaku, dan pendar matamu yang ku tafsiri sebagai anak dari bulan purnama.

Bahkan kekasih, jika usiaku mencapai 100 abad, aku tak akan pernah lelah jika pekerjaan seumur hidupku adalah menatap pendar matamu. Maka, tidak ada alasan bagiku untuk tidak mengabadikan nama indahmu, walau berupa ayat-ayat kenangan yang ku banjiri dengan sedu sedan setiap saat.

Dulu, aku adalah seorang laki-laki yang teramat beruntung. Menyaksikan senyumu yang ceria, menatap pendar matamu yang bahagia, hingga malam yang kuhabiskan tak terlepas dari untaian doa panjang dan gemuruh rindu, agar esok masih ada hari dimana, aku kembali menyaksikan senja di matamu dan bulan, purnama di wajahmu.

Hari demi hari berganti, waktu berlalu tapi rinduku masih sama. Harapan yang terpasung di relung hatiku tak meronta-ronta.  Ia tenang bak telaga dan hanya wajahmu yang sempurna menggenang di sana.

“Ah, aku harus memberanikan diri untuk mengungkapkanya. Pria macam apa aku, jika perkara begini saja tak becus,” ucapku pada diri sendiri. Dengan keberanian yang ku lapisi doa berlipat-lipat. Ku beranikan untuk menyapa kesederhanaanmu. Ku jelaskan pelan-pelan, bagaimana senyumu begitu memikat semesta, bagaimana keanggunanmu membawa seluruh hal yang ada di sekitarmu juga nampak anggun tabiatnya.

Aku menjelaskan segalanya, dan kau, menunduk tersipu malu. Sebenarnya aku tidak memerlukan jawaban, karena dari matamu segala jawab telah terpapar di sana. Bukankah mata adalah bahasa tubuh yang sangat akurat kebenaranya? Bukankah dari mata segala yang tak kau bicarakan terpapar jelas walau di sudut mata? Kau masih diam, dan rona di pipimu membuat darahku berubah warna menjadi merah muda.

Aku masih ingat secara detail, betapa di hari itu aku menjadi pria yang teramat beruntung, aku ingat betapa semangat dalam jiwa ku teramat menggebu saat cinta kita telah bersemai di seluruh urat nadiku. Debar jantung yang ku rasa saat itu masih menggenang hingga sekarang. Kekasih. Segala tentang mu masih mendarah daging.

“Dek, menurutmu apa definisi kebahagiaan?” tanyaku kala itu.

“Suatu hal yang membuat ibuku bahagia, maka itu lah kebahagiaan,” katamu dengan tutur yang halus dan berwibawa. Duh, segala yang terucap dari bibir manismu adalah cerita yang tak akan bosan ku dengarkan. Segala yang kai biacarakan adalah puisi terindah dari yang indah. Kamu istimewa, Dek. Batinku.

Hari demi hari berlalu, tahun demi tahun terlewati. Hariku yang semula abu-abu, kini berwarna seindah senja. Tahun-tahunku yang sebelumnya kering kerontang, kini subur oleh kasih sayang. Banyak hal yang sebenarnya belum ku ketahui darimu, salah satunya, kenapa kau mau menerima cintaku dengan penuh seluruh? Kenapa kau yang bagai rembulan mau mengambil punguk yang jatuh di bawah cahayamu?

Tapi, tanpa kau menangguhkannya dalam kata, aku bisa melihat segalanya dari matamu juga dari doa-doamu kala dini hari datang. Sedih-bahagia, marah-baikan, asam-manis, pahit-pedasnya kehidupan telah kita rangkum menjadi sebuah kisah apik, dan meskipun sekarang ia hanya lahir sebagai ayat kenangan.

Segalanya masih sama, dan semesta memang selalu mendukung bahkan memenuhi alas bahagia kita. Senyumu yang kian waktu kian ranum dan namamu yang kian mengharum dalam sukma. Aku tak pernah bisa mendefinisikan seperti apa cinta yang berkelindan di hatiku untukmu, Dek.

Hingga datang suatu pagi, dimana tak ku lihat senyumu yang sebahagia biasanya, kantung matamu bahkan melebar Kemana-mana. Kau menangis sesenggukan di depanku, tanpa bersuara.

“Ada apa, Dek?” tanyaku dengan suara gemetar. Hal sesakit apa yang membuat bidadari sepertimu menangis dan menyimpan luka dalam mata?

“Ibu, Mas,” jawabmu dengan bulir yang luruh dari sudut mata. Ada apa dengan Ibumu? Ada apa dengan sumber bahagiamu? Kau menangis lagi. Saat itu, kau memberiku selembar senyum dan berpamitan untuk pergi sementara. Jiwaku kisruh saat itu, Dek. Melihatmu begitu layu, membuat seluruh bumiku juga gersang.

“Aku ingin bersama Ibu, aku pulang dulu,” katamu sambil menunduk. Aku mengangguk, tak ada yang bisa ku lakukan, selain mengirim Al-fatihah sebanyak yang aku bisa untukmu dan untuk Ibumu yang kelak juga akan menjadi Ibuku. Semoga. Ku temani perjalananmu dengan doa keselamatan yang senantiasa terlangitkan, dan kuelus wajah layumu dengan puisi, dan mengusap punggungmu dengan jemari ayat kursi.

Dan, di hari itu. Semesta memiliki kehendak lain, Dek. Sekuat apapun usahamu dalam membujuk rayu semesta dengan doa, secanggih apa pun alat kesehatan yang menempel di tubuh Ibu, semuanya tak akan pernah bisa menjebol takdir.

Saat ku dengar bahwa, ibumu berpulang kepada pemilik semesta, hatiku remuk redam. Aku merasakan kehilangan yang teramat dalam, jiwamu adalah jiwaku, dan jiwaku adalah jiwamu. Untuk itu, sesakit apapun yang kau rasa, aku pun jua. Di hari itu, aku datang dengan membawa sekardus kata-kata untuk menenangkan bidadari yang tengah di rundung duka. Tak lupa aku membawa sapu tangan, berkainkan kebahagiaan, agar saat aku mengusap air matamu, kebahagiaan akan menghapus dukamu yang sedemikian alangkah, Kekasih.

Tapi, semua tak berguna. Kau tetap menangis tanpa henti yang juga ku rasa sesaknya, kau terus merapal doa-doa yang ku tak tahu apa bunyinya, dan aku kembali mendoakan segala pengharap pada Kuasa. Agar lekas mengangkat dukamu jua.

Hari berlalu, dan semuanya tak lagi sama. Kau yang tak pernah terlihat ceria, matamu seakan kosong tanpa jiwa, dan cerita-ceritaku hanya kau balas dengan senyum simpul saja. Aku tahu, meski waktu telah lama berlalu kau tetap membutuhkan jeda, spasi untuk menjadi seperti semula. Aku tidak tahu, berapa lama lagi aku harus menunggumu seperti sedia kala.

Semuanya berlalu dengan cepat, pepatah yang mengatakan bahwa hidup itu bak perputaran roda memang benar adanya, hari-hari indah yang di penuhi kebahagiaan kini terganti dengan pertengkaran-pertangkaran. Hari-hari yang dulunya adalah senja yang menghangatkan, kini menjadi awan hitam yang menerbitkan petir yang menggelegar.

Masing-masing dari kita telah berubah, dan dengan sangat tidak dewasa aku mengatakan beberapa kalimat yang membuatmu kembali menemui luka. Sebenarnya, aku ini yang bagaiamana atau kau yang harus bagaimana? Tak ada yang menjawab, selain perpisahan. Maka, di hari itu kita melepas jiwa masing-masing.

Hari masih terus berlalu, kekasih. Tapi, memang hanya kau yang terus membayang di sekujur waktuku. Memang hanya kau, satu-satunya yang membuatku merasa ada di dunia. Kabar demi kabar ku dengar, mulai dari kau yang telah usai dalam belajar, kau yang bertambah manis, dan kabar terakhir adalah kabar yang membuatku benar-benar lumpuh rasa. Kau telah di pinang oleh lelaki lain.

Tak ada yang lebih menyakitkan selain hari ini, Kekasih. Saat ku tahu, bahwa bukan aku lelaki yang akan menemanimu membelah lautan kehidupan. Bukan aku, lelaki yang kau cium punggung tangannya seusai sembahyang. Bukan aku, yang akan menggengam tanganmu saat berada di singgasana pelaminan. Bukan aku!

Aku pergi berlari menghadap senja, bersimpuh dan menangis sejadinya. Di saat luka itu menganga dalam, kenapa kau justru tengah bahagia? Aku menutupi wajah dengan kedua tangan. Aku menangis!

“Kau ini kenapa?” tanya seseorang yang menyentuh pundakku halus. Aku menoleh, siapa dia?

“Tidakkah kau tahu dari mataku ada kepedihan yang baru saja-

“Aku melihatnya,” potong seseorang itu. Ia menghela napas dan duduk di sampingku.

“Dunia ini memang penuh dengan luka, kegetiran hidup dan manis dari sari keduanya. Kau tahu? Banyak manusia yang tumbuh kuat dengan luka yang teramat dalam? Kekasihmu itu, dan apa yang terjadi padanya hari ini, sudah di tentukan bahkan sebelum bintang-bintang ini di rancang. Aku tahu, lukamu teramat dalam, tapi bukankah hal itu wajar saja?”

“Apanya yang wajar, ha?” bentakku. Dan, dia tetap tersenyum, ku akui senyumnya meneduhkan.

“Kau tahu, wajah, keteduhan, dan juga jiwa kekasihmu itu bukan miliknya, jadi apakah pantas kau menginginkannya? Percaya lah, apa yang terjadi padamu hari ini, akan sangat kau syukuri beberapa waktu ke depan. Meskipun itu berupa luka yang teramat dalam. Percaya lah, lelaki di samping kekasihmu saat ini adalah orang yang tepat untuknya. Dan kau harus legowo, karena itu bukan kau. Boleh jadi, ada seorang wanita yang mencintaimu lebih dalam darinya, yang memberikanmu kententraman yang begitu teduhnya.”

“Sesuatu yang tidak bisa kau capai, itu berarti memang bukan yang terbaik untukmu. Biar pun kau menjungkirbalikkan lautan menghantam gunung, kau tetap tidak akan bisa mendapatkannya, sejengkalpun. Tapi,  biar pun kau tenggelam hingga dasar bumi, sesuatu yang terbaik akan menemukanmu. Percaya lah.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan?” aku tak bisa memahami apapun. Kecuali, luka.

“Berdoa lah. Untuk keselamatanya dengan lapang, dan untukmu hatimu,  agar tak pernah lelah berjuang untuk mengambil sari dari buah luka dan kegetiran.” Aku mengangguk dan memejamkan mata. 

“Siapa kau?” tanyaku, dan setelah ku buka mata. Kau tahu kekasih, tak ada siapapun di sana. Aku menghela napas pelan, aku memang terluka dan aku akan berusaha menyembuhkannya. Salam hangat, untukmu.