Desau angin meniup pepohonan di sekitaran rumah. Aku belum tahu apa-apa kala itu. Sejak kecil aku dan keluarga selalu bersama, bermain dan bekerja di kebun.
Sesekali aku ikut ayah ke sawah. Aku penasaran kenapa setiap ayah harus menanam padi, kenapa setiap sore ibu memasak, lalu kami makan malam bersama. Enak sekali, tetapi aku belum tahu apa makna di balik semua itu.
Seiring waktu membawaku tumbuh, aku mulai sadar akan eksistensiku sebagai ciptaan Tuhan yang dinamai perempuan. Ibu selalu memanggilku, Tia.
Entah nama ini punya makna mendalam secara filosofis, atau hanya sekedar kata sederhana. Namun, aku merasa Tia adalah identitas lain dari tubuhku yang kecil mungil ini.
Ayah rutin bekerja, ibu juga. Kebiasaan tersebut menjadi pemandanganku hingga tumbuh jadi remaja. Tetapi, aku tidak akan menceritakan pengalaman hidupku di masa kecil. Sebab setiap masa kecil selalu menyenangkan sehingga polemik kedewasaan membuat kita merasa sesak bila mengingatnya.
Satu-satunya hal yang tak mungkin kulepas dari ingatan adalah saat aku masih berumur sembilan tahun, ibu mengatakan kalau ayah sedang sakit dalam perantauannya.
Ayah adalah lelaki hebat, sebagaimana lelaki lain yang memiliki beberapa anak. Rela meninggalkan keluarga, melawan beratnya sebuah rindu demi setitik nafkah.
Ayah lalu dibawa pulang ke rumah ditemani ibu, sesekali disuap, dimanjakan dengan sebaik-baik perlakuan.
Walau masih berumur belasan tahun saat itu, namun aku merasakan perawatan ibu ke ayah seperti menemukan ketulusan yang mungkin tidak akan kutemukan lagi di tempat lain.
Ibu adalah malaikat nyata yang dikirim Tuhan untuk menyinari kelamnya hidup keluarga. Ia melakukan banyak hal tanpa pernah mengeluh, terlebih putus asa.
Bertahun-tahun ayah terbaring lemah di tempat tidurnya, segala macam cara telah kami tempuh namun tak juga menemui solusi. Dalam kondisi yang sama, aku sudah kuliah.
Dengan mengambil jurusan pertanian, aku harap kelak bisa selesai kuliah dan bekerja sesuai disiplin ilmuku untuk membanggakan keluarga, terutama orang tua.
Kuliah membuat hidup penuh warna, menambah teman dan beban. Memperbanyak relasi dan tanggung jawab. Namun, demikianlah hidup penuh tantangan dan selalu ada jalan keluar.
Hingga akhirnya aku naik semester 3, seolah waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa perkuliahan membawaku ke tingkat selanjutnya.
Hingga tiba saat di mana semesta seolah begitu kejam, dunia seperti kiamat. Saat ayah dinyatakan meninggal. Tepat di mana aku berusaha, berjuang, dan terus mengupayakan tuntutannya yaitu kuliah.
Sebab bagi orang tua, perempuan harus berpendidikan tinggi agar mewariskan kecerdasan untuk anak-anaknya, kelak. Tetapi saat aku melakukan semua nasehat ayah, ia lebih dulu meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Aku baru berumur 19 tahun saat ayah meninggal. Ayah meninggalkan jejak di ingatan dan hatiku, pesan-pesannya yang hidup dalam diriku terus tumbuh dan membuatku seolah tak percaya kalau ia benar-benar sudah meninggal.
Ia meninggalkan 3 anaknya dan membuat isterinya jadi tulang punggung. Tentu semua yang bernyawa akan mati, tetapi ayah semestinya melihat anaknya kuliah hingga sarjana.
Ayah seharusnya masih hidup agar bisa menjadi wali saat anaknya menikah. Tetapi Tuhan selalu memberikan kenyataan tak terduga kepada hamba-Nya.
Semenjak kepergian ayah, ibu benar-benar jadi tulang punggung. Sosok perempuan dengan kemampuan sederhana terpaksa membanting rasa menggerakkan segala tulang-belulangnya demi menghidupi 3 orang anaknya.
Sebagai anak sulung, aku harus membantu ibu dan juga adik-adikku, tetapi aku sendiri tidak tahu mau berbuat apa. Kepasrahan sering menghampiri, membujukku menyalahkan takdir.
Kerap aku mengutuk diri-sendiri, menganggap hidup ini sia-sia lantaran tak bisa membuat ayah bangga sebelum meninggal, demikian ibu yang masih hidup. Seharusnya ibu sudah hidup santai, tenang dan bahagia. Karena anak-anaknya sudah dewasa, tetapi aku sendiri belum bisa memberikan apa-apa ke ibu.
Jangankan berbuat banyak, melihat teman-teman berkumpul dengan keluarganya yang harmoni penuh kegembiraan saja, kadang aku tak sanggup.
Namun, lagi-lagi ibu adalah malaikat. Ia tak pernah menuntut apa-apa dariku, bahkan sesekali ia memintaku untuk perbanyak istirahat bila melihatku kelelahan akibat kerja tugas kuliah.
Ibu tidak pernah mendikte tentang standar kebahagiaan, tetapi dari kasih sayangnya yang meresap ke dadaku. Dari setiap tindakannya yang kusaksikan dengan sangat teliti, ibu seolah mencintai apa-apa yang diberikan Tuhan, ia begitu pandai memunculkan syukur. Sehingga walau penuh kesederhanaan, kami tetap bangga dengan ibu.
Hingga tiba pada kelulusanku, beberapa hari yang lalu. Aku selesai di kampus dengan predikat memuaskan. Ribuan orang berdesakan memenuhi aula, setiap wisudawan didampingi kedua orang tuanya masing-masing. Aku hanya didampingi ibu, aku tetap sayang padanya.
Walau di lubuk hatiku yang terdalam aku iri pada teman-teman yang didampingi juga oleh ayahnya. Tetapi aku sadar, Tuhan lebih sayang ayah. Di alam sana ayah sedang menyaksikan anak sulungnya berhasil meraih sarjana sesuai harapannya.
Ayah akan bangga padaku, pada ibu yang tetap tabah melawan kuatnya tantangan hidup bagi perempuan yang sekaligus merangkap jadi tulang punggung keluarga.
Perjuangan ini akan terus berlanjut, ayah. Dari hatiku yang paling tulus beserta keluarga, terutama ibu dan adik-adikku. Kami mendoakanmu selalu.
- Al – Fatihah.