“Al-ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq.” Ibu adalah sekolah yang pertama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaikDemikian ungkapan seorang penyair Mesir, Hafiz Ibrahim.

Dalam penggalan syairnya, ia mengungkapkan peran keluarga sebagai lembaga pendidikan dengan posisi ibu sebagai pengajar yang pertama. Tentu saja keluarga menjadi tempat pertama bagi seorang anak untuk belajar, jauh sebelum ia mengenal pendidikan formal.

Comenius, seorang  filosof, dalam  bukunya  yang  berjudul  “informatium” ia mengemukakan beberapa pemikiran tentang pendidikan, terutama berkenaan   dengan   pendidikan   keluarga.

Ia   menyatakan   bahwa tingkat permulaan  bagi  pendidikan  anak  dilakukan dan  diajarkan  semestinya  sejak dalam  keluarga.  Comenius  menyebut  dengan kalimat  “sekolah  ibu”  atau dalam bahasa latin disebut “scolatmaterna

Dimana peran bapak? Tentu sebagai kepala keluarga, ia layaknya seorang kepala sekolah dalam manajemen lembaga pendidikan modern yang mengelola dan menjamin keberlangsungan lembaga pendidikan berupa keluarga tersebut.

Ki Hajar Dewantara menuturkan bahwa alam keluarga adalah alam  pendidikan yang  permulaan,  karena pendidikan  pertama kalinya  bersifat  pendidikan  dari orang  tua  yang  berkedudukan  sebagai  guru  dan  penuntun,  sebagai pengajar, sebagai  pemberi  contoh  dan  teladan bagi anak-anak,

Menurutnya, di  dalam  keluarga itu    anak-anak    saling    mendidik dan berkesempatan  mendidik  diri  sendiri,  karena  di  dalam  hidup  keluarga  itu mereka tidak berbeda kedudukannya.

Tidak hanya dalam rangka meningkatkan perkembangan kognitif semata, keluarga memiliki peran penting untuk meningkatkan perkembangan karakter, perkembangan sosial, perkembangan moral, dan perkembangan kreativitas.

Dalam rangka pengembangan kognitif, dapat mulai dilakukan dengan memberikan penjelasan ketika muncul rasa penasaran dari anak. Pada tahapan usia tertentu, seorang anak mulai memiliki rasa penasaran dan mengekspresikannya dengan memegang, merasakan, maupun bertanya.

Ketika anak sudah mulai menginjak masa sekolah, bukan berarti peran keluarga untuk menunjang pengembangan kognitif ini berhenti begitu saja. Orang tua hendaknya dapat melebur dengan standar kurikulum sekolah untuk dapat memberikan pendampingan pembelajaran saat di rumah.

Di tambah lagi, kurikulum sekolah saat ini berbeda dengan kurikulum saat orangtua sekolah dahulu. Maka orangtua juga dituntut untuk turut serta belajar bersama, tidak dengan menyerahkan sepenuhnya pada lembaga sekolah formal.

Sementara perkembangan karakter anak sangat dipengaruhi oleh pembiasaan yang dilakukan oleh orang tua. Mulai dari pembiasaan cara berbicara, bersikap, kedisiplinan, dan sebagainya. Anak adalah peniru ulung. Tak heran perilaku orangtua menjadi modal karakter yang anak pada masa yang akan datang.

Perkembangan kreativitas dapat dilakukan dengan mengasah rasa penasaran yang dimiliki anak. Pada dasarnya, setiap anak adalah kreatif. Ia dengan polos akan mencoba melakukan berbagai hal yang menurutnya menarik.

Pestolozzi berpandangan bahwa pendidikan sebaiknya mengikuti sifat-sifat bawaan anak (child’s nature). Bahwa dalam melakukan pendidikan kepada anak dilakukan dengan memberi kesempatan  anak  untuk berbuat  dan  melakukan sesuatu  yang  bermula  dari “sense-impression”menuju ide-ide yang abstrak.

Kreativitas tersebut tentu tidak boleh dibatasi. Namun demikian, tentu saja perlu untuk diarahkan. Artinya, tidak melarang anak untuk berkreasi sesuai minat yang dimiliki, namun diarahkan agar minat tersebut bisa diasah dengan baik. Salah satu bentuk kreativitasnya adalah melalui berbagai bentuk permainan.

Frobel menuturkan bahwa berbagai jenis permainan dapat dilakukan dengan memperhatikan  beberapa syarat seperti, permainan  harus  menyenangkan anak-anak, harus  memberi kesempatan pada anak-anak untuk berfantasi, serta anak-anak harus cakap dan mampu menyelesaikan permainan

Selain itu, menurutnya orang tua harus memberi permainan yang juga mengandung    kesenian, serta permainan    diharapkan    mengandung    dan mengarahkan anak-anak ke arah ketertiban.

Yang tidak kalah penting adalah perkembangan moral seorang anak. Tugas  para orang  tua menjadikan rumah sebagai surga bagi anak, dimana mereka dapat menjadi cerdas, sholeh, dan tentu saja tercukupi lahir dan batin.

Penanaman  nilai  moral  kepada  anak dapat dilakukan melalui  konsep nilai  budi pekerti  dan  pembinaan  akhlak, rutinitas ibadah dengan mengajak anak untuk beribadah bersama, kemauan berbagi, serta hal-hal positif lainnya.

Al-Gazali  mengatakan  bahwa pendidikan Agama harus dimulai sejak usia dini. Pada usia ini anak dalam keadaan siap untuk  menerima  aqidah-aqidah  agama semata-mata  atas  dasar  iman,  tanpa meminta    dalil    untuk   menguatkannya,    atau    menuntut    kepastian    dan penjelasan.

Oleh  karena  itu,  dalam  mengajarkan  agama  kepada  anak-anak, hendaknya dimulai  dengan  mempelajari  qaidah-qaidah  dan  dasar-dasarnya. Setelah  itu baru  menjelaskan  maknanya  sehingga  memahami  dan kemudian menyakini dan membenarkannya.

Menurut Al-Ghazali, anak  usia  dini  seyogyanya  dikenalkan dengan agama. Karena  manusia  dilahirkan  telah  membawa  agama  sebagaimana agama yang  dibawa  oleh  kedua  orang  tuanya  (ayah-ibu).

Konsep ini  menjadikan  kedua  orang  tua  sebagai  pendidik  yang  utama menjadi kekuatan  dalam  diri  anak,  agar  anak  tumbuh-kembang  ke  arah pensucian jiwa,   berakhlak   yang   mulia bertaqwa   dan   diharapkan   menyebarkan keutamaan  ke  seluruh  umat  manusia.

Akhirnya, Selamat hari guru, termasuk juga untuk ayah-bunda, para guru bagi putra-putrinya di rumah.