Saat ini sudah banyak Penyedia Jasa yang siap membantu dalam mendirikan rumah impian kita. Cukup menyepakati kontrak dan siapkan dananya. Mereka akan menyelesaikan rumah impian kita sesuai dengan apa yang ada di dalam perjanjian/ kontrak.

Sebagai pemilik pekerjaan, kita diwajibkan memahami jenis kontrak yang akan kita tandatangani. Hal ini akan mengurangi risiko dispute yang berdampak pada ketidakpuasan terhadap hasil pekerjaan.

Apalagi jika ternyata kita salah memilih jenis kontrak, sehingga harga pekerjaan terasa membengkak. Ada 3 jenis kontrak yang paling umum ditemui untuk konstruksi sederhana seperti pembangunan rumah, berikut adalah pembahasannya.

1. Borongan (Lumpsum Price)

Jenis kontrak pertama adalah kontrak borongan atau biasa disebut Lumpsump Price Contract. Kontrak ini adalah yang paling populer di Indonesia, terutama bagi kaum minim budget yang lebih memprioritaskan efisiensi waktu dan biaya.

Apa sih yang dimaksud kontrak borongan? Begini contohnya:

“Alfa ingin membangun rumah model 60 m2, dia menghitung seluruh kebutuhan material dan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menjadi satu bangunan utuh. Misalnya Alfa membutuhkan 100 sak semen dan 10 truk pasir, maka setelah menghitung biayanya dia menawarkan biaya tersebut kepada Penyedia Jasa (Tukang).

Setelah harga dan desain disepakati maka dibuatlah kontrak pekerjaan sebagai dasar pelaksanaan kerja.

Ternyata Tukang tersebut hanya membutuhkan 80 sak semen dan 5 truk pasir untuk membangun rumah sesuai desain yang diminta Alfa. Karena kontraknya adalah borongan, maka Alfa tetap diwajibkan untuk membayar 100 sak dan 10 truk. Kesalahan dalam menghitung kebutuhan menjadi keuntungan bagi Tukang tersebut secara sah!

Bagaimana jika Tukang tersebut ternyata membutuhkan 150 sak semen dan 15 truk pasir? Berdasarkan kontrak Lumpsum, Alfa hanya diwajibkan membayar 100 sak dan 10 truk pasir saja. Selain itu Tukang tersebut wajib menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan desain yang disepakati.

Tukangnya rugi dong? Untung rugi dalam kontrak Lumpsum sepenuhnya adalah risiko yang akan diambil Tukang. Tukang berhak menghitung ulang kebutuhan serta survei lokasi untuk memastikan kesesuaian biaya. Jika Tukang merasa rugi dan menghentikan pekerjaan, maka Alfa dapat menyatakan Tukang tersebut ‘Wanprestasi’ dan mengenakan denda/ sanksi kepada Tukang tersebut."

Dari cerita si Alfa di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa yang menjadi patokan utama dalam kontrak lumpsum adalah desainnya. Sehingga jika anda tidak memahami desain dan tidak mampu menghitung kebutuhan biayanya, anda tidak disarankan memakai kontrak ini!

2. Harga Satuan (Unit Price)

Jenis kontrak yang kedua adalah kontrak harga satuan. Kontrak ini biasa disebut ‘kontrak tidak ada dusta diantara kita’. Hal ini karena prinsip utama kontrak ini adalah keterbukaan dan kejujuran dalam menghitung volume pekerjaan.

Beta ingin membangun rumah seluas 50 m2. Desain rumah sudah dibuat, namun ia ragu dengan jumlah material yang dibutuhkan (volume pekerjaan) untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Beta akhirnya menandatangani kontrak harga satuan dengan penyedia jasa (Tukang).

Dalam kontrak disepakati harga satuan untuk 1 sak semen adalah Rp.100.000,- sedangkan harga untuk 1 truk pasir adalah Rp.500.000,-. Estimasi kebutuhan dalam kontrak adalah 80 sak semen dan 8 truk pasir.

Ternyata Tukang hanya membutuhkan 6 sak semen dan 6 truk pasir. Maka Beta hanya membayar sesuai jumlah yang dibangun, yakni 6 sak semen (6xRp.100.000,-) dan 6 truk pasir (6xRp.500.000,-).

Bagaimana jika Tukang membutuhkan 20 sak semen dan 15 truk pasir? Karena kontraknya harga satuan maka Beta wajib membayar sesuai jumlah yang dibangun yakni 20 sak semen (20xRp.100.000,-) dan 15 truk pasir (15xRp.500.000,-).

Apakah Beta tidak dirugikan jika biaya membengkak? Sebenarnya tidak ada yang dirugikan dalam perjanjian ini. Seperti yang saya sebutkan, prinsip utama kontrak harga satuan adalah berapa yang dikerjakan itu yang dibayar, sehingga tidak ada dusta diantara kita!

Jika Beta merasa dana yang tersedia tidak mencukupi saat pembangunan berlangsung, Beta dapat menghentikan pekerjaan dan hanya membayar pekerjaan yang sudah selesai dikerjakan.

3. Gabungan Lump Sum + Unit Price

Jenis kontrak ketiga adalah gabungan dari pekerjaan borongan dan harga satuan. Kontrak ini adalah yang paling jarang digunakan terutama saat membangun rumah pribadi. Meskipun jenis kontrak ini terkadang digunakan oleh Developer dalam membangun perumahan.

Contoh 1

Cecep adalah seorang Developer perumahan, dia ingin membangun 100 unit rumah tipe 36, dan 50 unit rumah tipe 60. Cecep membuat kontrak pembangunan dengan jenis Lumpsum + Unit price. Biaya untuk membangun 1 unit rumah tipe 36 bersifat lumpsum seharga Rp.200.000.000,- dan biaya untuk membangun 1 unit rumah tipe 60 bersifat lumpsum seharga Rp.400.000.000,-

Dikarenakan minimnya modal yang dimiliki, Cecep hanya akan membangun rumah jika ada customer yang sudah membayar perumahan tersebut. Setelah tersedianya modal, Cecep menginstruksikan penyedia jasa (Tukang) untuk mulai membangun sesuai jumlah yang dibutuhkan dengan jenis kontrak Unit Price.

Dalam kasus ini, Cecep hanya membayar sejumlah unit yang selesai dibangun karena sifatnya Unit price. Jika Tukang hanya membutuhkan biaya Rp.100.000.000,- untuk membangun rumah tipe 36, Cecep tetap membayar secara lumpsum sebesar Rp.200.000.000,-.

Contoh 2

Deni akan membangun rumah tipe 40m2. Dia telah menghitung kebutuhan material dan biaya yang dibutuhkan. Namun terdapat 1 pekerjaan yang sulit dihitung jumlahnya, yaitu pengurugan tanah. Lokasi tanah yang miring menyebabkan sulitnya perhitungan tanpa bantuan peralatan bantu yang memadai.

Deni menyepakati kontrak Lumpsum + Unit Price terhadap pembangunan tersebut dengan ketentuan untuk pembangunan rumah menggunakan Lumpsum price/ pemborongan. Sedangkan untuk pekerjaan pengurugan tanah yang belum diketahui volumenya menggunakan Unit Price/ harga satuan yang akan dibayar sesuai jumlah urugan yang dibutuhkan.

Untuk kasus Deni, penggunaan kontrak gabungan cukup efisien digunakan karena dilakukan pemisahan item untuk tiap jenis kontrak. Sedangkan untuk kasus Cecep, penerapan kontrak gabungan relative sulit dipahami dan berisiko terjadi dispute. Sehingga untuk kasus Cecep normalnya terdapat klausul tambahan untuk mempermudah menerjemahkan setiap pasal dalam kontrak.


Demikianlah 3 jenis kontrak yang paling sering digunakan dalam membangun rumah. Mengetahui jenis kontrak yang akan digunakan menjadikan keuntungan karena kita paham hak dan kewajiban kita.

Istilah semen dan pasir dalam contoh kasus di atas hanyalah ilustrasi untuk mempermudah pemahaman. Dalam kondisi sesungguhnya, perhitungan biaya pekerjaan lebih ke komponen detail, misalnya pekerjaan fondasi, pemasangan bata, Beton, atap dll.