Media sosial belakangan ini sangat heboh mengenai kasus kekerasan yang menimpa Audrey, siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang dikeroyok oleh 12 siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) lantaran cekcok urusan laki-laki. 

Tanda pagar #JusticeForAudrey ditunjukkan sebagai bentuk support kepada Audrey yang mendapatkan beberapa pukulan, kepalanya dibenturkan ke aspal, bahkan kekerasan seksual berupa tangan salah satu pelaku yang memasuki organ vital dari korban. Sehingga Audrey mendapat perawatan intensif di rumah sakit akibat penganiayaan tersebut.

Viralnya berita ini tentu tidak lepas dari ekspresi kemarahan dari warganet terhadap pelaku. Banyak warganet yang kemudian menyumpahi pelaku dengan ungkapan yang bermacam-macam, mulai dari mengutuk, mencaci, bahkan menyumpahi pelaku untuk mendapatkan kekerasan seksual juga.

Apa yang membuat saya tertarik terhadap kasus ini, selain kasusnya secara substansial tergolong kasus yang mengerikan bagi saya, adalah bentuk hujatan-hujatan yang datang dari warganet terhadap pelaku-pelaku tersebut.

Tentunya saya tidak berniat untuk membela para pelaku atas perbuatan keji yang mereka lakukan terhadap korban. Tetapi, saya ingin mengangkat beberapa unpopular opinion terkait kasus ini.

Patriarki dan Kompetisi Antarpelajar Perempuan dalam Mencapai Validasi

Patriarki tentunya menjebak perempuan untuk terus menjadi manusia kelas dua[1] di bawah laki-laki. Perebutan pengaruh yang terjadi di kalangan perempuan untuk mendapatkan perhatian atau validasi dari laki-laki atau dari lingkungan sosialnya merupakan salah satu cara yang efektif daripada harus menanggung malu untuk terang-terangan menyatakan ketertarikan pada laki-laki.

Dalam konteks ini, Audrey dan para pelaku merupakan pelajar yang terjebak di lingkungan yang patriarki. Dari lingkungan yang patriarki ini melahirkan pemikiran-pemikiran bahwa perempuan tidak boleh terlalu unjuk ketertarikannya kepada laki-laki, sehingga perebutan pengaruh kemudian hanya terjadi di lingkungan perempuan saja. 

Kompetisi antarperempuan dalam upaya mendapatkan pengaruh dari lingkungan sosialnya tidak terelakkan. Validasi ini kemudian yang hendak didapatkan oleh si pelaku agar terlihat bahwa kekuasaannya tidak boleh terganggu oleh perempuan lainnya.

Kompetisi tak sehat antarperempuan ini bukanlah isapan jempol semata. Secara institusional (merujuk pada lingkungan), perilaku ini merupakan hasil bentukan lingungan yang membentuk diri kita. Dan, kasus yang menimpa Audrey merupakan akibat dari doktrin-doktrin yang ditanam oleh lingkungan dan dipupuk oleh media mainstream.

Bagaimana bisa?

Dalam budaya pop, misalnya, Carrie dalam Sex and The City yang merogoh kocek sampai hampir habis gajinya untuk membeli barang-barang desainer demi berkompetisi dengan istri mantan pacarnya.

Kemudian, sinetron Indonesia yang sering kali menampilkan karakter protagonis perempuan lemah, cantik, dan baik hati melawan perempuan berkarakter kuat yang ambisius untuk mendapatkan perhatian lelaki.

Ratu Grimhilde dalam kisah Putri Salju adalah contoh sempurna tentang persaingan dan kedengkian antarperempuan. Cerita yang sama juga dilanggengkan oleh Ursula yang merebut Erik dari Ariel, serta Cinderella dan kakak-kakaknya yang berebut calon suami.

Semua cerita tersebut merupakan bukti bahwa persaingan dan budaya patrarki melekat erat di dalam budaya kita sehari-hari. Media seolah memanfaatkan kesadaran masyarakat dengan mempertontonkan doktrin-doktrin patriarki demi meraup rating dan pundi-pundi uang bagi perusahaannya.

Reaksi Warganet dan Kacamata Persekusi

Respons yang ditampilkan pada kolom komentar #JusticeForAudrey ternyata kebanyakan bukan merupakan bentuk support kepada Audrey, melainkan perilaku persekusi verbal bahkan sangat kasar terhadap si pelaku. Bahkan tidak sedikit dari warganet yang menginginkan alat vital si pelaku ditusuk seperti yang pelaku lakukan ke korban. 

Bentuk persekusi lainnya, yaitu dengan mendoakan agar pelaku celaka, bahkan mendoakan untuk mati. Perilaku ini persis seperti apa yang menjadi reaksi umum para ibu-ibu kompleks yang kita dengar pada acara nonton bareng sinetron Indonesia yang menampilkan adegan seorang protagonis yang selalu ditindas oleh aktor atau aktris antagonis.

Ternyata kita tidak sadar bahwa perilaku seperti ini merupakan perilaku yang justru kita lawan. Kita membela Audrey sebagai korban, namun mempersekusi pelaku dengan nada yang sama, persis dilontarkan oleh pelaku kepada Audrey. 

Sebuah pertanyaan besar di sini: bagaimana kita bisa berkoar-koar mengenai kemanusiaan ketika bahkan kita sendiri tidak mengindahkan kemanusiaan itu? Kenapa hal ini bisa terjadi?

Bagi saya, perilaku persekusi sebenarnya merupakan konsekuensi atas tidak berjalannya hukum positif yang adil di Indonesia sehingga masyarakat merasa tidak puas terhadap penanganan hukumnya. Negara, dalam beberapa kasus persekusi, hanya hadir sebagai penonton belaka, bahkan justru melegitimasi kegiatan persekusi ini terhadap kelompok-kelompok marjinal dan oposisi pemerintahan. 

Misalnya persekusi hingga penangkapan yang terjadi pada Asrama Papua di Surabaya ketika melakukan nonton bareng film Biak Berdarah dengan dalih operasi yustisi[2]. Dan Negara, pada saat itu, bukan hanya melegitimasi, tetapi turut menjadi pelaku melalui aparatur-aparatur pemerintahannya[3].

Pada kasus ini, persekusi yang didapatkan oleh pelaku penganiayaan dan kekerasan seksual terhadap Audrey merupakan bentuk kemunduran atau mungkin stagnansi dari pendidikan formal kita hari ini. Jika setiap minggu kita dijejali dengan pendidikan kewarganegaraan dan Pancasila, maka dapat dipastikan pembelajaran tersebut hanya terjadi di ruang kelas saja. 

Pendidikan karakter Pancasila (yang sebenarnya terlalu umum) perlu mengangkat konteks permasalahan riil yang dihadapi langsung oleh para pelajar di Indonesia. Absennya praktik empirik dari pendidikan ini memunculkan legitimasi terhadap perilaku persekusi di lingkungan pelajar.

Tidak hanya pendidikan karakter yang berbasisPancasila, namun juga pendidikan mengenai kekerasan seksual. Sebagaimana yang terjadi di kasus ini, salah satu pelaku yang mencoba memaksakan memasukkan tangannya ke dalam area genital korban dengan tujuan membuat korban tidak perawan lagi. 

Terlepas dari perdebatan mengenai keperawanan, tindakan ini sungguh keji dan sekolah formal tidak mampu membuat sebuah pembelajaran yang memahamkan para siswa akan pentingnya melindungi korban kekerasan seksual. Justru, menurut laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), guru yang seharusnya menjadi tenaga pendidik profesional yang mengayomi justru menjadi pelaku kekerasan seksual terbanyak di lingkungan sekolah[4].

Kemudian kita bertanya-tanya pada diri sendiri, bagaimana bisa kasus ini melibatkan struktur yang rumit serta kompleks? Bukannya sekadar penganiayaan dan pelecehan seksual semata?

Yang perlu kita pahami bahwa kasus penganiayaan ini bukanlah ajang untuk kembali mempresekusi pelaku, tetapi ajang untuk support korban dan mendorong penyelesaian kasus-kasus yang terjadi secara hukum yang berlaku. 

Tetapi, hari ini, proses hukum terhadap pelaku kekerasan seksual pun masih stagnan. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) masih dalam pembahasan sejak 5 tahun lalu, sehingga penyelesaian hukum terhadap pelaku kekerasan seksual secara otomatis akan sama dengan penanganannya dengan kasus kriminal lainnya[5].

Maka dari itu, saya mengajak pembaca untuk melihat kasus ini secara kompleks, walau tidak komprehensif. Kasus ini tidak hanya “sekadar” penganiayaan dan kekerasan seksual semata. Kita harus mampu melihat konteks kasus ini secara luas sehingga dapat memahami kondisi dan penanganan hukum positif serta merekonstruksi pandangan masyarakat terhadap perilaku-perilaku serupa yang akan terjadi di kemudian hari.

Referensi:

  1. Beauvoir, Simone de. (1989, c1952) The second sex /New York, Vintage Books
  2. Detik, Petugas Gabungan Kepung Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya
  3. KontraS Surabaya, Pembubaran Diskusi Berkedok Operasi Yustisi
  4. Tempo, KPAI: Guru Jadi Pelaku Kekerasan Seksual Terbanyak di Sekolah
  5. Meta Ruang, Urgensi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PK-S)