Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak.
Peribahasa yang sangat menarik untuk direnungkan bersama, sangat terkait dengan atmosfer masyarakat Indonesia saat ini. Seperti yang dapat dilihat bersama, kesalahan orang lain yang hanya sebuah statement tak pelak menjadi senjata untuk pihak yang merasa ‘terzalimi’.
‘Lapor melapor’ ke pihak berwajib hanya karena satu kalimat sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat. Entahlah, antara mencari keadilan atau mencari pembenaran. Yang pasti, permohonan maaf dari si pelaku tak cukup memuaskan.
Lalu kita? Sebagai masyarakat pecandu berita ataupun yang tanpa sengaja melihat berita, sedikit banyak terpengaruh oleh keadaan ini. Hal yang sangat wajar, berdiri di salah satu pihak. Hal yang wajar pula, terkadang ‘gregetan’ bahkan ikut emosian melihat ulah pihak lawan.
Namun sebetulnya, tanpa disadari momen ini bisa menjadi poin penting untuk kita sebagai makhluk Tuhan. Yaitu dalam hal ‘falsafah dosa’.
Mari beranalogi sejenak. Ketika ada seseorang yang melakukan dosa di pandangan yang merasa menjadi ‘korban’. Bahkan dosa itu pun hanya sebuah kalimat dan sudah diiringi permohonan maaf oleh ‘pelaku’, dengan segenap kekuatannya dan eksistensinya selama ini, ‘si korban’ dengan mudah melapor ke pihak berwajib. Mengumpulkan barang bukti yang bertumpuk-tumpuk dari A hingga Z.
Lalu, pernahkan ‘si korban’, yang katakanlah merasa benar tersebut, ‘ingat’ sejenak pada dosa-dosanya? Entalah, antara amnesia atau memang sudah merasa ‘kebal’ dari dosa. Karena yang terlihat hanyalah kesalahan di seberang sana, selaras dengan peribahasa di awal.
Menggelitik memang, kesalahan kecil saja namun ada pada orang lain tampak jelas di mata. Lalu kesalahan diri sendiri, mari berintrospeksi sejenak. Memang, dibandingkan makhluk lain, manusia adalah makhluk yang paling sempurna dalam penciptaan.
Namun, Tak ada gading yang tak retak. Kesempurnaannya sebagai makhluk ini tak pelak menjadikan manusia tidak sempurna dari dosa – dosa. Dan yang paling fatal adalah, tak ada penyesalan atau minimalnya pengakuan dari dosa tersebut.
Rasa keakuan, eksistensi diri, dan merendahkan pihak lain terakumulasi menjadi sifat takabur.
Padahal menurut pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, “jika ada manusia yang mendapatkan dirinya seperti baru lahir dari perut ibu, dan tidak menemukan suatu dosa di dalam dirinya, maka di dalam dirinya akan timbul rasa takabur, yang merupakan dosa paling besar dari sekalian dosa, dan merupakan dosa setan. Setan beranggapan bahwa dia tidak melakukan suatu dosa, oleh karena itulah dia menjadi setan.”
Mengapa tidak, realita yang ada, terdapat rasa keakuan menjadi diri paling sempurna sedangkan orang lain begitu rendah di pandangan mata dan berlumuran dosa.
Namun, Allah Swt berpandangan lain tentunya. Dalam surah Luqman ayat 18 Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah engkau memalingkan mukamu dari manusia dengan angkuh, dan janganlah berjalan di bumi dengan sombong. Sesungguhnya Allah tidak mencintai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.”
Masihkah keakuan terus dipertahankan melihat firman Allah SWT tersebut?. Karna sabda Rasulullah SAW pun demikian,
Tidak akan masuk surga, orang yg di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan. Seorang laki-laki bertanya, Sesungguhnya laki-laki menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan?)
Beliau menjawab: Sesungguhnya Allah itu bagus menyukai yg bagus, kesombongan itu menolak kebenaran & meremehkan manusia. [HR. Muslim No.131].
Memang, tak pernah ada kalimat eksotis yang terlontar seperti halnya, “saya benar, tanpa dosa sedikit pun”. Namun, tingkah laku yang selalu menjudge pihak lain salah. Dan memposisikan diri paling suci, paling benar, dan paling dekat dengan Tuhan. Itulah yang mejerumuskan diri pada kata takabur.
Rasa keakuan yang tinggi menjadi kekasih Allah tanpa diikuti dengan tingkah laku yang diinginkan Allah Taala, Pantaskah menjadi kekasih Allah yang sejati?
Alih – alih menjadi kekasih Allah yang sejati. Lupa diri sendiri dan malah sibuk melucuti dan mengekspos kesalahan orang lain. Sudahlah, rehatlah sejenak dari melucuti kesalahan orang lain.
Berintropeksi diri menjadi pilihan alternatif untuk mencari ketenangan hati karena sebuah pengakuan dosa dan penyesalan khusyuk kepada Allah Taala akan mengikis keakuan dan menjauhkan diri dari dosa besar.