Aku sudah tua sedangkan, umurku mencapai 45 tahun. Kedua anak ku sudah menjadi orang. Sejak lulus SMA mereka memilih untuk merantau. Mengingat kondisi ekonomi yang semakin memburuk. Sedangkan jualan atap Daun kelapa semakin sepi pembeli. Ditambah ayah mereka yang sakit keras.
Sang kakak, Risma. Berangkat setelah lulus SMA. Ku bekali dengan nasi jagung kesukaannya. Dalam keadaan tak punya apa-apa aku lepaskan putri sulungku pergi merantau.
"Jangan lupa kabari ibu jika sudah sampai nak."
Ku usap kepalanya dan mencium keningnya.
Dia berjalan mendekati ayahnya yang masih berbaring lemas.
"Risma pamit ayah. Risma akan bekerja keras untuk pengobatan ayah." Ucap putri sulung pada Bapaknya.
Sedangkan sang Bapak hanya terdiam menahan tangis.
Itu sudah berlalu 10 tahun yang lalu. Tiga bulan setelah kepergian Risma. Allah memanggil bapaknya. Tangis Isak sang adik membuat aku tambah menderita. Memikirkan anak-anak yang harus diasuh sendiri. Ditambah keperluan mereka yang semakin bertambah dengan bertambahnya umur mereka.
Tak ada pilihan lagi. Sang adik memaksaku untuk ikut merantau bersama kakaknya.
"Bu, izinkan aku pergi. Jika aku terus berada di desa kecil ini. Aku tidak akan berkembang. Aku terus menahan rasa malu saat diejek teman-temanku. Mereka bisa beli baju baru, sepatu, tas, dan semua yang mereka inginkan. Sedangkan aku?"
Kata-kata Dian membuat aku semakin terpuruk. Ibu macam apa aku ini. Untuk memberikan kebahagiaan saja aku tak mampu. Mau mendapatkan uang dari mana?
Dari hasil jual atap daun kelapa? Itu sungguh tidak mungkin. Atap yang setiap hari ku buat tidak sampai 50rb hasil jualnya. Sedangkan aku harus duduk berjam-jam membuat atap tersebut.
Ditambah sekarang sudah sedikit rumah yang beratap daun kelapa. Sekarang semua orang sudah beralih ke atap yang lebih bagus dan awet. Ada yang masih membeli hanya untuk atap rumah-rumahan di sawah. Itu pun jarang.
Daun kelapa kering juga sudah jarang, akibat penambangan beberapa lahan kelapa yang harus dibangun ruko dan beberapa rumah. Toh, tenaga orangtua seperti aku mana bisa lagi mengangkat daun kelapa yang banyak. Seandainya Saja, bapak dari anak-anakku masih ada dan sehat. Mungkin bisa membantu menjualkan atap ke pasar.
Ah, tapi semua ini sudah dalam kehendak Tuhan. Mana bisa makhluk Tuhan bisa mengubah kehendak sang Pencipta.
Sungguh sangat miris hidupku. Ditinggal suami tanpa ditinggalkan sedikit harta untuk menghidupkan anak-anak. Ditambah Risma yang sudah hilang kabar setelah kepergian ayahnya.
Sempat sesekali ku dengar kabarnya dari mulut para tetangga. Kalau dia sudah berkeluarga dengan lelaki mapan di Batam sana. Dia bekerja keras hingga bisa berpenghasilan banyak. Dia mengubah tampilan dan gaya hidupnya.
Sungguh malang nasib janda beranak dua seperti ku. Bahkan kabar anak sendiri aku tau dari mulut tetangga.
Tak habis berpikir tentang Risma. Dian datang lagi mengeluh tentang hidup yang susah ini.
Risma beda dengan Dian. Sejak SMA Risma selalu membantu untuk membuat atap. Membantu memilih daun kelapa yang jatuh di kebun kelapa pak Tohir. Orang terkaya yang ada di desa Rumpuhsati ini. Beliau memiliki kebun kelapa berhektar-hektar. Saat panen kelapa dia selalu menyuruhku untuk mengambil daun kelapa kering yang jatuh. Di hari biasa pun pak Tohir tetap memberikan kesempatan untuk mengambil daun kelapa yang jatuh.
Orang kaya seperti beliau ini yang harus banyak di dunia. Yang tidak pernah memikirkan derajat dan tidak membandingkan satu sama lain.
Lain dengan pemilik kebun kelapa yang lain. Jangankan memilih daun kelapa. Pergi menginjak kebunnya saja tidak boleh. Alasannya warga kecil seperti kami tidak cocok berada di sana. Nanti miskinnya tertular.
Kepala ku makin pusing memikirkan anak bungsuku ini. Jika dia juga aku lepaskan, sama siapa aku akan hidup. Apa harus relakan mereka demi kebahagiaannya? Atau malah menolak untuk hidup susah bersamaku.
Tidak! Aku tidak boleh membiarkan Dian ikut dengan kakaknya. Aku tak mau kehilangan lagi. Cukup Risma yang pergi meninggalkan kami. Hidupku sudah terlalu menderita. Aku akan bekerja keras untuk membahagiakan putri bungsuku.
Hari mulai petang. Aku akan siapkan nasi jagung dan ikan goreng untuk makan malam nanti. Saat makan malam tiba aku harus bicara dengan Dian. Semoga dia bisa memahami keadaan ini.
"Dian, mari makan dulu. Dari tadi siang kamu belum makan. Ibu nggak mau nanti Dian jatuh sakit."
"Tidak! Dian tidak mau makan sebelum ibu mengizinkan Dian pergi merantau."
Watak anak sulung ku ini memang berbeda. Rasa ingin memiliki sesuatu sangat besar. Apa yang dia mau harus didapatkan. Kalau tidak, yah seperti ini. Diam di kamar sampai apa yang diinginkan dikabulkan.
"Nanti kita bicarakan lagi, nak. Sekarang Dian makan dulu." Bujukku lagi.
Tapi apalah daya aku sebagai ibu yang tak punya apa-apa. Ku harus buang keegoisanku ini. Aku akan melepaskan Dian pergi mencari kebahagiaannya.
Hidup perlu pengorbanan untuk satu kebahagiaan. Meski hal itu sulit untuk dilepaskan. Akan aku relakan untuk kebahagiaan mereka.
Atap daun kelapa. Teman duduk saat bekerja. Akan terus menemani hidupku hingga akhir hayat ini.