Kamis, 13 Juni 2019 lalu Ust. Firanda bertandang ke Banda Aceh. Kedatangannya tentu bukan dalam rangka melancong (jalan-jalan) layaknya seorang wisatawan. Sudah barang tentu beliau ke Aceh untuk berdakwah. Dari kabar yang tersebar, Ust. Firanda akan mengisi kajian di beberapa masjid sekitaran Kota Banda Aceh. Salah satunya adalah masjid al-Fitrah, Keutapang.

Sayangnya, kehadiran Ust. Firanda bernasib sama dengan Ust. Abdul Shomad ketika berkunjung ke Bali. Perbedaannya hanya terletak pada siapa yang menolak mereka. Jika Ust. Abdul Shomad ditolak oleh masyarakat Bali yang notabenenya beragama Hindu, Ust. Firanda justru ditolak oleh sebagian orang Aceh yang mayoritasnya beragama Islam.

Masyarakat yang mengatasnamakan diri sebagai ahlu al-sunnah wa al-jamaah (aswaja) pada awalnya menghadang kedatangan Ust. Firanda di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar. Ternyata, Ust. Firanda berhasil lolos dari kepungan massa dan dibawa ke Hotel oleh Panitia. Tidak lama di Hotel, massa kembali datang dengan tuntutan yang sama.

Singkat cerita, Ust. Firanda tetap mengisi kajian yang sudah dijadwalkan pada malam harinya di masjid al-Fitrah, Keutapang. Hanya beberapa menit beliau berbicara, ternyata massa aswaja kembali mendatangi keberadaan Ust. Firanda. Kali ini semakin agresif, dan pengajian akhirnya dibubarkan secara paksa. Adu fisik antar jamaah tidak terhindarkan hingga akhirnya memakan korban jua.

Kisruh semacam ini sejatinya telah lama terjadi di Aceh. Pada tahun 2016 lalu, masjid al-Izzah, Krung Mane juga diserang oleh sekolompok orang yang tergabung ke dalam santri dayah dan tentunya selalu ada Front Pembela Islam (FPI) di sana (Baca: AJNN, 23 Mei 2016). Alasannya tidak lain karena masjid tersebut terindikasi berpaham atau setidak telah dikuasai oleh kelompok wahabi.

Di Juli Kabupaten Bireun, masjid Muhammadiyah juga mendapat perlakuan yang sama (Baca: Kemenag Bireuen Larang Masjid Muhammadiyah Berdiri di Juli). Masih di Kabupaten yang sama, masjid Taqwa Samalanga juga dihalangi pembangunannya. Masjid ini bahkan sempat dibakar fondasinya. Alasannya tetap sama; Muhammadiyah juga dianggap wahabi dan bertentangan dengan aswaja (Baca: Tak Sesuai Aswaja, Fondasi Masjid Muhammadiyah Aceh Dibakar).

Tidak berhenti di situ, sebelumnya, kisruh semacam ini juga terjadi di masjid kebanggaan masyarakat Aceh, Masjid Raya Baiturrahman (MRB). Kita masih ingat bagaimana proses salat Jumat sempat terhenti hanya karena masalah tongkat dan azan dua kali. Tujuannya pun masih sama, bahwa mereka ingin mengembalikan MRB ke paham dan praktik ahlu al-sunnah wa al-jamaah.

Al Chaidar menyebut peristiwa anti perbedaan mazhab di atas sebagai bangkitnya konservatisme di Aceh (Serambi Indonesia, 26 Juni 2015). Dan aktor yang selalu hadir dalam peristiwa penolakan wahabi ini tidak lain adalah petinggi FPI di Aceh. Sebagaimana di Indonesia, kita paham benar bagaimana FPI memang sangat ahli dalam aksi-aksi semacam ini.

 Apa yang hendak dijelaskan dalam tulisan ini hanyalah soal warning yang sudah sering diingatkan. Rangkaian kejadian di atas seharusnya cukup menjadi pelajaran dan catatan penting bagi pemerintah dalam merespon potensi kericuhan di masa depan.

Pada 27 Agustus 2018 silam, Dr. Kamaruzzamam Bustamam Ahmad (KBA) bahkan telah menulis begitu jelas dan tepat tentang potensi konflik di Aceh pada 2019 (Serambi Indonesia, 27/8/2018. KBA mengatakan bahwa di tahun 2019 akan terjadi beberapa konflik di Aceh.

Menurutnya, konflik dimaksud bahkan ada yang puncaknya lebih banyak beradu fisik ketimbang non-fisik. Nah, di antara konflik dimaksud adalah konflik antara kelompok yang disinyalir sebagai Wahabi dengan Kelompok Anti-Wahabi. Konflik ini benar-benar terjadi. Sebagaimana dikatakan KBA, konflik ini disertai dengan ancaman dan adu fisik.

Meski KBA tidak menyebut siapa yang Anti-Wahabi itu, sebenarnya masyarakat awam seklipun telah dapat menebak. Lewat tragedi di masjid al-FItrah dan beberapa masjid lain sebelum atau setelahnya, tebakan masyarakat terkonfirmasi bahwa kelompok Anti-Wahabi itu adalah mereka yang mengatasnamakan diri sebagai ahlu sunnah wa al-jamaah (Aswaja).

Apa yang disampaikan KBA sejatinya bukti yang menunjukkan bahwa kita adalah masyarakat yang tingkat literasinya begitu rendah. Daya baca kita perlu digenjot. Karena lemahnya daya baca ini pula kita patut menyayangkan lahirnya fatwa MPU terkait dengan pengharaman beberapa buku ghairu mu’tabar untuk dikonsumsi oleh masyarakat awam di Aceh (Baca: Kitab Ghairu Mu'tabar Haram).

Saya katakan sebagai bukti karena nyatanya tulisan KBA dan rangkaian peristiwa di atas diabaikan oleh stakeholder di Aceh. Alih-alih menyiapkan strategi pencegahan aksi radikal dan persekusi, pemerintah bahkan cenderung tidak peduli. Parahnya, Pemerintah terkesan membenarkan aksi brutal kelompok aswaja ini. Dengan entengnya, Polisi bahkan berkata bahwa mereka (panitia) sudah diperingatkan.

Jadi, surat dari MPU yang berlandaskan pada fatwa MPU seoalah menjadi hukum positif yang dijadikan dasar oleh Polisi. Padahal, jikapun itu hukum positif—nyatanya tidak, apakah benar persekusi atau pembubaran paksa pengajian semacam ini? Apakah boleh warga main hakim sendiri?

Harusnya pesan KBA ini didiskusikan secara serius. Potensi konflik antara Wahabi dan Anti-Wahabi harusnya diperjelas dengan cara-cara beradab. Dan saya, untuk konflik ini sangat berharap diadakannya debat antar dua kelompok. Di situ, mereka yang dituduh Wahabi juga akan merasa adil karena diberi kesempatan untuk menjelaskan.

Setelah debat itu digelar, harus ada semacam kesepakatan dari kedua belah pihak bahwa perbedaan pendapat, bahkan dalam segala urusan, merupakan kodrat Tuhan yang mustahil disatukan. Karenanya, agenda berikutnya adalah penguatan nilai-nilai toleransi dan hak asasi manusia. Dua hal ini pentinhg guna mendorong penghormatan dan perlindungan atas keberagaman dan keberagamaan.