ASEAN perlu didorong agar lebih tegas kepada pemerintahan militer Myanmar dalam menjalankan konsensus hasil Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Khusus ASEAN, 24 April 2021. Memasuki minggu ketiga paska KTT Khusus itu, Myanmar tampaknya belum menunjukkan sinyal bakal menjalankan lima konsensus sebagai hasil KTT itu. Bahkan, pihak militer ---yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing--- masih melakukan penangkapan dan tindakan kekerasan kepada masyarakat dan demonstran.
Padahal, kekerasan itu merupakan salah satu butir dari lima konsensus ASEAN yang harus segera dihentikan oleh pemerintahan junta militer Myanmar. Kelima butir konsensus itu meliputi, yaitu: pertama, penghentian segera kekerasan di Myanmar; kedua, perlunya dialog konstruktif menuju solusi damai; ketiga, penunjukan utusan khusus sebagai mediator dialog; keempat, bantuan kemanusiaan; terakhir, kelima, kunjungan utusan khusus dan delegasi ASEAN ke Myanmar.
Kelima konsensus itu sebenarnya bisa dibagi dua bagian berdasarkan penanggung jawab pelaksanaannya. Butir pertama dan dua menjadi tanggung jawab pemerintahan militer Myanmar. Sedangkan ASEAN bertanggung jawab atas butir ketiga hingga lima. Meskipun begitu, pelaksanaan kelima konsensus itu tetap ditentukan oleh persetujuan pemerintahan militer hingga KTT ASEAN itu berakhir.
Meskipun demikian, perkembangan menarik dan, sekaligus, mengejutkan berlangsung di Myanmar. Dinamika politik domestik di Myanmar menunjukkan angin segar bagi demokrasi di negeri itu. Dua minggu menjelang KTT itu, kelompok oposisi dan masyarakat sipil membentuk Pemerintah Persatuan National (National Unity Government/NUG).
Sementara itu, National League for Democracy (NLD) ---yang dipimpin Aung San Suu Kyi--- tampaknya memberikan otoritas politiknya kepada NUG melalui tokoh-tokohnya yang bergabung di dalamnya. Tokoh-tokoh NLD yang dipenjara oleh pemerintahan junta militer mengalami kesulitan untuk meneruskan oposisi politiknya. Oleh karena itu, keberadaan NUG menjadi semacam jalan keluar baru bagi perlawanan masyarakat sipil kepada junta militer.
NUG sebagai aktor baru
ASEAN dan pemerintah Myanmar mendapat tantangan politik baru dan nyata dari NUG. Keberadaan NUG dapat dipandang ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, NUG menjadi aktor baru bagi demokrasi di negeri itu.
Walaupun posisi politiknya tidak dapat sepenuhnya menggantikan NLD, kemunculan NUG mencerminkan bahwa masyarakat sipil tidak hanya tergantung pada NLD. Sebaliknya, dukungan NLD terhadap NUG akan semakin meningkatkan legitimasi politik NUG di antara berbagai kelompok oposisi.
Melalui NUG, masyarakat sipil dapat memberikan dukungan politiknya, sehingga NUG memperoleh legitimasi politik lebih besar di tingkat domestik. Selain itu, sejak awal pembentukannya, NUG menegaskan posisinya sebagai pemegang otoritas sah dari rakyat myanmar agar pengakuan internasional. Harapannya adalah masyarakat internasional akan lebih mempertimbangkan legitimasi politik NUG ketimbang pemerintahan militer.
Sebaliknya, di sisi lain, keberadaan NUG justru dianggap lebih mempersulit prospek demokrasi Myanmar. Di tingkat domestik, NUG secara tegas tidak bersedia mengakui keberadaan pemerintahan militer. Konsekuensinya, NUG menolak berunding dengan pemerintahan militer yang secara de facto berkuasa di Myanmar.
Sementara itu, di tingkat regional, NUG cenderung memandang ASEAN secara sinis terhadap upaya perdamaian yang diusulkan ASEAN melalui lima konsensus. NUG menganggap ASEAN mengakui pemerintahan militer Myanmar, termasuk janji militer untuk menyelenggarakan pemilu dalam waktu 1 tahun.
Pada KTT Khusus ASEAN itu, NUG bahkan memprotes ASEAN yang telah mengundang Jenderal Hlaing. Sebaliknya, NUG menuntut ASEAN memberikan kursi perwakilan Myanmar kepadanya, bukan kepada pemerintahan militer.
ASEAN sebagai mediator
Salah satu faktor penentu bagi optimisme ASEAN adalah dukungan dari pemerintahan militer terhadap peran kongkrit ASEAN sebagai mediator. Persetujuan pihak militer akan menjadi tiket penting bagi ASEAN untuk masuk ke Myanmar. Dengan kesepakatan militer, ASEAN dapat lebih mudah menjalankan perannya.
Selain itu, peran mediator itu dapat dimanfaatkan ASEAN untuk mencari peluang dialog dengan NUG dan/atau NLD sebagai perwakilan dari masyarakat sipil. Ajakan ASEAN kepada NUG untuk berunding merupakan pengakuan organisasi regional itu terhadap NUG. ASEAN juga menempatkan NUG di posisi seimbang dengan pemerintahan militer.
Selain itu, persetujuan pemerintahan militer juga dapat digunakan ASEAN untuk bersikap lebih tegas dalam menjalankan butir ketiga hingga kelima dari konsensus KTT Khusus ASEAN. ASEAN dapat mengusulkan nama-nama utusan khusus kepada Myanmar untuk disetujui.
Persetujuan itu akan berlanjut pada pelaksanaan butir lain dari konsensus itu, yaitu kedatangan utusan khusus itu ke Myanmar. Dengan penetapan dan kedatangan utusan khusus, ASEAN dapat memulai tahapan lanjut dari proses perdamaian Myanmar. Kedatangan utusan khusus itu dapat disertai oleh delegasi ASEAN.
Banyak faktor akan menentukan pelaksanaan butir-butir konsensus itu. Apalagi ketika NUG juga meminta hak yang sama kepada ASEAN dalam memberikan persetujuan terhadap pelaksanaan konsensus itu.
NUG dipastikan akan menuntut pelaksanaan butir pertama dan kedua sebagai syarat bagi pelaksanaan butir ketiga dan seterusnya. Situasi ini menjadi rumit bagi ASEAN jika pemerintahan militer menolaknya.
Semua proses itu tidak bisa berjalan cepat dan akan memerlukan waktu. Meskipun demikian, ASEAN tetap diharapkan memiliki peran strategis bagi perdamaian Myanmar. Dinamika hubungan di antara pemerintahan militer dan NUG akan mempengaruhi peran ASEAN sebagai mediator.