Satu tahun lebih junta militer berkuasa di Myanmar telah menjadi penghambat bagi ASEAN. Karena krisis Myanmar, ASEAN tidak bisa memfokuskan pada upaya-upaya regional dalam penanggulangan pandemi Covid-19 dan dampaknya. ASEAN juga terbebani oleh berbagai potensi konflik dari persaingan kepentingan global di kawasan ini antara Amerika Serikat (AS) dan China. Implikasi persaingan pengaruh global juga berkaitan dengan respon ASEAN terhadap perang Rusia-Ukraina.
Tarikan kepentingan dan pengaruh itu menyebabkan negara-negara anggota ASEAN memiliki sikap berbeda terhadap vaksin Covid-19, konflik klaim di Laut China Selatan, pakta pertahanan AUKUS, perang Rusia-Ukraina, dan terakhir, krisis politik atau kemanusiaan di Myanmar.
Upaya ASEAN
Mengenai krisis Myanmar, ASEAN telah mengeluarkan kebijakan regional. Pada April 2021, para pemimpin ASEAN bersama Jenderal Min Aung Hlaing telah menyepakati peta jalan penyelesaian damai bagi krisis Myanmar. Peta jalan itu tertuang dalam lima poin konsensus ASEAN.
Lima poin konsensus itu meliputi penghentian kekerasan di Myanmar, dialog konstruktif menuju solusi damai, penunjukan utusan khusus sebagai mediator dialog, bantuan kemanusiaan, serta kunjungan utusan khusus dan delegasi ASEAN ke Myanmar.
Selain itu, ASEAN telah menerapkan kebijakan 'pengucilan' kepada Myanmar. Setidaknya empat (4) pertemuan puncak baik di antara ke-10 negara anggota ASEAN maupun ASEAN dengan negara mitra (seperti China dan Uni Eropa) tidak mengundang pemimpin junta militer Myanmar.
Myanmar telah ditinggalkan oleh sembilan negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dalam pertemuan puncak. Pertama dan kedua, pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke 37 dan 38 ASEAN, 26-28 Oktober lalu. Ketiga, pada KTT Khusus ASEAN-China untuk memperingati 30 tahun hubungan ASEAN-China, Senin (22/11/2021). Keempat, yaitu keterisolasian Myanmar juga terjadi pada KTT ASEAN-Uni Eropa menggelar pertemuan Asia-Eropa (ASEM) Ke-13, Januari 2022.
Meskipun demikian, perkembangan di Myanmar justru menimbulkan kritik keras kepada ASEAN. Satu-satunya organisasi regional di kawasan Asia Tenggara itu dianggap lemah dan, bahkan, tidak mampu menyelesaikan krisis Myanmar.
Penyebab
Penyelesaian damai bagi krisis Myanmar memang tidak mudah bagi ASEAN. Setidaknya ada tiga penyebab kesulitan itu.
Pertama, Kepemimpinan Kamboja di ASEAN 2022 ini cenderung bekerja sendiri. Lawatan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen ke Myanmar dinilai melemahkan upaya ASEAN menekan pemimpin junta, Jenderal Min Aung Hlaing. Hun Sen terlalu percaya diri sehingga tidak berkonsultasi dengan ASEAN sebelum kunjungan itu.
Padahal, ASEAN memiliki mekanisme troika untuk menjaga kesinambungan ASEAN. Troika terdiri dari ketua ASEAN sebelumnya (2021, yaitu Brunei Darussalam), ketua pada saat ini (2022, yaitu Kamboja), dan ketua pada 2023 (Indonesia). Kunjungan yang gagal itu mengindikasikan bahwa Kamboja tidak memanfaatkan troika itu di dalam ASEAN.
Melalui Troika, Kamboja seharusnya dapat mengantisipasi persoalan mendesak menjadi perhatian bersama di ASEAN dan cenderung mengganggu perdamaian dan harmoni regional.
Kedua, Hun Sen telah terang-terangan bertindak menentang konsensus ASEAN. Pandangan itu ditegaskan ketua Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (ASEAN Parliament for Human Rights/APHR) Charles Santiago pada Jumat (7/1/2022). Kunjungan Hun Sen dapat ditafsir sebagai bentuk memberikan legitimasi terhadap pemerintahan junta.
Masyarakat internasional sulit menilai posisi Hun Sen sebagai ”penengah yang jujur.” Kebijakan domestik Hun Sen yang buruk terhadap para lawan politik di negerinya telah menurunkan kredibilitasnya dalam penyelesaian krisis Myanmar.
Dengan kunjungan Hun Sen, junta Myanmar bahkan seolah memperoleh pembenaran untuk meningkatkan kekerasan terhadap warga sipil di negara berpenduduk 54 juta jiwa itu.
Selain itu, kunjungan Hun Sen tidak sesuai dengan hasil KTT Khusus ASEAN tentang krisis Myanmar pada April 2021 di Jakarta. Salah satu poin dari lima (5) poin konsensus ASEAN adalah penunjukkan utusan khusus ASEAN untuk Myanmar. Alih-alih utusan khusus yang berkunjung, kunjungan Hun Sen justru menjadi blunder bagi Kamboja sebagai ketua ASEAN.
Penyebab ketiga bagi lemahnya ASEAN adalah penentangan dari pihak Myanmar sendiri. Dari lima poin ini, ASEAN dan Myanmar baru bisa mewujudkan satu poin, yaitu penunjukan utusan khusus ASEAN. Sebagai Ketua ASEAN, Hun Sen sebenarnya dapat mengurangi kritik terhadap lawatan ke Myanmar. Salah satu caranya adalah bertemu dengan Pemerintah Persatuan Nasional (National Unity Government/NUG), yang terdiri dari anggota parlemen terpilih yang digulingkan. Namun, pertemuan itu tidak mungkin dapat dilakukan karena junta sudah menetapkan NUG sebagai ”kelompok teroris”.
Hingga penunjukan utusan khusus ASEAN, junta militer Myanmar ternyata tetap menolak mengijinkan pertemuannya dengan NUG. Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn dalam kapasitasnya sebagai Utusan Khusus Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN untuk Myanmar gagal bertemu dengan NUG.
Prak Sokhonn sebenarnya telah mendesak para jenderal yang berkuasa di Myanmar untuk mengizinkannya bertemu dengan semua pemangku kepentingan di sana. Selain dengan junta militer, Prak Sokhonn juga mendesak bertemu dengan pemimpin sipil Myanmar yang terguling, Aung San Suu Kyi. Upaya sebelumnya utusan khusus ASEAN untuk bertemu dengan Suu Kyi yang tengah ditahan dan diadili junta tidak terlaksana karena dihalang-halangi oleh junta.
Hingga sekarang, junta militer memang cenderung bersikap tertutup dan menolak tawaran ASEAN yang sebenarnya disepakati sendiri oleh Jenderal Hlaing. Sikap Myanmar itu secara jelas telah mempersulit ASEAN dalam menawarkan solusi perdamaian terhadap krisis Myanmar.
ASEAN memang perlu memikirkan upaya-upaya terobosan agar krisis Myanmar tidak berlarut-larut. Menurut catatan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, pasukan junta telah membunuh sekitar 1.443 warga sipil sejak kudeta militer dilakukan pada Februari 2021. Sebagai Ketua ASEAN pada 2022 ini, Kamboja juga perlu meningkatkan konsultasi regional dengan 8 negara anggota lain agar ASEAN segera dapat menemukan solusi terhadap krisis Myanmar.