Hannah Arendt adalah salah satu pemikir politik terpenting di era modern. Pemikir kelahiran Jerman 1906 yang kemudian menempuh studi di Marburg, Freiburg, dan Heidelberg ini dikenal begitu produktif. Karya-karyanya, antara lain: Men in Dark Times, Crises of the Republic, The Origin of Totalitarianism, The Human Condition dan sebagainya.

Salah satu hal yang menarik dari pemikiran Arendt adalah untuk diperbincangkan adalah pemaknaannya mengenai “Apa itu politik?” yang menurut hemat penulis sangat penting diletakkan dalam konteks kepolitikan di Indonesia yang mana makna dan praktik politik tersebut sudah mengalami banyak distorsi. 

Politik yang Otentik

Politik sering dipahami dengan pemaknaan kekuasaan, pihak yang satu bisa mendominasi pihak yang lain, pengejaran-pengejaran kepentingan pribadi. Secara umumnya, dalam arti peyoratif, politik bahkan diidentikan dengan praktik-praktik yang kotor. Hannah Arendt kemudian mencoba membantahnya dengan perenungan filosofisnya, dan mengabstraksikan pengertian politik dalam tataran idealnya, untuk menemukan makna “politik yang otentik”.

Pertama-tama, sebagaimana yang dijelaskan oleh Agus Sudibyo dalam Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt (2012), dengan melakukan pembacaan atas teks-teks klasik Yunani kuno, Arendt melakukan pembedaan antara oikos (ruang privat) dan polis (ruang publik). 

Di dalam oikos, terdapat eksploitasi, pengejaran kepentingan privat (ekonomi) dan sebagainya. Sementara itu, di dalam polis, merupakan medium penampakan diri dan interaksi antar warga, di mana tindakan dan ucapan dimaksudkan untuk kepentingan hidup bersama. Apa yang diandaikan dalam kehidupan polis adalah kesetaraan.

Kata polis inilah, atau dengan kata lain, kehidupan di dalam polis inilah yang kemudian disebut sebagai hubungan yang bersifat politis, sementara hubungan di dalam oikos bersifat apolitis. Garis damarkrasi antara ruang privat dan ruang publik ini penting bagi Arendt untuk menghindarkan politik dari intervensi hubungan yang bersifat privat. 

Dengan demikian bila mengacu pada pandangan Arendt, apa yang disebut sebagai “pemerintahan” pun belum tentu dikatakan bersifat politik, dan bisa saja “pemerintahan” sekalipun masih dalam keadaan prapolitis. Politik baru terlaksana ketika terwujud koeksistensi individu-individu yang setara dan bertindak bersama-sama dalam  ruang publik. 

Dalam The Human Condition (1959)Arendt menegaskan bahwa politik merupakan “kebersamaan dalam keberagaman”. Dengan demikian, tindakan politik, harus didasarkan pada common good (kehidupan baik bersama). Sebab itu, apa yang disebut sebagai tindakan politik mengandaikan penerimaan atas pluralitas, dan harus mampu meminggirkan kepentingan privat guna mewujudkan kehidupan baik bersama.

Menurut Maurizio Passerin d’Enteves dalam Filsafat Politik Hannah Arendt (2003), Arendt sendiri dalam mengonsepsikan politik, lebih didasarkan pada gagasan active citizenship (kewarganegaraan aktif), yakni pada nilai dan arti penting civic engagement (keterlibatan warga negara) dan collective deliberation (penilaian kolektif) tentang pelbagai persoalan yang memengaruhi komunitas politik dan hajat hidup orang banyak. 

Tentu saja, kesemua itu tidak dapat terwujud jika tidak ada kebebasan. Dengan demikian, Arendt pun, sebagaimana yang dijelaskan oleh Agus Sudibyo (2012), berkesimpulan bahwa makna politik adalah kebebasan. Politik adalah kebebasan dari hubungan yang bersifat despotik, dominatif dan semacamnya, serta kebebasan untuk tampil secara otentik dalam ruang kebersamaan warga. Dengan demikian, politik terjadi melalui tindakan politis dalam ruang publik.

Dalam pandangan Arendt, apa yang disebut sebagai manusia politik, merujuk kepada kapasitas bertindak dan berbicara di ruang publik pluralistik. Dengan demikian, gagasan Arendt, menekankan warga sebagai pusat dalam kehidupan politik, dengan mengandaikan warga sebagai agen politik, yang mempunyai kapasitas untuk melakukan deliberasi ataupun penilaian politis, tentunya dalam tindakan bersama dalam keberagaman untuk mewujudkan kehidupan baik bersama. Itulah pemaknaan politik yang otentik dalam kacamata Hannah Arendt.

Hambatan Mengembangkan Politik Otentik”: Refleksi atas Politik Indonesia

Politik otentik dalam perspektif Arendt, mengandaikan adanya rigiditas antara “yang publik” dan “yang privat”. Sementara itu, dalam konteks politik Indonesia, kerapkali yang mendominasi “praktik politik” adalah pengejaran kepentingan-kepentingan privat (pribadi), seperti penguasaan sumber daya materi dan sebagainya. Sehingga yang terjadi, yakni dominasi oligarki dalam kehidupan politik, atau bila mengacu pada teori lain, yakni suburnya praktik politik kartel.

Fenomena tersebut, jelas dapat menjadi hambatan warganegara untuk menjadi agen politik dan pusat dalam kehidupan politik. Apa yang menyangkut “kehidupan orang banyak”, bukan ditentukan oleh tindakan politis warga, melainkan oleh segelintir elite.

Dan terang saja, fenomena tersebut menghambat apa yang disebut oleh Arendt sebagai ‘tindakan politis’, yang seharusnya mendasarkan pada tindakan warga dalam “kebersamaan dalam keberagaman” untuk mewujudkan common good. 

Hal lain yang menghambat terwujudnya politik otentik, yakni dari warga negara itu sendiri. Tindakan dalam ruang publik, acap kali masih diwarnai dengan sentimen-sentimen primordial. 

Dengan kalimat lain, kita masih dapat menjumpai tindakan warga dalam ruang publik yang didasarkan pada kepentingan privatnya (seperti kepentingan kelompok). Hal inilah yang juga dapat menjadi hambatan terpancarnya virtue dalam ruang publik politik.