“Yang gagap memahami hukum akan gugup berhadapan dengan hukum.”

Sejak kapan [mengapa] seorang warga negara akan dihukum? Pertanyaan ini mungkin akan dijawab berbeda oleh orang yang berpendidikan hukum dan masyarakat awam. Berbeda dari segi memaknai pertanyaan maupun memformulasi jawaban.

Kendati, dalam ajaran hukum pidana, seseorang akan diberikan pemidanaan (hukuman) apabila ia melakukan sesuatu (perbuatan) yang dilarang oleh hukum dan ia (dirinnya) menginsyafi atau patut menyadari perbuatan itu sebagai suatu yang terlarang. 

Kira-kira seperti itu kata Eddy O.S Hiariej dalam bukunya “Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,”  seorang yang saat ini menduduki jabatan salah satu politik penting di negeri ini.

Dari pengertian di atas, hal yang perlu digaris bawahi untuk seseorang dapat dijatuhi sanksi dalam negara hukum (nomoi)−Indonesia ialah: “perbuatan yang mengingkari hukum” dan “kemampuan diri dalam menyadari arti perbuatan”.

Namun seseorang dapat saja dijatuhi sanksi yang disuksesi dalam peradilan gelap alias apabila: “polisinya barbar; jaksanya bajingan; dan hakimnya brengsek.”

Mengenai hal ini. Kafka, dalam novel Kastil yang dikutip Goenawan Mohammad menceritakan: …,pada suatu pagi yang cerah, di hari kelahirannya yang ke-30, Jeseph K ditahan dua petugas tanpa tuduhan. Selama setahun ia berusaha mengetahui undang-undang apa yang menyebut kesalahannya. 

Setahun itu ia menghadapi mahkamah yang bisu. Di ujung cerita, kedua petugas yang menangkapnya membawa Joseph K ke luar kota, dengan lugas mereka sembelih tahanan ini atas nama “hukum”. K tak memprotes. Sebelum mati mulutnya hanya mengucap, “seperti anjing”.

Negara, Hukum dan Hukuman

Sebenarnya penjatuhan hukuman atau sanksi pidana pada prinsipnya adalah sesuatu yang bertentangan, namun hal ini disimpangi atas nama kemanusiaan dan seluruh sabda moral yang menyertainya. 

Negara dalam alam demokrasi percaya bahwa setiap warga negara merupakan orang yang budiman─ yang berkedudakan setara dan berpartisipasi secara bebas dalam bingkai perasudaraan.

Kendati demokrasi adalah sebuah skandal─ satu langkah ke belakang kita ketemu dengan konsep negara Timokrasi dan Oligarki; sementara satu langkah ke depan kita berpapasan dengan konsep negara Anarki dan Tirani. 

Belakangan, barulah kemudian lahir konsep nomokrasi (negara hukum) atau demokrasi konstitusional yang merupakan sebuah antitesis terhadap noda sejarah umat manusia dalam bernegara.

Keberadaan hukum dan penghukuman hanya menandai suatu tatanan kehidupan yang dipenuhi oleh masyarakat barbar yang perlu arakan nan di atur. Keberadaan masyarakat dipahami sebagai komunitas beringas dan tak bisa berkompromi sehingga memerlukan suatu alat pengatur dan pemersatu yang bersifat memaksa─yaitu, hukum. 

Sejak dahulu kala manusia bercengkerama dalam perang dan konflik untuk merebut hak milik. Tak ada garis yang jelas sebagai pembatas kebenaran dengan catatan resmi yang lugas dan pasti.  Benar dan salah, baik dan buruk ditentukan oleh kekuatan. Namun benarkah demikian?

Apakah hukum sebagai suatu embrio terbentuk dari sebuah skandal gelap manusia dan terlahir dari ingar-bingar pertikaian masa lalu? Atau sebaliknya hukum sebagai “nilai” telah ada sebelum pertikaian manusia itu berlangsung─ berada menandai zaman sebelum adannya kejahatan. 

Pertanyaan ini dijawab dengan melihat Al-kisah Adam dan Siti Hawa yang diasingkan dari surga menandakan bahwa aturan [hukum] telah ditegakkan sudah lebih dahulu sebelum manusia diciptakan dan manusia menciptakan [kejahatan].

Eksistensi ide hukum melampaui kenyataan. Ia adalah awal dan berakhir sebagai penanda yang harus (das sollen) sebelum dan sesudah yang nyata (das sein. Berangkat dari uraian tersebut, sejalan dengan keberadaan negara dan penjatuhan hukuman yang belakangan lahir setelah hukum. 

Artinya hukuman yang dijatuhkan kepada warga negara bersumber dari kekuasaan negara yang dijamin oleh hukum.

Rakyat (demos) atau warga negara dipahami dalam konstruksi yuridis (hukum) yaitu  komunitas individu/sosial yang diterjemahkan sebagai Rechtsgemeinschaft (komunitas hukum) sehingga sebagai posisinya menjadi subyek hukum secara konsekuen dapat dituntut dan menuntut atas suatu pelanggaran.

Hukum “melarang” dan hukum “menjamin” negara untuk “menghukum” orang yang melakukan perbuatan terlarang. Keadaan demikian dalam doktrin disebut dengan istilah “Ius Poenale” dan “Ius Puniendi”

Negara memiliki kuasa menjatuhkan sanksi, namun pemberian hukuman hanya dapat dibenarkan apabila perbuatan tersebut adalah sesuatu yang dilarang.

Landasan penjatuhan Hukuman

Penjatuhan hukum dalam lintasan historis menyimpan segudang jejak ketidakadilan dan penderitaan yang dilakukan oleh penguasa (pemerintah) kepada rakyat. 

Dari penentuan perbuatan yang dilarang secara sepihak sampai penjatuhan hukuman tanpa pertanggungjawaban yang logis. Mulai dari cerita Medusa yang dihukum secara keji oleh Pares Athena hingga Raja atau penguasa Perancis yang semena-mena.

Tahun 1703, terdapat “Lettres de ceachet”, surat stempel kerajaan yang berisi perintah langsung Atas nama raja “De par le roy” untuk menegakkan tindakan sewenang-wenangan kepada rakyat dan tidak diajukan bandang perlawanan. Sementara raja dibebaskan dari hukuman atas dasar prinsip “Rex solutus est a legibus”.

Sehingga kelahiran pengaturan sanksi maupun syarat penjatuhan hukuman secara ketat yang lahir saat ini sesungguhnya bersamaan dengan kesadaran masyarakat beradab yang ingin mengembalikan kedaulatan pada tangan rakyat dan menumbangkan kekuasaan penguasa yang otoriter. 

Pola dan metode penghukuman ditentukan oleh rakyat melalui instrument hukum tertulis yang dikenal sebagai “legalitiy of pricples” (asas legalitas). 

Casare Beccaria (1738-1794) dalam magnum opusnya Dei Delitti e delle pene (1764) menegaskan perlu adanya humanisasi dalam hukum pidana. Beccaria menegaskan hanya “undang-undang” yang dapat menentukan suatu jenis perbuatan yang dianggap jahat dan dijatuhi hukuman. 

Tiga decade kemudian Baru kemudian pada tahun 1801, Paul. J. Anslem von Feuerbach menguraikan lebih lanjut prinsip tersebut dalam salah satu maksim latin yang berbunyi:  nulla poena sine lege; “tidak ada hukuman tanpa ketentuan undang-undang” (C.J.H Jansen, 2006: 1).

Tidak hanya perbuatan yang dilarang sebagai syarat tunggal penjatuhan pidana, diskursus pengetahuan modern memunculkan sebuah wacana filosofis baru. Dimana selain unsur “perbuatan” yang terpenuhi, seseorang harus “mampu bertanggungjawab” untuk dapat dijatuhi pidana.

Formulasi demikian dapat dilihat pada ilustrasi di bawah ini.

Perbuatan Pidana  + Pertanggungjawaban Pidana = Pemidanaan

Dengan demikian seseorang hanya akan dapat dihukum apabila ia mampu bertanggungjawab. "Sebaliknya tidak dihukum hanya karena ia tidak mampu bertanggungjawab", formulasi demikian dalam ajaran hukum pidana dikenal sebagai “formula/rumusan secara negative”. 

Rumusan secara negative artinya, terdapat keadaan-keadaan yang terdapat dalam diri seseorang sehingga membuat orang tersebut dinyatakan “tidak” mampu bertanggungjawab.

Rumusan secara negative (ketidakmampuan bertanggungjawab) oleh pembentuk undang-undang di Twee de Kamme(Parlemen Belanda) pada tahun 1886, berpijak pada prinsip yang menganggap bahwa “setiap orang itu harus dianggap mampu bertanggung jawab” (Chazawi, 2002: 147) . 

Artinya hakim di pengadilan berasumsi pelaku kejahatan/terdakwa memiliki kemampuan bertanggungjawab sebelum dibuktikan sebaliknya dengan sebenar-benarnya. demikian apabila terdapat hal-hal yang tidak menunjukkan terdakwa tidak mampu bertanggungjawab maka atas nama hukum, terdakwa tidak dipidana.