Kerangka hukum kita masih mempersyaratkan pengakuan masyarakat adat melalui penetapan oleh produk hukum daerah. Penetapan masyarakat adat tersebut merupakan bentuk pendelegasian fungsi negara kepada pemerintah daerah akibat belum adanya undang-undang khusus yang mengatur masyarakat adat (baca: RUU perlindungan hak masyarakat adat).

Pengaturan hak masyarakat adat masih terpisah-pisah dalam undang-undang sektor. Pengaturan sektoral tersebut memiliki kriteria tentang keberadaan masyarakat hukum adat yang saling tumpang-tindih satu sama lain. Akibatnya, indikator keberadaan masyarakat adat antarsektor tersebut tidak mempunyai standar baku dan terintegrasi.[1] 

Selain itu, skema hukum penetapan masyarakat adat melalui produk hukum daerah akan bersentuhan dengan proses politik di daerah. Penetapan masyarakat adat melalui proses politik daerah ini potensial menutup akses pada komunitas-komunitas masyarakat adat yang minoritas.

Di samping itu, skema hukum penetapan masyarakat adat tidak mewajibkan persetujuan masyarakat adat untuk menerima atau menolak tentang substansi norma yang mengatur tentang komunitasnya. Tetap saja kewenangan penetapan tersebut berada di tangan Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui proses-proses politik.

Artinya, negara belum melahirkan model pengaturan komprehensif untuk melindungi hak‐hak masyarakat adat, baik dari sisi substansi pengaturan maupun kerangka implementasinya. Sehingga dilihat dari kacamata hak asasi manusia, maka terjadi situasi pengabaian hak masyarakat adat dengan membatasi penikmatan hak masyarakat adat akibat kerangka legal yang belum jelas.

Arah Perlindungan

Tumpang-tindih pelaksanaan perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam peraturan perundang-undangan merupakan wajah kerangka hukum perlindungan hak-hak masyarakat adat yang belum dilaksanakan secara holistik dan terintegrasi. Tumpang-tindih ini adalah konsekuensi dari sektoralisme berlebihan dalam pelaksanaan pemenuhan hak, yang berkonsekuensi pada pemenuhan hak masyarakat adat secara parsial dan berpotensi mengurangi penikmatan hak masyarakat adat.

Isu pengakuan masyarakat adat sebagai subjek hukum, terutama pada aspek penguasaan tanah dan sumber daya alam serta pemerintahan masih menjadi persoalan yang mesti dipecahkan. Pengakuan bersyarat dalam UUD 1945 mesti ditafsir secara lebih komprehensif dalam upaya pemenuhan hak.

Sebenarnya, Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya telah menyebutkan lima unsur keberadaan masyarakat hukum adat (actual existence) tidak bersifat kumulatif, namun sebagai indikator penunjuk saja atas keberadaan masyarakat adat, baik yang bersifat fungsional, geneologis maupun teritorial. Artinya, prasyarat pengakuan masyarakat adat sebagai subjek hukum dalam peraturan perundangan perlu dikaji ulang untuk menghindari terjadinya pembatasan hak.

Setidaknya, terdapat empat langkah perlindungan hak masyarakat adat, baik dalam ranah substansi pengaturan, struktur pengurusan hak, dan pelaksanaannya yang bisa ditempuh pemerintah, yaitu: pertama, Presiden dan DPR RI perlu mempercepat pengesahan RUU Perlindungan Hak Masyarakat Adat yang berfungsi sebagai undang-undang yang utuh dan terpadu dalam satu UU khusus (lex generalis).

Kedua, Presiden Republik Indonesia perlu melahirkan satu Lembaga adhoc di bawah presiden yang berfungsi mengintegrasikan urusan pemenuhan hak-hak masyarakat adat lintas sektor (kementerian). Ketiga, Kementerian Hukum dan HAM perlu melaksanakan review atas semua peraturan perundang-undangan yang mengatur masyarakat adat, dan menyusun padoman sinkronisasi peraturan perundang-undangan tersebut berbasis Pemenuhan HAM kepada kementerian terkait.

Keempat, empat kementerian utama yang mengatur hak masyarakat adat, yaitu (1) Kementerian Dalam Negeri, (2) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Kepala BPN, (3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (4) Kementerian Perikanan dan Kelautan, melaksanakan kebijakan dan program identifikasi dan verifikasi hak ulayat atau wilayah adat serta membangun skema penetapan hak wilayah adat yang terintegrasi lintas sektor.


[1] Maria SW Sumardjono (2018) menyebutkan secara lebih detil tentang dampak sektoralisme dan tumpang tindih istilah dan kriteria (syarat) keberadaan masyarakat adat sebagai berikut;  Pertama, istilah yang digunakan. UU sektoral umumnya menggunakan istilah Masyarakat Hukum Adat, tetapi UU Penataan Ruang menggunakan istilah masyarakat adat (MA); bahkan, UU Minyak dan Gas Bumi menggunakan dua istilah tersebut. Kedua, perbedaan dalam persyaratan pengakuan Masyarakat Hukum Adat yang berpotensi bahwa pengakuan oleh satu sektor bisa jadi tidak diakui oleh sektor lain. Ketiga, perbedaan dalam perlindungan wilayah adat.