Penulis bodoh itu sangat terobsesi dengan nama-nama. Ia mencari dan mengumpulkannya lewat buku dan credit film. Suatu saat, nama itu dipakai untuk menulis cerita fiksinya.
Aracis Pintoi itulah namanya, seorang penulis amatir. Ia belajar otodidak ketika SMA. Dan tetap menjadi amatir sampai 10 tahun ini. Ia bermimpi memiliki sebuah novel yang mampu mengubah cara pandang orang agar bisa menghargai hidup.
Sudah Iama ia mempersiapkan novelnya, menuliskan premis dan alur cerita. Aracis tak bisa bekerja bila semua tak terstruktur. Ia begitu spesifik, semua terancang dalam otaknya, namun lamban dalam memulai.
Aracis menetralkan pikirannya. Membiarkan cemas, ketegangan dalam pikirannya menyusut. Ia sadar tak akan bisa menulis bila keadaannya seperti itu. Bagiku Aracis bukan penulis bodoh. Ia jenius yang terlalu banyak berpikir hingga tak satupun buku selesai tertulis.
Setiap malam kami selalu berdiskusi, kebanyakan tentang novelnya. Ia membicarakan karakter, menanyakan pendapat, serta penilaianku. Sejujurnya, tak ada yang salah dalam susunan cerita Aracis, bahkan aku sangat menyukainya. Ia tipikal penulis perfeksionis. Ia menginginkan novel pertamanya dinilai baik. Ia sadar tak ada novel yang sempurna, begitupun buku pertama yang akan ia buat.
Ada banyak kegelisahan dalam tulisan Aracis. Semua pengalaman sejak kecil sampai sekarang ia tuangkan dalam tulisannya. Tak ada yang keliru, aku hanya mengkhawatirkannya. Emosinya meledak, penuh amarah, setiap kata dalam tulisannya berisikan kepahitan dan penderitaan. Ada sisi dimana ia ingin bebas. Hidup tanpa pengekangan, penilaian dari orang-orang.
₪₪₪₪
Aku hampir selalu ada untuk Aracis. Kami berteman lama sekali. Persahabatan itu dimulai ketika ia terkucil dari lingkungan karena keluarganya libertarian. Aku satu-satunya anak puritan yang tak mempermasalahkan itu, bahkan aku lebih liberal dari seorang libertarian.
Novel pertama Aracis hampir selesai. Aku menjadi pengkritik tulisannya. Editor kedua setelahnya. Aku tak menyangka tulisan aracis sebagus itu. Memang kuakui ia banyak membaca dan itu mempengaruhi cerita tulisannya. Aracis tak menyukai basa-basi, apalagi mengenai tulisannya. Aku sering dikritiknya mengenai hal itu, harapannya aku lebih blak-blakan agar tulisannya bisa berkualitas. Aku memaklumi, selanjutnya kata-kata cacianku keluar dari sarangnya.
Ada yang tidak aku setujui mengenai kebebasan dan itu menjadi diskusi terpanas dengan Aracis. Ia mulai menyadari bahwa sesuatu harus memiliki batas dan mengubah konsepnya lebih fleksibel.
Novel pertama Aracis berjudul first novel. Semua yang ia alami selama hidup dan keresahannya tertuang dalam novel itu. Ada banyak sentuhan ideku dalam setiap kata-kata novelnya. Ia sungguh berterima kasih, katanya tanpaku novel itu tak akan selesai. Ia menuliskan namaku di persembahan buku. Untuk sahabatku Levithan, tanpanya novel ini mati. Aku terharu, sungguh terharu.
Novel pertama Aracis meledak, jutaan kopi terjual. Selanjutnya, di tahun berikutnya ia menulis novel keduanya dan kembali meledak. Ia masuk nominasi putlizer. Sebuah pencapaian yang luar biasa. Rasa haru, bangga, cemas, bercampur aduk dalam dirinya. Ia sangat senang dalam pencapaiannya, tak menyangka akan seperti itu.
₪₪₪₪
Memori setiap kejadian dan peristiwa yang dialaminya semasa kecil terputar. Semua yang mempengaruhi tulisannya hadir satu-persatu meminta penjelasan. Aracis mengabaikannya. Tak ada alasan untuk menjawab, ia ingin menikmati kemenangannya saja. Segelas bourbon kembali ia tuangkan, meminumnya seperti memuntahkan masalah, lalu ia pingsan.
Aku sudah lama tak bertemu Aracis sejak novel pertamanya terbit. Aku menemuinya dalam keadaan kacau, ia mabuk. Aracis senang aku menemuinya, aku sebaliknya. Entah berapa banyak bir yang ia minum hari itu. Rumahnya seperti kapal pecah. Ia menanyai kabarku, aku jawab baik. Aku menanyai kabarnya ia jawab tertawa.
Ia ingat kematian orang yang membaca novelnya. Aracis memendam perasaan bersalah menganggap dirinya penyebab kematian itu. Aku mendengar ocehannya sepanjang hari. Ia mengeluarkan segala emosi sampai air mata menetes deras di pipinya. Entah kenapa semua masalah masa lalu berkumpul menyatu. Ia sadar bahwa dirinya lemah dan butuh bantuan.
Aku memberikan support terbaik untuk Aracis. Mengomentari novelnya yang meledak, menyanjungnya untuk membangkitkan semangatnya. Ia tak berkata apa-apa, hanya menatap jauh pada matahari yang tenggelam.
Seperti mendapatkan wahyu ia berbicara padaku, meminta maaf untuk semua orang yang pernah ia sakiti. Ia merindukan masa lalu, bebas seperti anak kecil pada umumnya yang tak perlu mengkhawatirkan tentang rumitnya hidup.
Untuk terakhir kali sebelum pergi meninggalkan Aracis, aku telah memaafkannya. Sekarang tak ada lagi dialog. Kami diam dalam keheningan. Semua tokoh cerita Aracis pernah hidup di masa lalu pergi satu persatu termasuk aku.
Sebelum gelap memulai ceritanya dan cahaya perlahan hilang, Aracis mengucapkan terima kasih. Di ruang sunyi kesendiriannya Aracis kembali mengetik cerita. Kini ia resmi menutup cerita tentangku, tak ada dialog kegilaan lagi. Aku hanyalah tokoh fiksi yang diambilnya dari sebuah credit film dan ceritaku telah selesai pada buku keduanya, Levithan selesai.
Air Apo, 24 Maeret 2020