Arab Spring ini merupakan sebuah kegiatan protes anti pemerintah yang sudah menyebar hingga ke sebagian besar wilayah Dunia Arab pada tahun 2010-an. Gerakan ini diawali mulai dari revolusi Tunisia, lalu setelah itu mulai menyebar dengan cepat ke lima negara yaitu Libya, Mesir, Yaman, Suriah dan juga Bahrain.
Semua rezim yang terpengaruh oleh Arab Spring menggunakan kekuatan mereka dengan keras untuk menghancurkan para demonstran dan akibatnya para pengunjuk rasa damai juga menjadi kekerasan.
Tujuan yang dilakukan oleh kelima negara tersebut adalah untuk menggulingkan atau menjatuhkan penguasa saat itu dengan menyerukan slogan “Rakyat Ingin Menjatuhkan Rezim”. Kemudian gerakan Arab Spring ini menyebabkan kerusuhan hingga terjadilah perang saudara di beberapa negara.
Perang saudara terjadi di negara seperti Maroko, Irak, Aljazair, Iran, Lebanon, Yordania, Kuwait, Oman, dan Sudan. Hal ini terjadi sebab respon dari berbagai pihak yaitu baik dari militer, milisi pro-pemerintah, atau kontra demonstran di negara masing-masing berbeda.
Penyebaran gerakan yang dilakukan oleh Arab Spring ini sangat luas dan cepat karena didukung oleh keberadaan teknologi digital di zaman sekarang. Penggunaan media sosial menjadi dua kali lipat lebih banyak ketika protes ini terjadi di negara negara Arab. Salah satunya yaitu Facebook yang membludak hingga 27,7 juta pengguna.
Bertentangan dengan aturan despotik jangka panjang dari penguasa otoriter, keadaan darurat terus-menerus di mana Polisi dan Kementerian Dalam Negeri memiliki kekuatan berlebihan untuk menghancurkan rakyat, pengangguran, kemiskinan, inflasi, dll. Media sosial digunakan di semua negara di mana ada ini Protes pun terjadi untuk mendapatkan perhatian masyarakat dunia.
Output media sosial yang sangat significant turut didorong oleh pihak barat yang turut menyiarkan dan menyebarkannya, seperti media Al-Jazeera yang sudah menjadikan gerakan Arab Spring tersebut sebagai trending social.
Sebagian besar negara Timur Tengah diperintah oleh penguasa otoriter jangka panjang di bawah panji perwakilan publik. Warga negara-negara ini mengangkat suara mereka menentang aturan otokratis mereka melalui protes publik yang meluas yang menyebabkan pemecatan Presiden Tunisia Zein El Abidine Bin Ali, Presiden Libya Mu'ammar al Qadhafi dan Presiden Mesir Hosni Mubarak.
Setelah pencopotan itu, Presiden Libya diserang oleh pasukan NATO bersama dengan warga sipil dan akibatnya dia meninggal. Konsekuensi dari sipil ini yaitu, Tunis adalah salah satu negara korban Pemberontakan Arab yang berhasil menerapkan Konstitusi barunya dengan sensus bersama dan bersama.
Arab Spring dianggap sebagai upaya yang baik menuju demokrasi oleh dunia. Ketika protes menjadi lebih terorganisir, orang-orang dari berbagai negara harus menyatakannya sebagai suara nyata untuk demokrasi. Aliran pemikiran yang berbeda memberikan pandangan mereka tentang perubahan tersebut.
Kekuatan utama juga mengevaluasi situasi untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka. China dan Rusia memiliki investasi besar di negara kaya minyak yaitu Libya karena itu mereka mendapat dukungan mereka dengan Qaddafi.
Di sisi lain, pasukan NATO pimpinan AS menyerang dan membunuhnya untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari oposisi (Abdelhadi, 2011). Suriah adalah satu-satunya dan klien terakhir Rusia di wilayah tersebut. Rusia mulai mendukung pemimpin Suriah Bashar al-Assad untuk mempertahankan pengaruh mereka di sini.
Dampak yang dapat kita rasakan dari gerakan Arab Spring ini masih terasa sampai sekarang, contohnya yaitu ketika Presiden otoriter jangka panjang Mesir Hosni Mubarak dipaksa untuk mengosongkan jabatan oleh penghuni Tahrir Square, para pemimpin negara-negara Timur Tengah harus mengadopsi pendekatan reaktif atau proaktif.
Pada perayaan kemenangan penghuni Tahrir Square atas tersingkirnya Hosni Mubarak, para pemimpin sejumlah negara Arab menyatakan harus tangan besi untuk meredam gejolak sosial hingga ke akarnya perang saudara dimulai di Yaman, Libya dan Suriah yang membentuk insiden di masa depan. Ini adalah pendekatan reaktif.
Para pemimpin Arab Saudi dan Maroko mengadopsi pendekatan proaktif. Saudi Shah, Raja Abdullah, mengumumkan paket keuangan sebesar $AS36 miliar untuk memberikan bantuan kepada keluarga Saudi agar mereka tidak menjadi bagian dari gejolak sosial Arab yang sedang berlangsung.
Hal itu disambut oleh media lokal dan sektor lainnya. Raja Maroko Mohamed VI juga mengadopsi pendekatan proaktif dengan memperkenalkan reformasi kelembagaan untuk mengadopsi konstitusi baru untuk menyusun suasana politik dan sosial yang akan datang (Khalili, 2011).
Kerusuhan Arab dapat digambarkan dengan sudut pandang ekonomi politik dengan membahas keinginan sosial rakyat untuk hak-hak politik dan sipil tambahan. Orang-orang dan terutama pemuda di daerah meminta pemerintah masing-masing untuk memajukan keadaan sosial dan ekonomi mereka dengan sumber daya pendidikan dan pekerjaan tetapi tidak didengarkan oleh pemerintah dan akibatnya membawa mereka ke arah pemberontakan.
Meskipun gerakan ini sudah menyebarluas tetapi para akademik menganggap bahwa gerakan Arab Spring di Tunisia yang paling berhasil dalam mereformasi pemerintahan dengan lebih stabil.