Persoalan masyarakat adat identik dengan konflik agraria. Bila dicermati, konflik agraria lahir dari lemahnya pengakuan hak adat atas tanah (hak ulayat). Konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat ini setidaknya terbagi pada dua tipologi konflik, yakni konflik yang bersifat horizontal dan konflik yang bersifat vertikal.

Konflik horizontal adalah konflik internal masyarakat adat. Konflik dengan tipe ini sangat dipengaruhi oleh sistem hukum negara yang meminggirkan hukum adat dan otoritasnya dalam menyelesaikan konflik tanah adat. Situasi ini paling terasa setelah dicabutnya peradilan adat sebagai institusi resmi penyelesaian konflik adat oleh negara melalui Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Sedangkan, konflik vertikal adalah konflik yang melibatkan masyarakat adat dengan negara (pemerintah) dan atau pemilik modal, seperti konflik masyarakat adat dengan otoritas kehutanan di kawasan hutan, konflik masyarakat adat dengan pemilik konsesi perkebunan skala besar kelapa sawit, dan lain-lain. Konflik dengan tipologi ini lahir akibat pengabaian hak adat dalam setiap proses perizinan, penetapan kawasan, dan pemberian hak guna usaha.

Akar Konflik 

Konflik agraria masyarakat adat sangat dipengaruhi oleh kekuatan struktural negara yang menekan otonomi masyarakat adat. Akibatnya, masyarakat adat kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan konflik internal komunitas dan lemah dalam mempertahankan hak dari pihak lain. Dalam konteks ini, baik itu konflik horizontal maupun vertikal, adalah dampak dari persoalan tiadanya pengakuan hak dan otonomi masyarakat adat.

Lebih dalam lagi, konflik agraria masyarakat adat menjangkau dimensi lebih luas, yang bukan hanya konflik pertentangan klaim atas tanah, namun menyentuh pada persoalan mendasar, yaitu konflik hukum antara hukum negara dengan hukum adat. 

Konflik hukum ini secara perlahan dan pasti meruntuhkan harmoni sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh paling nyata adalah banyak kita temukan bagaimana konflik-konflik agraria direspons dengan kekerasan dan pengabaian terhadap hukum.

Politik Hukum Agraria

Konflik hukum adat dengan hukum negara dalam bidang agraria ini muncul akibat perbedaan paradigma hukum pengelolaan sumber daya agraria, antara hukum negara dengan hukum adat. Satu sisi, hukum negara menganut sifat penguasaan individual, formal, dan menitikbertakan pada sisi ekonomi tanah, sedangkan di sisi hukum adat bersifat komunal, informal, kultural, dan menitikberatkan pada fungsi sosial tanah.

Perbedaan paradigma memperlebar jurang hukum (legal gap) antara hukum dengan kenyataan sosial kemasyarakatan. Jurang hukum berakibat pada penyingkiran hak-hak adat atas tanah dan melahirkan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat.

Inti persoalan hukum ini terkait dengan politik hukum (political legal concept) agraria kita yang membatasi, jika tidak dibilang mengabaikan hak adat dengan dalil “untuk kepentingan nasional.” 

Secara logis, mempertentangkan kepentingan nasional dengan kepentingan pengakuan hak adat tidak mempunyai dasar landasan yang kuat. Sebab kepentingan masyarakat adat seutuhnya adalah kepentingan warga negara yang merupakan bagian dari kepentingan nasional kita.

Dalil kepentingan nasional ini perlu dikonstruksikan ulang dengan memberikan batasan-batasan normatif yang jelas dalam hukum agraria (Undang-Undang Pokok Agraria). Dalil penafsiran kepentingan nasional yang meluas membuka peluang distorsi dalam merumuskan pengaturan hak masyarakat adat dan pada tingkat pelaksanaan hukum. 

Hal ini misalnya terjadi pada masa rezim Orde Baru dan juga sampai saat ini, di mana penggusuran masyarakat adat untuk proyek pembangunan serta untuk pemberian konsesi ekstraktif sumber daya alam dilaksanakan dengan dalil kepentingan nasional.

Pengabdi Pertumbuhan 

Politik hukum agraria setali mata uang dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi berbasis lahan dan modal. Model pembangunan ini merampas tanah (Land Grabbing) masyarakat adat yang dilegitimasi oleh hukum. 

Sampai saat ini, kecenderungan pola perampasan tanah adat dengan kekuatan hukum negara tidak banyak berubah, walaupun pada bandul yang lain, reformasi hukum mulai mengakomodasi hak adat, misalnya pengakuan hutan adat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No.35/2012.

Reformasi hukum belum sepenuhnya menyeluruh mengatasi persoalan agraria. Terlihat dari banyaknya hambatan legal dalam pelaksanaan Putusan MK No.35/2012 yang mempersyaratkan pengakuan masyarakat adat sebagai subjek hukum melalui produk hukum Daerah. Persyaratan tersebut jelas membutuhkan ongkos politik dan anggaran yang tidak murah. 

Alih-alih memfasiltasi lahirnya hukum untuk mempermudah pengakuan hak adat atas tanah dan sumber daya agraria, Pemerintah bersama DPR justru lebih bersemangat mempercepat proses pembahasan RUU Perkelapasawitan yang pro-modal, dibandingkan dengan membahas RUU Pertanahan dan RUU Masyarakat Adat.

Demikianlah, masyarakat adat masih harus terus berjuang untuk mempertahankan haknya, menghadapi konflik agraria yang mereka nikmati sehari-hari, sampai dengan terus bersuara untuk reformasi hukum. Kondisi ini melahirkan keniscayaan bahwa konflik agraria masyarakat adat akan terus membara seperti api dalam sekam.