Sebagian dari kita mungkin tak pernah mempertanyakan mengapa kita selalu diberitahu oleh orang tua kita bahwa kita adalah anak yang paling terbaik. Ketika kita, misalnya, melakukan kesalahan sewaktu kecil, kita mungkin akan dimarahi, tapi setelahnya kita pun dimotivasi, dan bahkan dilebih-lebihkan sebagai anak yang paling terbaik di muka bumi ini.

Mungkin kebanyakan dari kita akan menjawab bahwa hal itu adalah sesuatu yang alami. Dan pertanyaan itu pun akan dianggap aneh. Sama halnya dengan judul di atas, apakah sumpit lebih baik. Mungkin kita tumbuh dewasa berdekatan dengan sumpit, sehingga pilihan sendok pun terabaikan.

Sebagian besar umat manusia di dunia, kebanyakan orang Asia, lebih memilih sumpit. Mengapa demikian? Itu dikarenakan sumpit lebih mengajarkan kita untuk lebih menikmati makanan. Memakan dengan dua tongkat kecil itu lebih sulit dibandingkan memakai sendok saja.

Kita akan belajar betapa kegiatan makan memakan itu lebih lambat dari pada biasanya. Makanan pun lebih terasa. Selain alasan itu, memakai sumpit juga sangat cocok bagi orang yang ingin melakukan diet. Tingkat kesulitan dalam memakai sumpit merupakan rahasianya. Jika orang yang dulunya biasa pakai sendok, akan dengan mudah mengunyah makanan dalam porsi besar.

Berbeda dengan sumpit, walaupun makanan porsi besar, kita akan tetap kesulitan. Dan mau tak mau kita akan merasa kenyang dengan porsi yang lebih sedikit secara tak langsung.

Seluruh umat manusia merupakan pengguna sendok. Fakta ini menjelaskan kegunaan sendok lebih praktis ketimbang sumpit. Seperti paragraf sebelumnya, tingkat kesulitan memakai sumpit lebih tinggi dibandingkan sendok. Itu membuktikan selain praktis, sendok pun mudah dipakai.

Selain digunakan untuk makan, sendok juga lebih asyik dipakai untuk mengaduk. Kita akan kewalahan jika memakai sumpit. Bahkan sendok memiliki beragam ukuran. Ditambah lagi, sendok juga membuat kita bisa menjilatinya jika ada makanan tersisa. Apalagi saat memakan es krim. Sangat mustahil untuk memakai sumpit.

Di atas, kita sudah membahas perbandingan di antara keduanya. Tentu, siapa saja bisa menyimpulkannya. Akan tetapi, bukankah perbandingan ini adalah hal yang aneh. Aneh karena kita bisa menyimpulkannya dengan mudah. Padahal, baik sumpit maupun sendok itu dibangun melalui budaya.

Membahas persoalan budaya, istilah etnosentrisme masih terdengar asing di telinga kita. Banyak mengatakan etnosentrisme merupakan bentuk fanatisme. Etnosentrisme itu sendiri merupakan penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar budaya sendiri.

Orang-orang etnosentris menilai kelompok lain relatif terhadap kelompok atau kebudayaannya sendiri, khususnya bila berkaitan dengan bahasa, perilaku, kebiasaan, dan agama. Secara singkat, etnosentrisme merupakan paham yang merasa kaum atau dirinyalah yang paling terbaik di muka bumi ini.

Etnosentrisme tercermin dalam judul di atas. Pertanyaan apakah sumpit itu lebih baik mungkin akan menjadi sebuah perdebatan tanpa ujung. Alasan tersebut disebabkan pembahasan budaya yang sudah mengakar. Mungkin dari kita justru akan menjawab lain dari pada kedua pilihan di atas, dan akan mengutamakan pilihannya sendiri. Misalnya, memakan dengan tangan.

Etnosentrisme biasanya dimulai dari pendidikan keluarga. Sebagian besar dari kita mungkin akan sulit menerima orang lain yang lebih baik dari kita. Sehingga, kita pun berakhir dengan membencinya.

Kita tidak ingin disaingi, bahkan dikalahkan. Mungkin kita akan merasa sedih ketika kita dikalahkan. Di sinilah segi positif etnosentrisme. Etnosentrisme akan memotivasi kita agar lebih bisa menghargai hidup.

Kita hanya bisa membatasi diri agar tidak berakhir dengan kebencian. Filsuf besar Descartes pernah mengatakan dalam Diskursus dan Metode, perbedaan mendasar manusia dan mesin adalah mesin tak bisa bercakap atau berbicara satu sama lainnya. Tidak seperti manusia, manusia bisa melakukan percakapan.

Keterbatasan mesin membuat mesin hanya bisa berfokus pada dirinya sendiri. Berbeda jauh dengan manusia. Manusia bahkan bisa memikirkan yang lain dari pada dirinya sendiri. Kecakapan inilah membuat manusia sadar sebagai makhluk yang bisa menggunakan akalnya.

Kelebihan manusia membuat manusia lebih unik. Itu berarti manusia bisa menerima perbedaan. Sumpit mungkin akan lebih bisa diterima jika manusia mengetahui kelebihannya yaitu sebagai makhluk yang terus belajar.

Ketika kita menggunakan akal kita, kita akan menyadari pertanyaan apakah sumpit lebih baik secara lebih objektif.  Selain kita bisa menyadarinya secara objektif, kita akan juga menyadari keterbatasan kita sebagai manusia. Kehadiran sumpit yang telah menjadi bagian budaya untuk beberapa orang membuat kita tersadar akan batasan individu, sehingga kita bisa lebih menghargai pilihan individu sebagai bagian dari budaya. Sumpit hadir karena kita tumbuh besar bersama.

Etnosentrisme memang tak mungkiri kehadirannya. Bahkan kita tak bisa mengabaikan kehadiran etnosentrisme dalam kehidupan kita. Ini tercermin dari pandangan kita akan sumpit. Sumpit mungkin lebih baik sebagian orang, tapi kita tak bisa menilai secara langsung kalau sumpit hadir hanya untuk orang Asia saja. Penilaian seperti itu bahkan berbau rasisme. Sebagai makhluk yang memiliki akal, kita akan menyadari fenomena ini, dan kita pun bisa lebih objektif dalam menilai apakah sumpit itu lebih baik atau tidak.