Lonceng terdengar berbunyi nyaring tanda istirahat siang di sekolah, terlihat anak-anak berhamburan keluar kelas. Tampak seorang guru berlari.
“Bu… tadi Fyan ngomong sendiri di kelas. Kepalanya dibentur-benturkan ke tembok sambil teriak-teriak.” kata Bu Ajeng panik dan mukanya pucat. “Mulutnya ngaco bergumam gak jelas, gak ngerti. Takut banget… tadi kedua tangannya dipukul-pukulkan ke kepalanya.”
“Fyan yang kelas 1B, Bu Ajeng?” tembalku memastikan.
“Iya bu, yang anak autis itu seperti kena gangguan jiwa. Kadang ngomong sendiri, teriak sendiri, dan langsung nangis. Harus dirukiyah biar setannya kabur.”
Kondisi itu terjadi di sekolah saya dan mungkin banget bisa terjadi di sekolah lain atau bahkan kejadian di masyarakat juga.
Bu Ajeng adalah salah satu dari sekian guru yang memiliki pandangan bahwa autis sebagai gangguan kejiwaan, gangguan mental, atau malahan gangguan makhluk gaib.
Bahwa guru bingung menghadapi anak autis serta memberikan label negatif sebagai anak yang memiliki gangguan secara kejiwaan adalah sebuah fakta. Dan diperparah lagi guru tidak tahu bagaimana cara bersikap dan memberikan layanan belajarnya di sekolah.
Sungguh tidak adil anak menjadi korban penilaian yang salah karena ketidaktahuan dan ketidakpahaman guru terhadap kondisi anak dengan karakteristik autisme. Terlepas dari apapun gangguan dan hambatannya, setiap anak memiliki potensi, kebutuhan belajar, dan unik karena perbedaan yang dimilikinya.
Oleh karenanya, guru harus memiliki paradigma yang sama dalam memahami fenomena gejala dan karakteristik autisme. Autisme berasal dari bahasa yunani; ‘aut’ = diri sendiri, ‘isme’ orientation/state = keadaan. Jadi autisme adalah keadaan yang berpusat pada diri sendiri atau kondisi seseorang yang senantiasa berada dengan dunianya sendiri.
Autisme merupakan suatu jenis gangguan pada perkembangan anak yang sifatnya kompleks dan berat. Gangguan yang menyebabkan keterlambatan perkembangan aspek social, konsentrasi, komunikasi, berbicara, perilaku, dan keterampilan motoriknya.
Terlihat dari kasus anak Fyan yang bergumam tidak jelas menunjukkan anak mengalami kesulitan berbicara dan berkomunikasi. Sehingga tampak gejala lebih lanjut, anak tantrum menangis, dan teriak-teriak dengan pukul-pukul kepala atau dibenturkan kepalanya ke tembok.
Bentuk kelainan perilaku tersebut merupakan cara Fyan berkomunikasi untuk menyampaikan keinginannya, karena Fyan tidak tahu atau kesulitan mengungkapkannya dengan bahasa verbal. Bisa saja ini disalahpahami dengan menganggapnya kelainan atau gangguan jiwa.
Apakah kondisi Fyan akan dibiarkan dalam kesulitan? Apakah pantas dicap sebagai anak dengan gangguan jiwa? Apa yang bisa kita lakukan untuk membantunya dalam belajar?
Sebenarnya pertanyaan dan kebingungan ini tidak hanya dirasakan oleh guru, akan tetapi orang tua yang memiliki anak autis pun merasakan hal yang sama. Khawatir, takut, dan bingung memilih sekolah. Tidak semua sekolah mau menerima anak autis di sekolahnya, karena alasan label negatif atau tidak tahu menangani anak autis.
Sementara anak pun berhak untuk sekolah di mana saja sesuai dengan sekolah pilihannya, serta kondisi autisnya ini adalah sesuatu yang tidak diharapkan anak maupun orang tuanya.
Fakta di lapangan Anak autis ada di tengah-tengah kita, sebagai bagian dari komunitas pembelajar yang membutuhkan bantuan untuk keluar dari gangguan/hambatan yang dialaminya. Sehingga mampu keluar dari dunianya sendiri dan dapat berinteraksi dengan dunia di luar dirinya.
Data dari Centre of Disease Control (CDC) di Amerika menunjukkan perkiraan prevalensi (angka kejadian) anak dengan spectrum autism di tahun 2018 sebesar 1 dari 59 anak, terjadi peningkatan 15% dibandingakan tahun 2014 yaitu 1 dari 68 anak. Sedangkan WHO memprediksi 1 dari 160 anak menderita autisme.
Dengan peningkatan data tersebut menuntut kita semua, orang tua/guru dan masyarakat harus mencari tahu bagaimana karakteristik anak autis.
Karakteristik anak autis
Apa sebenarnya yang terjadi pada anak autis dengan berbagai kesulitan perkembangan yang dialaminya? Yukk kita belajar memahaminya.
Anak autis memiliki beberapa karakteristik yang bisa kita lihat secara kasat mata dalam perilaku kesehariannya. Ciri yang sangat khas anak autis tidak ada kontak mata atau sangat sedikit kontak mata. Bola matanya selalu bergerak ke arah atas, bawah, kanan atau kiri, serta matanya tidak bisa fokus menatap ke bagian depan mata lawan bicara.
Anak autis selalu asyik dan sibuk dengan dunianya sendiri, sulit berinteraksi social dengan teman lainnya. Ketika memegang sesuatu atau barang kesukaanya, maka akan menghabiskan waktu sampai beberapa jam memainkan barang itu.
Salah satunya ada anak autis yang suka sama mainan kereta api, maka anak tersebut akan tahan berjam-jam bermain dengan mainan kereta api itu.
Mainan kereta api itu adalah dunianya, dia terbenam dalam dunianya sendiri. Mulutnya kadang tak henti bergumam, mengeluarkan suara atau kata-kata yang tidak jelas atau diulang-ulang. Kesulitan berbicara dan berkomunikasi ini membuat anak autis tidak bisa mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata.
Kesulitan tersebut juga mengakibatkan anak autis sulit mengekspresikan dengan baik rasa senang, marah, sedih, kesal, dan perasaan lainnya. Malahan muncul perilaku tantrum, ngamuk, teriak-teriak, terkadang ada yang melukai diri sendiri atau orang lain. Dan kadang pasif seolah tidak memiliki emosi.
Berdasarkan penelitian bidang kedokteran meninformasikan anak autis mengalami kelainan neurobiologis pada susunan syaraf pusat. Kelainan pertumbuhan sel otak yang tidak sempurna pada beberapa bagian otak yaitu kerusakan bagian limbik sistem yang merupakan pusat emosi.
Kondisi ini membuat anak autis sulit untuk berkonsentrasi/fokus pada materi tertentu saat belajar di sekolah. Akhirnya pun berdampak pada pencapaian prestasi akademiknya.
Memahami dan memberi layanan pada anak autis
Anak autis butuh ada yang memahami baik orang tua, guru, maupun masyarakat lingkungannya. Dengan memahami karakteristik anak autis, maka akan memudahkan orang tua dan guru mengetahui apa yang dibutuhkan. Melalui konsultasi dengan psikolog maupun dengan tenaga ahli anak berkebutuhan khusus dengan spektrum autis.
Sikap, persepsi, dan layanan guru maupun orang tua akan lebih baik, minimal tidak mengganggap itu gangguan jiwa, tidak bingung dan panik dalam menghadapinya. Guru akan lebih sabar dan tahu cara menangani Fyan maupun anak-anak lainnya yang memiliki spektrum autisme.
Guru dapat lebih sabar dan lebih telaten menangani anak autis. Sebagai bentuk layanan, guru memberikan intervensi untuk meningkatkan konsentrasi anak autis melalui renang atau memberikan makan pada binatang atau aktivitas lain.
Guru secara bertahap bisa mengikutsertakan anak autis pada kegiatan bermain dan berinteraksi dengan anak lainnya. Sambil terus menstimulasi kemampuan bicara dan komunikasi dengan bahasa yang simple dan instruksi yang jelas.
Sudah saatnya guru memberi kenyamanan dan perlindungan yang baik untuk anak autis dalam belajar. Minimal terhindar dari sesuatu yang bisa mencelakai dirinya sendiri maupun agresif menyerang temannya. Teman-temannya merasa aman dengan keberadaan anak autis dan begitu juga sebaliknya.