Baru-baru ini, pemerintah Malaysia siap membahas legalisasi ganja untuk keperluan medis. Hal ini diakui oleh Menteri Sumber Daya Alam, Air, dan Daratan Xavier Jayakumar pada Bloomberg. Isu legalisasi ganja berhembus setelah seorang pria dijatuhi hukuman mati dengan dakwaan menjual narkoba.
Pria itu ditangkap ketika sedang membagikan minyak ganja untuk pasien kanker. Tetapi, menyusul kecaman publik, pemerintah sepakat untuk mencabut hukuman mati pada kasus pria itu.
Ya, pemerintah Malaysia lebih lunak dan manusiawi dibandingkan pemerintah Indonesia. Masih ingat kasus Fidelis yang mengobati istrinya dengan ekstrak ganja?
Istri Fidelis menderita penyakit langka yang disebut Syringomyeila. Setelah berusaha mengobati istrinya ke rumah sakit dan beberapa pengobatan alternatif, istrinya tak kunjung sembuh. Akhirnya, Fidelis menemukan informasi bahwa istrinya bisa disembuhkan dengan ekstrak tanaman ganja. Informasi itu didapat dari beberapa ahli dan dokter di luar negeri.
Fidelis menanam ganja dan mengolahnya untuk dijadikan obat. Nahas untuk Fidelis, ia ditangkap aparat karena kepemilikan tumbuhan terlarang itu.
Nasib buruknya tak sampai di situ, 32 hari setelah ditangkap, istrinya meregang nyawa dan menghembuskan napas terakhir karena asupan ganja yang telah diolah jadi obat berhenti.
Tekanan dari publik cukup keras dalam menekan pemerintah atas dasar alasan kemanusiaan untuk membebaskan Fidelis. Tapi pemerintah Indonesia tidak cukup terbuka pemikirannya. Bahkan tidak cukup manusiawi. Fidelis harus mendekam di penjara karena kepemilikan tumbuhan terlarang itu.
Padahal, momen itu cukup tepat untuk meregulasi ulang aturan tentang pelarangan ganja. Seperti Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad yang setelah ada kasus kepemilikan ganja untuk tujuan medis, dengan berbesar hati dan pemikiran terbuka mengumumkan akan segera mengkaji ulang UU Narkoba.
Malaysia bukan satu-satunya negara ASEAN yang sedang menggodok legalisasi ganja. Channel News Asia melaporkan, Kementerian Kesehatan di Thailand juga sudah mengimbau pemerintahan militer untuk mengizinkan studi terkait penggunaan ganja untuk keperluan medis.
Perjalanan Ganja
Ketika di banyak negara lain ganja sudah tidak lagi dianggap sebagai narkotika berbahaya, Indonesia masih memandang ganja sebagai sesuatu yang menakutkan. Bahkan, di beberapa negara, ganja sudah legal tidak hanya untuk keperluan medis, melainkan juga untuk sekadar rekreasi.
Apakah negara yang melegalkan ganja tidak melalui proses riset yang panjang? Tidak. Justru mereka melakukan riset yang panjang dalam mengkaji persoalan ganja. Ini bukan persoalan ringan, melainkan persoalan pelik terkait stigma gelap yang dilabelkan pada ganja.
Secara pribadi, saya yakin bahwa ketakutan pemerintah dan masyararakat Indonesia terhadap ganja bukan berdasarkan ilmu pengetahuan yang objektif dan argumen rasional. Ketakutan masyarakat pada ganja adalah karena stigma buruk yang dipropagandakan negara pada narkoba. Semua narkoba disamaratakan, baik narkoba berat (berbahaya) ataupun narkoba ringan.
Sebenarnya tanaman ganja sudah dibudidayakan manusia sejak lama sekali, baik untuk kebutuhan baku seperti kain, penyedap rasa, maupun untuk obat. Konon, ganja adalah salah satu tanaman yang pertama-tama dibudidayakan oleh manusia ribuan tahun yang lalu. Pada abad 14, serat ganja atau hemp lebih banyak digunakan sebagai bahan kain ketimbang linen. Banyak kota yang memiliki awalan kata hemp, karena dulu cukup banyak memproduksi ganja.
Nasib ganja sebagai bahan baku berbagai kebutuhan manusia mulai terancam pada akhir 1930-an ketika DuPont, sebuah perusahaan besar di Amerika Serikat, menemukan serat sintetis. Lalu DuPont melobi pemerintah agar ganja masuk ke dalam Narkotika Golongan I. Tujuannya untuk menjatuhkan produk-produk berbahan dasar ganja yang kemudian digantikan dengan nilon hasil temuannya.
Penggolongan ganja ke dalam Narkotika Golongan I itu kemudian disepakati secara internasional dalam Single Convention on Narcotic Drugs tahun 1961 bersama dengan opium dan koka. Konvensi itu diratifikasi berbagai negara, termasuk Indonesia. Sejak saat itu pula kepemilikan dan pengunaan ganja—bahkan dalam kuantitas kecil—bisa dikriminalkan dengan hukuman penjara.
Mengapa Dikriminalkan?
Jelas ada campur tangan industri di balik dikriminalisasinya tanaman ganja, entah itu dari industri tekstil maupun farmasi. Ada alasan mengapa industri farmasi bersikeras menjadikan ganja sebagai Narkotika Golongan I. Beberapa riset telah membuktikan bahwa ganja dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Kita bahas ini nanti.
Selain itu, saya curiga bahwa legalisasi ganja bisa memotong jalur rezeki oknum yang biasa meraup keuntungan. Perlu diingat, pasar gelap memiliki segmentasinya tersendiri. Buah dari pelarangan tanaman ini adalah harga jualnya melambung tinggi. Hal ini menjadi peluang bisnis bagi beberapa orang, terutama mereka yang memiliki modal besar dan kuasa besar di negeri ini.
Sudah bukan rahasia lagi jika ada oknum berkuasa yang menjalankan bisnis ini. Malah, kadang kala pemain bisnis ini adalah mereka yang seharusnya memusnahkan barang-barang haram tersebut.
Memang bisnis gelap ini bukan hanya soal ganja, tetapi banyak jenis narkoba lain. Hanya saja, ganja memiliki pasar yang cukup luas. Catatan tahun 2014 menyebutkan, ganja digunakan oleh sekitar dua juta orang. Angka yang cukup tinggi.
Oknum aparat juga mendapat guyuran uang yang cukup lumayan dari operasi “jalan damai”. Berdasarkan Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional dan Universitas Indonesia pada 2011, diketahui para pelaku terkait narkoba biasanya memilih "jalan damai” saat diproses hukum, dengan memberikan uang sogokan kepada aparat yang menangkap mereka, agar lepas dari jerat hukum atau setidaknya tidak dikenai pasal yang berat.
Pada 2011 saja, total uang yang dikeluarkan orang-orang yang tertangkap dalam kasus narkoba untuk berurusan dengan aparat sebesar Rp11 triliun! Angka yang fantastis, bukan? Ya, walaupun tidak semua kasus narkoba adalah ganja. Hitung pahit saja, seandainya 20% saja kasus narkoba adalah ganja, maka aparat bisa kehilangan lebih dari Rp200 miliar! Sangat disayangkan.
Kecurigaan yang kurang mendasar ini membuat saya berasumsi, ada oknum-oknum tertentu yang tak ingin ganja menjadi legal, entah karena stigma yang terlampau buruk, industri yang takut kehilangan pasar, dan aparat yang juga tak mau kehilangan sampingan. Ya, semoga saja negara ini bisa dibangun dari fondasi yang lebih baik dibandingkan ketidaktahuan dan ketakutan.
Pro dan Kontra Legalisasi Ganja
Alasan utama yang biasa disajikan pemerintah tentang legalisasi ganja adalah karena berbahaya untuk kesehatan. Ini masih menjadi pro dan kontra di banyak kalangan. Diskursus tentang hal ini masih terus berjalan hangat. Dan setiap kubu berharap lawan bicaranya sepakat dengan pendapatnya. Namanya juga perdebatan.
Hal terburuk yang diakibatkan narkoba adalah kecanduannya. Membuat seseorang tak mamou beraktivitas seperti biasa tanpa mengonsumsi zat tersebut. Adiktif. Tapi, apakah ganja termasuk zat adiktif yang membuat penggunanya tidak bisa melepaskan diri tanpanya?
Para ahli dari UK Royal College of Psychiatrists menyebutkan lima zat paling adiktif dalam penelitiannya yang dipublikasi di jurnal Health Policy, Volume 369, Issue 9566, page 1047-1053. Zat tersebut dari yang paling adiktif dan berbahaya adalah: heroin, kokain, nikotin, barbiturat (obat penenang & antidepresan), dan alkohol.
Dari lima zat di atas, dua di antaranya legal dan bebas diperjualbelikan dengan regulasi tertentu. Biasanya yang termudah adalah batas usia tertentu untuk membeli dua zat di atas. Ya, ganja tidak termasuk lima zat yang berbahaya dan adiktif.
Memang terdapat beberapa penelitian tentang efek negatif ganja yang biasanya dijadikan landasan argumen kubu yang kontra dengan legalisasi ganja. Misalnya, meningkatnya risiko kanker, kehilangan semangat, menurunnya kemampuan kognisi, gangguan reproduksi, hingga gangguan jiwa dan schizophrenia. Tapi, penelitian yang menunjukkan efek negatif ganja kurang banyak terpublikasi dalam penelitian ilmiah.
Kubu pro legalisasi ganja juga melandaskan argumen pada bukti-bukti ilmiah yang menunjukkan hasil bahwa zat yang dihasilkan ganja bisa bermanfaat secara medis. Lebih dari 20 negara sudah melegalkan ganja untuk tujuan medis. Masih perlukah dipaparkan buktinya? Apa mungkin suatu negara melegalkan tanaman yang tadinya ilegal untuk tujuan medis tanpa riset ilmiah yang meyakinkan? Pikirkan saja sendiri.
Berdasarkan penelitian US National Library of Medicine, ganja memang memiliki efek positif, utamanya untuk meredakan rasa sakit pada otot, bahkan mampu perlahan menyembuhkan penyakit tulang punggung yang kronis. Argumentasi ini kemudian berkembang, melihat bahwa ternyata ganja memiliki berbagai efek positif seperti:
- Menghambat penyakit alzheimer yang menyerang otak
- Sebagai obat penenang yang menghilangkan kecemasan
- Menghentikan serangan epilepsi
- Menyembuhkan penyakit kanker
- Penghilang sakit nyeri.
- Meningkatkan kapasitas paru-paru
- Sebagai obat penyakit glukoma
- Menurunkan gejala multiple sclerosis.
- Mengatasi mual
- Mengatasi tremor dan meningkatkan kemampuan motorik pada penderita parkinson.
Perdebatan pro dan kontra tentang legalisasi ganja memang masih hangat dan panjang di negara ini. Melihat bukti-bukti ilmiah tentang manfaat ganja, apa salah ganja sehingga harus diharamkan? Bagaimana pendapat Anda tentang kemungkinan legalisasi ganja di Indonesia? Perlukah?
Referensi