Ini adalah pertanyaan sejuta umat, pertanyaan yang kerap menghantui insomnia kita semua. Dan, pada saat kita menyadari bahwa hidup—secara keseluruhan—tak mempunyai makna intrinsik, datanglah yang namanya krisis eksistensial.

Krisis Eksistensial

Dahulu, pada saat fajar kala manusia, fokus utama tiap harinya ialah mencari makanan, air, dan menemukan tempat berlindung. Itu saja. 

Mungkin memang manusia terdahulu memiliki banyak luang dalam kehidupan sehari-hari. Namun, mereka terus-menerus disibukkan oleh perasaan khawatir dimakan singa ataupun hewan buas lainnya.

Tujuan hidup mereka: tetap bertahan di alam liar. Olehnya itu mereka tak punya waktu untuk merenungkan hal lain, apalagi memikirkan tentang makna.

Saat mereka mulai khawatir akan kematian dan segala misterinya yang tak bisa mereka jelaskan—karena tentu saja sains belum berkembang—saat itulah mereka mulai berspekulasi metafisika, menerka-nerka, berfiksi tentang roh-roh penunggu batu dan pohon, dan mulai menyembah kekuatan lain yang ada di luar nalarnya: Tuhan.

Saya tak bermaksud mendiskreditkan agama di sini—silakan meyakini apa pun yang ingin Anda yakini—cuma, salah satu alasan mengapa manusia bisa percaya pada Tuhan ialah sebab hal itu bisa memberi manusia perasaan aman, istimewa, dicintai, dan punya tujuan di jagat raya.

Namun, dalam berapa abad belakangan ini, segalanya telah banyak berubah. Tak sedikit dari hal-hal mistis/takhayul telah bisa dijelaskan oleh sains, dan manusia tak perlu repot-repot untuk berspekulasi ria.

Manusia modern tak lagi kesulitan mendapatkan makanan ataupun air bersih, dan tak lagi khawatir akan ancaman binatang buas.

Dibandingkan manusia zaman old—yang fokus berburu; bertahan hidup di alam liar; sibuk menyembah Tuhan tertentu—manusia zaman now memiliki banyak luang untuk merenungkan berbagai hal: bertanya-tanya tentang tujuan kehidupan dan fungsinya di jagat raya.

Peradaban modern yang segalanya serba praktis, berteknologi, dan bermoda pesan layan antar telah menciptakan rasa kekosongan yang kian kentara. Dan kekosongan itu ialah makna.

Mari saya beri satu contoh, sebut saja hewan peliharaan manusia: kucing. Kira-kira, apa saja yang dibutuhkan oleh seekor kucing?

Tentu saja makanan, minuman, dan tempat berlindung. Anda cukup memberi kucing tiga hal tersebut, dan ia akan tenang-tenang saja dan tak bakalan komplain.

Tak pernah terjadi sebelumnya seekor kucing tiba-tiba mempertanyakan tujuan dan makna eksistensinya, apalagi sampai menuntut hak untuk diajari teori mekanika kuantum. Poinnya adalah, sangat mudah untuk memuaskan kebutuhan seekor kucing, tetapi tidak demikiannya dengan manusia.

Kebutuhan Manusia

Menurut Abraham Maslow, secara umum manusia memiliki 5 tingkatan kebutuhan, yaitu:

1. kebutuhan dasar, berupa sandang, makan, dan papan,

2. kebutuhan keamanan, semisal tak perlu khawatir akan ancaman hewan buas pada malam hari, atau bisa mendapat perlindungan hukum dari laku kriminal,

3. kebutuhan cinta, seperti dalam keluarga, pertemanan, atau hubungan asmara,

4. kebutuhan penghargaan, bisa dihargai dan dihormati oleh orang lain atas yang dikerjakan, dan

5. kebutuhan aktualisasi diri, yang merupakan tingkat pemenuhan tertinggi akan eksistensinya sebagai manusia, juga pencarian akan makna.

Banyak dari kita yang entah kenapa masih berkutat di antara nomor 3 atau 4. Alih-alih mempertanyakan eksistensinya sebagai manusia (nomor 5), manusia zaman now mengartikan kebutuhan aktualisasi diri sebagai mencari uang sebanyak-banyaknya lalu belanja sampai mati, semati-matinya.

Sebuah studi di Universitas Princeton pada 2010 menyatakan bahwa pendapatan orang-orang yang ada di atas $75.000 atau di atas 1 miliar rupiah/tahun tak berbanding lurus dengan rentang kebahagiaan batinnya. Mereka berfoya-foya hanya untuk mendistraksi diri dari lewah pikir.

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan uang. Cuma, kita semua tahu bahwa uang tak bisa membeli kebahagiaan, bukan?

Paradoks Kebahagiaan

Ada masalah besar pada upaya pemenuhan kebahagiaan, yang kebanyakan dari kita berpikir bahwa, setelah membeli rumah impian, setelah mendapatkan si dia yang kita cintai, setelah lulus kuliah, setelah mendapatkan pekerjaan idaman, maka kita akan bahagia selama-lamanya, dan segala keluh kesah akhirnya sirna.

Jujur saja, jika Anda adalah manusia, Anda pasti tahu bukan begitu cara kerja kebahagiaan.

Sebagai contoh, ketika Anda berpenghasilan Rp7.000.000/bulan, untuk memiliki sebuah motor metik kelas 150 cc sepertinya keren. Namun kemudian, ketika penghasilan Anda naik menjadi Rp15.000.000/bulan, rasa-rasanya jauh lebih keren bila bisa membeli mobil LMPV.

Dan usaha pemenuhan kebahagiaan semacam itu akan terus berulang dan berulang, hingga sulit untuk dihentikan. Manusia tak akan pernah puas.

Dalam psikologi, fenomena ini disebut Hedonic Treadmill, sebab treadmill identik dengan orang yang selalu berlari-lari di tempat. Yang demikian juga berlaku pada sebuah hubungan cinta atau tentang pekerjaan idaman.

Sebuah Anekdot Pribadi

Berapa tahun yang lalu saya pernah bekerja di sebuah perusahaan BUMN. Sejak pertama kali diangkat menjadi pegawai, saya selalu berfantasi tentang pensiun dini.

Jadi, ada seorang perempuan di kantor, yang jika diperhatikan, tampak demikian menikmati aktivitas masuk pukul 8 pagi, duduk di depan monitor, rutinitas cetak-mencetak, dan sekali waktu mengecek beranda Facebook jikalau bos besar tak memperhatikan.

Suatu hari saya bertanya mengapa ia suka bekerja di sana, dan ia bilang sudah menjadi cita-citanya sejak kecil untuk menjadi pegawai kantoran, memiliki meja sendiri, dan selalu berpakaian rapi. “Saya sedang menjalani mimpi,” kata ia.

Saat itu pula saya sadari betapa beragamnya motivasi tiap manusia. Jika bekerja di kantor adalah cita-citanya, dan ia bahagia menjalaninya, apa hak saya untuk menyarankannya berhenti?

Sayangnya, manusia bukanlah kucing. Makanan, minuman, dan tempat berlindung semata tidak akan segampang itu memuaskan. Banyak dari kita lebih suka bertahan di zona nyaman, sementara spektrum kebahagiaan/kenikmatan begitu luas.

Ini merupakan persoalan yang jauh lebih rumit. Tak semudah itu. Proses pencarian makna—setidaknya makna yang personal—adalah perjalanan yang harus dilalui individu sendirian.

Membangun Candi Makna

Terkadang jika Anda mengamati sekeliling, akan Anda temukan orang-orang yang jauh lebih tua, yang sibuk menggulir beranda Facebook-nya dari atas ke bawah, dari atas ke bawah, tanpa pernah sekalipun mempertanyakan hakikatnya sebagai manusia, apalagi sampai mengalami krisis eksistensial.

Kendatipun banyak mengecap asam garam, keabsurdan eksistensi seakan tak pernah terlintas di dalam lewah pikir mereka—yang mana manusia selalu bergerak ke masa depan, dan masa depan kian mendekatkan manusia kepada kematian. Ini menunjukkan bahwa usia fisik sangat jauh berbeda dengan usia mental.

Saya pernah mendiskusikan ini dengan seorang teman bule dari Spanyol. Dirinya adalah seorang Buddhis.

“Semakin dini kau mengalami krisis eksistensial, semakin bagus. Pencarian akan makna, ialah candi yang harus kaubangun sendiri. Tiap batasnya harus kau cetak dan kau susun seorang diri,” kata ia. “Kau harus berontak melawan keabsurdan hidup.”

Terlepas dari benar/tidaknya, kata-kata tersebut berhasil menetap di dalam batok kepala saya serupa kanker.

***

Situasi kita pada zaman now ini mungkin adalah bagian dari eksperimen terbesar sejarah manusia. Kita dianugerahi teknologi canggih, pendidikan, internet, akses informasi tiada batas, realitas virtual, dan lain sebagainya.

Namun tetap saja, akan selalu muncul orang-orang dengan umpatan seperti, “Oke, oke, terima kasih atas teknologi, internet, dan lain sebagainya. Cuma, kenapa kehidupan masih saja terasa hampa pada tingkatan-tingkatan tertentu? Dan sebenarnya, apa pula yang sedang kita lakukan sekarang ini?”

Apa pula yang Sedang Kita Lakukan Sekarang Ini?

Setiap zaman memiliki cobaan. Krisis eksistensial mungkin akan selalu milik kita. Jika saja kematian tak pernah ada dan kehidupan bisa abadi selamanya, mungkin tujuan dan makna akan kembali kepada tuannya: manusia.

Manusia sekonyong-konyong terlempar ke dunia tanpa pemberitahuan, pun tanpa alasan. Anda boleh bertanya “apa yang sedang kita lakukan di sini” kepada setiap orang yang Anda temui di jalan. Namun—saya jamin, dan Anda juga pasti tahu—tak ada seorang pun yang tahu jawabannya.

Mau tak mau, manusia harus bersemuka dengan kesepian, dengan pekerjaan yang tak disukai, dengan kekhawatiran akan pendapatan, dengan penyakit, dengan lingkungan konservatif, dengan patah hati yang datang silih berganti, dengan kematian orang terdekat, dengan lewah pikir pada malam hari.

Omong-omong, Anda, kita semua, tak lebih dari kumpulan kuman yang lagi merayap di permukaan setitik debu yang lagi melayang-layang di ruang hampa. Kita tak memiliki peran di luasnya jagat raya.

Selamat datang di eksistensi. Semuanya membingungkan. Jagat raya tak pernah peduli sedikitpun pada manusia. Manusia akan punah—menyusul 5 kepunahan massal yang pernah terjadi sebelumnya—dan jagat raya bakalan move on. Manusia hanyalah angin lalu.

Jadi Sekarang Apa yang Harus Kita Lakukan?

Angkatlah tangan Anda tinggi-tinggi, berikan jari tengah ke jagat raya lalu pekikkan, “Tahi kucing! Saya menolak untuk menyerah, apalagi harus bunuh diri. Saya akan berontak melawan keabsurdan eksistensi dengan cara menari merayakan ketiadaan kehendak-bebas saya.”

Positifnya, tak ada seorang pun di antara kita yang tahu apa yang sedang kita lakukan di sini—dan itu bagus. Setidaknya kita semua bernasib sama, dan dengan bersama-sama pula kita akan menghadapi ini.

Jadi, bangunlah candi makna Anda. Banyak orang telah melakukannya, dan tampaknya mereka baik-baik saja.

Maaf atas tulisan omong kosong ini.