Setiap agama di muka bumi pasti memberi ajaran dasar tentang berdoa. Ajaran berdoa bagi orang-orang itu pasti bersifat prinsipil, garis besar, dan dipercayai berlaku untuk segala tempat dan zaman. Sehingga praktek berdoa tidak akan pernah usang.
Doalah yang menjadi pedang mereka dalam menghadapi berbagai macam persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, karier, bisnis dan sebagainya. Ya, berdoa meliputi segala urusan, baik sebelum, selama dan sesudah. Tentang itu, bahkan Tuhan berjanji bahwa siapa saja yang berdoa kepada-Nya pasti akan Ia kabulkan. Ini Tuhan yang berjanji, kita wajib percaya.
Yang jadi permasalahan dalam hal itu adalah kita harus bisa membedakan mana urusan manusia dan mana urusan Tuhan. Jelas beda, contoh; menanam dengan panen; kawin dengan lahir. Menanam lewat berbagai proses berurutan merupakan pengembangan akal manusia, itu urusan manusia, panen urusan Tuhan.
Begitupula kawin, dengan berbagai gaya yang dipakai adalah manusia yang melakukan, lahir laki-laki atau perempuan adalah urusan Tuhan. Bagi orang-orang yang setia terhadap proses dan bertawakal, sudah pasti berfikir bahwa apa yang dia lakukan secara sungguh-sungguh akan menghasilkan sesuatu yang yang baik yang diberikan Tuhan.
Mereka mengaktualisasi sebuah keinginan dalam doa dengan manifestasi langkah-langkah dan tatacara yang diridloi oleh Tuhan untuk mencapai keinginan tersebut. Hal itu kemudian berpadu dengan kehendak mutlak-Nya. Kiranya begitulah alur yang akan menghantarkan diri mereka sendiri kepada pilihan terbaik.
Memang, secara ontologis mistisisme semacam ini tidak dapat dibuktikan secara saintifik, dikarenakan ada kecenderungan jurang pemisah antara sebab dengan akibat. Ya, karena ini bukan wilayah sains, mistik tak perlu penjelasan logis untuk mendapat bukti empirik.
Dengan pijakan itulah Prof. Dr. Ahmad Tafsir dalam buku Filsafat Ilmu nya mengategorikan mistik pada wilayah supra-rasional. Sebuah keniscayaan pula dalam pendidikan agama kita untuk menghasilkan sebuah Unintended Qonsequences (hasil tak disengaja) bagi sebagian masyarakat, berupa pengabaian epistemologi dan aksiologi paham mistisisme yang ternyata melenceng jauh dari rel ontologi.
Wajar, peradaban dengan "pragmatisme" sebagai tuan rumah memang menuntut semua -termasuk agama- pemecahan masalah secara praktis; yang dihadapi langsung harus dipecahkan segera, apapun caranya. Bibit-bibit yang tidak jernih itulah yang kemudian secara suprarasional pula mengambil jalan pintas yang bahkan bagi sebagian besar masyarakat, hal ini sudah menjadi adat, tradisi dan kebiasaan.
Terlepas dari hal itu sesuai dengan pokok ajaran agama atau tidak, bersemailah praktek paranormal serta perdukunan, menjamur, meluas, dan belum jelas asal-usul ilmunya. Menyaring secara sembarangan pendapat Emha Ainun Najib, bahwa mistisisme semacam itu sudah berlangsung sejak Dipantara kuno sekali.
Dari dulu Empu-empu, ahli pertapaan dan Resi-resi sudah hampir mencapai maqom tertinggi dari spiritualitas. Satu langkah lagi saja mereka bisa bertemu dengan Tuhan. Nihil, mereka tidak bisa mencapai itu tanpa informasi langsung dari Tuhan sendiri.
Maka diturunkanlah info-info tentang-Nya melalui teks, yang oleh utusan-utusan-Nya dibawa dengan semangat profetik. Kembali ke dukun! Ada yang menggunakan media kemenyan, kembang tujuh rupa, di era modern sudah menggunakan media foto, yang paling mutakhir tinggal menyebutkan alamat rumah, santetpun jadi. Lah.
Mereka yang pergi ke dukun berdalih ikhtiar, pencarian solusi terakhir, atau apapun yang nampak seperti sebuah kebenaran, yang kemudian hasilnya mereka hubung-hubungkan dengan langkah-langkah konyol yang telah mereka tempuh, entah hasilnya sesuai atau tidak dengan harapan, akan selalu ada pembenaran dari itu semua, plastis sekali, mulur-mungkret.
Walau terkadang ada juga dukun yang memakai materi yang sama dengan yang diajarkan kitab-kitab suci, abaikan saja nomenklaturnya, apakah itu mujizat atau jimat. Akan sangat terlihat kalau kita secara komprehensif menilik dari sisi ontologi, epistemologi dan aksiologi tadi, bahwa itu diperoleh dari Tuhan atau menyekutukan yang lain, sesuai dengan informasi-informasi kitab suci atau tidak, disertakan semangat profetik atau otonom pada diri si dukun sendiri.
Dan, semua akan kembali pada filter iman kita. Bukan bermaksud menggurui. Ini hanya hipotesis sementara penulis. Bahwa apapun itu, bukan dukun, atau kiyai sekalipun yang menjadi permasalahan disini. Tidak ada beda antara dukun via kemenyan atau kiyai via air wiridan, akan sangat dangkal pola pikir kita jika kemudian beliau-beliau inilah yang disalahkan.
Yang salah adalah cara kita sendiri dalam menghadapi persoalan, dan saringan iman kita terhadap informasi baru. Sudah sering pula ditemui kesalahan dalam memahami kesimpulan, seolah-olah apa saja yang diberikan beliau-beliau ini adalah solusi terbaik dalam menyelesaikan urusan makhluk. Sah-sah saja pergi ke dukun atau kiyai. Karena sepertinya, semua ada dasarnya.
Asalkan dengan pertimbangan matang dan perhitungan sebab akibat yang pertanggungjawabannya vertikal. Di atas semua itu, jangan lupa bahwa Tuhan masih dan tak akan tertandingi dalam memecahkan masalah hidup bagi mereka yang berdoa kepada-Nya.