Di dalam dunia keilmuan sering kita jumpai orang-orang yang ahli dalam suatu bidang. Tentu ini menjadi ciri khas tersendiri kalau kita berkecimpung di dalamnya. Ciri khas tersebut disebabkan karena adanya perubahan paradigma yang disebabkan oleh perkembangan zaman. Hal ini tentunya berdasar dari keterbatasan manusia yang tidak memungkinkan untuk mengetahui seluruh dunia keilmuan.
Dalam dunia akademik pun kita bisa mengetahui bahwa semakin tinggi akademik seseorang maka akan semakin mengerucut pula bidang keilmuannya.
Dokter misalnya, jika sarjana kedokteran hanya membidangi bidang ilmu kedokteran secara umum maka untuk melanjutkan spesialisasi, sarjana dokter tersebut haruslah melanjutkan studinya ke jenjang strata 2. Semakin tinggi sekolahnya bukan semakin melebar apa yang menjadi keahliannya. Namun ruang lingkupnya menjadi semakin menyempit.
Ini juga berlaku di bidang-bidang keilmuan yang lain. Ilmu hukum semisal, jika pada jenjang strata satu mempelajari ilmu hukum secara keseluruhan. Maka untuk jenjang berikutnya sarjana hukum itu haruslah mengambil spesialisasi entah itu hukum pidana, perdata, tata negara atau yang lainnya. Tentunya ini juga terjadi pada bidang-bidang keilmuan yang lain.
Gambaran di atas dapat menceritakan dengan jelas bahwa sedikit kemungkinan bagi seseorang untuk menguasai seluruh bidang keilmuan. Bahkan untuk beberapa bidang saja rasanya sangat sulit kecuali orang-orang tertentu yang mempunyai intelektualitas diatas rata-rata.
Teori ini juga melekat di dalam agama. Islam misalnya. Ada beberapa sebutan khusus untuk mengistilahkan orang yang ahli dalam bidang agama. Agamawan, da’i, ustadz, cendekiawaan, dan ulama’ adalah beberapa contoh yang sering kita dengar jika dikaitkan dengan seseorang yang ahli dalam bidang agama.
Bahkan sejalan dengan perkembangan zaman dan peradaban islam, istilah “guru besar” pun kini mulai banyak dipakai untuk menyebut ilmuan Islam yang berkecimpung di dunia akademik perguruan tinggi. Ini tak lepas dari kemajuan peradaban Islam dalam dunia akademik yang semakin hari semakin tumbuh berkembang khususnya di indonesia.
Dari beberapa sebutan khusus terhadap ilmuan keagamaan yang ada diindonesia ada salah satu yang tedengar begitu masyhur ditelinga kita. Sebutan itu adalah “kiai”. Istilah kiai ini sangat populer di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Penyebutan kiai biasanya terhadap seseorang yang mempunyai atau mengasuh sebuah pesantren.
Istilah kiai hanya ada di Indonesia. Di luar negeri yang mayoritas penduduknya juga menganut agama Islam tidak dikenal penyebutan kiai. Di luar sana hanya dikenal dengan istilah ulama. Untuk penyebutan terhadap seseorang yang menguasai ilmu agama.
Namun apakah sebenarnya sama antara kiai dan ulama itu? Kalau ada dikotomi antara keduanya lalu apa yang menjadi penyebabnya? Mengingat kedua istilah ini kalau dilihat secara kasat mata bisa dibilang mirip.
Salah seorang guru bangsa kita memberikan sedikit ulasan tentang perbedaan ulama dan kiai. Sebagaimana diulas dalam buku “Ngobrol dengan Gusdur dari Alam Kubur”. Buku ini ditulis oleh Argawi Kandito yang dikenal mempunyai kelebihan bisa “kontak” langsung dengan orang yang sudah meninggal.
Menegasikan apakah data dalam buku tersebut valid atau tidak mengingat ilmu metafisika belum pernah mengatakan bahwa orang yang masih hidup bisa berinteraksi dengan orang yang sudah meninggal.
Setidaknya buku terbitan pustaka pesantren itu mempunyai metode sendiri bagi penulisnya bahwa metafisika tidak akan menemukan sesuatu jika dikaitkan dengan spiritual, namun yang pasti keduanya bisa saling berkaitan.
Buku ini banyak mengulas tentang pemikiran-pemikiran gusdur yang bisa dibilang kontroversial. Tentu ini menjadi pembahasan menarik tentang sosok guru bangsa yang banyak dikagumi itu.
Ketika Gusdur ditanya tentang istilah kiai yang timbul di Indonesia. Beliau mengatakan bahwa arti dari kiai itu sederhana yaitu orang yang dianggap punya kelebihan dibandingkan dengan orang lain. Dan kelebihan itu dalam konteks sekarang dikonotasikan sebagai kelebihan dalam bidang agama.
Zaman dulu sebelum munculnya kiai dalam konteks sekarang. Istilah ini digunakan secara umum. Bukan untuk orang yang mempunyai kelebihan dalam agama saja. Orang yang punya banyak harta sekalipun pengetahuan agamanya kurang juga biasa disebut dengan kiai.
Bahkan penyebutan kiai ini tidak untuk kalangan manusia saja. Melainkan benda-benda lain juga bisa disebut kiai. Kebo saja dulu pernah disebut kiai. Yang dimaksud kebo di sini adalah kerbau bule milik Keraton Surakarta. Kerbau ini dijuluki Kiai Selamet karena dipercaya masyarakat sebagai lumbung berkah.
Gusdur juga menyatakan bahwa permulaan istilah kiai ini berawal semenjak runtuhnya kerajaan majapahit. Penyebutan kiai ini untuk benda-benda yang mempunyai kelebihan tertentu. Namun karena berkembangnya tata bahasa sekarang kiai mempunyai diskursus tertentu yaitu hanya untuk seorang yang mempunyai pesantren.
Ketika disinggung ihwal pernyataan itu (kiai, red) Gusdur juga memberikan pandangan yang sedikit berbeda. Baginya kiai tidak hanya orang yang mempunyai pesantren. Orang yang tidak mempunyai pesantren pun bisa disebut dengan kiai jika standarisasinya terpenuhi.
Acuan standarisasi sendiri menurut Gusdur adalah kiai itu mempunyai kelebihan yang setara disegala bidang baik itu kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, dan sebagainya.
Berbeda dengan kiai, ulama juga mempunyai standarisasi tertentu. Ulama’ menuurut Gusdur adalah orang-orang yang mumpuni dalam keilmuan syari’at. Tidak dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Kalau ditinjau dari segi ilmu syari’atnya ulama lebih unggul namun kalau dilihat dari tasawwuf dan hakikat kiai lah yang lebih unggul.
Kyai sendiri menurut Gusdur biasanya mempunyai kelebihan tak hanya dalam bidang keilmuan. Kyai juga mempunyai kelebihan dari sisi kesaktian, keunikan dan lain sebagainya. Dan sebab itu kiai biasanya lebih dihormati oleh kalangan masyarakat awam.
Kiai pada umumnya juga disebut dengan budayawan karena konstruk yang melekat pada dirinya yang bisa mengelaborasi keilmuan syariatnya dengan kelimuan hakikatnya yang diaplikasikan dalam membina masyarakatnya.
Gusdur menolak dengan paradigma bahwa kiai adalah orang yang memangku sebuah pesantren karena melighat perkembangan zaman. Dulu memang benar bahwa pendiri pesantren adalah orang-orang yang mahir dalam bidang agama. Namun sekarang, banyak yang berlomba-lomba untuk membangun pesantren hanya karena mengejar gelar kiai walaupun ilmu agamnya tidak seberapa.
Dari pandangan-pandangan Gusdur di atas dapat kita serap bahwa ulama dan kiai itu mempunyai perbedaan. Dikotomi yang terjadi sebab dari perspektif paradigma masyarakat yang berkembang. Kyai yang dulunya merupakan kata general namun lambat laun terjadi spesialisasi (penyempitan makna).
Diskursus kata kiai ini tak lepas dari paradigma masyarakat terhadap sosok kiai itu sendiri. Memang kiai-kiai yang banyak dijumpai adalah memiliki pesantren baik itu sebagai pendiri atau sebagai penerus dari ayahnya. Namun jika mempunyai pesantren namun standar keilmuannya masih di bawah masih layakkah disebut dengan kiai?
Saya teringat saat salah satu teman saya saat sowan (berkunjung) kepada KH Malik madani. Salah satu dosen di fakultas syari’ah UIN sunan kalijaga yang saat itu masih menjabat sebagai katib aam PBNU. Teman saya menanyakan pada beliau tentang Fuad amin (mantan bupati bangkalan) yang tengah heboh tentang kasus suapnya di KPK.
Kiai Malik sendiri tak mau menyebut Fuad amin sebagai kiai. Meskipun notabene adalah keturunan dari KH kholil bangkalan(salah satu ulama mashur dutanah jawa dan madura)beliau lebih suka memberi gelar ”Gus” Fuad karena beralasan Fuad Amin sendiri tidak masuk dalam standarisasi kiai. Dan gus (keturunan kiai) belum tentu layak menjadi kiai.
Sebuah pernyataan menarik dari KH hasyim muzadi ketika menjadi penceramah dalam acara maulid nabi di istana negara. Beliau memberikan dikotomi antara kiai dan cendekiawan Muslim. Kalau cendekia itu suka menyulitkan istilah-isilah yang sebenarnya mudah sedangkan kiai suka memudahkan istilah-isltlah yang dirasa sulit dipahami. Tentu candaan ini sebagai respon terhadap realita yang ada.
Walhasil, ulama dan kiai sebenarnya mempunyai standarisasi masing-masing. Dikotomi ini disebabkan karena penyempitan makna yang terjadi., sekarang ulama lebih ditekankan untuk orang-orang yang ahli dalam bidang agama khususnya syari’at.
Sedangkan kiai lebih berorientasi terhadap sosio-kultural kemasyarakatan yang tentunya mempunyai keahlian dalam bidang agama juga. Hal ini memberikan konklusi bahwa kiai sudah pasti ulama sedangkan ulama belum tentu menjadi kiai. Namun sepatutnya seorang ulama juga seorang kiai dan seorang kiai juga harus seorang ulama agar terjadi keseimbangan dalam tatanan sosial kemasyarakatan.