Haus jabatan sudah menjadi rahasia umum. Uang dan politik diibaratkan seperti halnya nasi dan lauk. Makan nasi tanpa adanya lauk itu hambar, tidak menjadikan adanya rasa nikmat. 

Berani terjun ke dunia politik berarti berani mengeluarkan modal yang besar. Apalagi bagi mereka yang baru pertama kali terjun ke dunia tersebut, sudah seharusnya seorang politikus mempunyai jaringan yang luas agar kedudukannya di dunia politik dapat didukung. 

Namun, bagaimana ceritanya jika dia bukanlah orang yang terkenal? Di sinilah peran uang untuk mencuri perhatian dan mencari ketenaran agar dia terpilih dan menang.

Seberapa pentingkah uang dalam kancah politik? 

Dalam ranah politik, uang adalah salah satu faktor yang sangat penting. Tidak bisa dimungkiri jika uang merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh di dunia perpolitikan. Bagaimana tidak, orang yang tadinya tidak populer dan tidak mempunyai kapasitas bisa begitu saja menggapai suatu kedudukan yang juga begitu banyak diinginkan oleh orang-orang. 

Bagi mereka yang mempunyai uang, maka tidak akan ada kesulitan untuk berkampanye dengan membayar berbagai awak media sosial maupun iklan lainnya untuk memperkenalkan diri dan visi-misi mereka. Politik uang bisa juga disebut sebagai jalan pintas untuk mendapatkan kedudukan.

Fenomena politik uang ini sudah sangat lumrah di Indonesia. Bahkan gejala-gejala tersebut hingga saat ini makin akut. 

Tampaknya pula sudah menjadi dan akan tetap menjadi lahan transaksi suara. Permainan politik sudah sangat sulit untuk dijauhkan dari istilah money politics. Seakan-akan hal ini sudah menjadi sebuah “trend” turun-temurun yang selalu menghiasi dunia perpolitikan Indonesia, baik nasional maupun lokal.

Menjelang Pemilu, khususnya yang sudah terlaksana pada April lalu, kerap kali kita mendengar berita-berita adanya “serangan fajar” dari mereka para calon anggota dewan. Dalam konteks yang demikian, uang sudah seolah-olah menjadi dewa penolong untuk menarik perhatian masyarakat sehingga kekuasaan tersebut dapat terealisasikan.

Saat hangatnya masa Pemilu pulalah politik uang itu layaknya gas yang bocor: baunya tercium, tetapi tidak tampak wujudnya. Banyak bantuan turun ke masyarakat bahkan ke desa-desa, seperti halnya pemberian alat gotong royong hingga perbaikan jalan dan saluran air. Tidak ada bukti pembayaran, hanya saling percaya bahwa caleg tersebut akan memakmurkan masyarakat serta tempat.

Uang tidak bersalah. Ia bisa memberikan makna positif jika digunakan dengan hal-hal yang wajar, seperti halnya kegiatan-kegiatan legal dan mempunyai implikasi dan dampak positif. 

Namun, sebaliknya, jika penggunaan uang itu sudah diawali dengan niat yang negatif, maka uang dapat berkonotasi negatif, bergantung pada siapa dan untuk siapa uang itu digunakan. Uang bisa menjadi sumber malapetaka bagi orang-orang yang rakus. Ia smakin menampakkan wujudnya yang buruk jika dipermainkan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Lihatlah kasus yang menimpa Bowo pada Pemilu wilayah Jawa Tengah. Pada 28 Maret 2019, ia dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK karena menggunakan uang sebagai serangan fajar. Hal itu hanyalah salah satu contoh dari segelintir kasus lainnya. Sangat-sangat merugikan bangsa bahkan bagi dirinya sendiri. 

Tragisnya lagi, dengan maraknya kasus inilah nantinya istilah “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” akan bersemi. Karena, orang-orang yang mempunyai jabatan dengan sekehendak hati mempermainkan wewenang dan kekuasaannya. Menjadikan uang sebagai alat jual beli jabatan. Dengan demikian, tidak keliru lagi jika uang disebutkan sebagai alat pembeli suara.

Undang-undang No. 7 tahun 2017 pasal 285 dan 286 telah mengatur upaya pencegahan praktik politik uang. Dengan adanya sanksi pembatalan nama calon legislatif dari Daftar Calon Tetap (DCT). 

Pembatalan nama-nama calon tersebut diakibatkan telah melakukan politik uang. Sayangnya, aturan itu terkendala banyak faktor dan seolah tidak pernah dianggap ada. Apalagi jika yang bersuara hanyalah rakyat-rakyat kecil yang selalu dianggap tiada.

Mengenai hal ini, menurut Macfarlane, uang mempunyai makna sebagai kejahatan atau bisa disebut "money is evil". Karena uang bisa menjadi alat untuk mempermulus niat-niat jahat seseorang.

Para calon politikus akan merasa sukses jika mereka mendapatkan suara bahkan menang karena adanya politik uang tersebut. Tanpa mereka sadari, kesuksesan mereka itu adalah kebiasaan buruk yang menyebar dan menular. Sangat tragis lagi bagi para masyarakat yang tidak mau memberikan suaranya jika mereka tidak mendapat serangan fajar, tidak diberi uang ataupun bantuan-bantuan lainnya.

Berpijak dari fenomena tersebut, sepertinya penyelewangan uang di dunia makin merajalela. Tidak ada yang bisa menindaklanjuti untuk memberhentikan semuanya. 

Jika terus-menerus begitu, pada akhirnya tujuan menjadi seorang politikus bukanlah untuk memajukan negara, tetapi untuk merenggut hak-hak bangsa negara. Lebih cocok menjadi seorang pengusaha daripada menjadi seorang politikus jika niatnya untuk uang. Melalui realitas tersebut, benih-benih kebobrokan moral masyarakat nantinya akan terlihat jelas.