Terselip kerinduan manusia akan nilai-nilai heroisme. Kerinduan itu sebenarnya dapat dirasakan pula via negativa, yakni melalui kisah-kisah yang justru menampilkan nilai-nilai berlawanan.
Pejabat daerah, yang kita hormati karena (seharusnya) memperjuangkan kesejahteraan rakyat malah memperkaya diri dengan uang negara. Wakil-wakil rakyat yang seharusnya berdaulat memperjuangkan aspirasi terjebak dalam perangkap politik partai.
Belum lagi munculnya banyak peristiwa yang menggugat rasa kemanusiaan. Di Jakarta, seorang ibu membunuh anaknya sendiri dengan alasan anaknya sering “ngompol”. Tak terima ditegur, seorang murid di Madura memukul guru sampai akhirnya meninggal. Di Yogyakarta, umat yang sedang beribadah diserang dengan pedang.
Banyaknya peristiwa yang mengacaukan tatanan membuat orang rindu akan kebenaran dan kedamaian. Heroisme menjadi gugusan sikap dan tindakan memperjuangkannya. Oleh sebab itu, sosok “hero” atau “superhero” menjadi penting bagi banyak orang. Mereka menjadi personifikasi kerinduan akan kebenaran dan kedamaian yang ada di relung-relung hati manusia. Nyata atau tidak, lebur dalam cakrawala ini. Yang esensial adalah bagaimana kerinduan itu dipenuhi.
Itulah mengapa film-film superhero Marvel laris manis di pasaran. Orang berbondong-bondong ke bioskop untuk menonton. Kekayaan karakter superhero barangkali menjadi salah satu faktor, tetapi sering tidak disadari bahwa film-film itu bermain-main dengan aspek kerinduan manusia. Orang menonton karena rindu akan nilai-nilai heroisme, bagaimana kebenaran dan kedamaian diperjuangkan. Marvel Studios memanfaatkan kerinduan itu sebagai bisnis.
Tidak main-main bisnis kerinduan itu mendulang untung. Tahun 2018 ini, Marvel Studios genap sepuluh tahun memproduksi film-film superhero. Keuntungan akumulatif yang didapatkan selama sepuluh tahun fantastis, nyaris mencapai 14,7 miliar USD.
Pada 2008, mereka merilis film “Iron Man” yang dibintangi oleh Robert Downey Jr. Pada tahun yang sama, film “The Incredible Hulk” juga dirilis. Pemeran Hulk saat itu Edward Norton, bukan Mark Ruffalo. Pada 2010, dirilis sekuel film “Iron Man”, yakni “Iron Man 2”.
Pada 2011, muncul karakter Thor dalam film “Thor”. Karakter itu diperankan oleh Chris Hemsworth. Pada tahun itu juga, muncul karakter lainnya, yaitu Steve Rogers, dalam film “Captain America: The First Avenger”. Pemerannya adalah Chris Evans.
Pada 2012, diluncurkan film “The Avengers”. Dalam film itu, superhero-superhero yang sebelumnya hanya muncul pada filmnya masing-masing (Iron Man, Thor, Captain America, dan beberapa superhero lainnya) berkumpul menjadi satu tim sehingga menjadi sesuatu yang menarik.
Karena meledak, film itu menjadi salah satu titik tolak film-film superhero Marvel semakin dikenal luas oleh masyarakat. Dalam Marvel Cinematic Universe, film “Iron Man” sampai “The Avengers” termasuk ke dalam film-film Fase Satu.
Film-film Fase Dua dimulai dengan film “Iron Man 3” di tahun 2013. Pada tahun itu juga, sekuel Thor dirilis, yakni “Thor: The Dark World”. Pada 2014, giliran sekuel film Captain America dirilis. Judulnya “Captain America: The Winter Soldier”. Dalam film itu, muncul karakter Bucky Barnes alias Winter Soldier yang diperankan oleh Sebastian Stan.
Pada tahun yang sama, dirilis “Guardian of the Galaxy”, yang mengisahkan tim superhero penjaga ruang angkasa. Diperkenalkan di dalamnya karakter seperti Peter Quill/Star-Lord (Chris Pratt), Gamora, Rocket, Drax, dan Groot. Pada 2015, sekuel film “The Avengers”, yakni “The Avengers: Age of Ultron”, dirilis. Fase Dua ditutup dengan film “Ant-Man” yang menampilkan sosok Scott Lang yang diperankan oleh Paul Rudd.
Pada 2016, film ketiga Captain America yang berjudul “Captain America: Civil War” diluncurkan. Film ini dinanti oleh banyak kalangan karena menampilkan sesuatu yang baru. Untuk pertama kalinya dalam film yang menceritakan satu karakter superhero tertentu, begitu banyak karakter superhero lain ikut bermain di dalamnya. Apalagi, jalan ceritanya juga baru.
Tidak seperti biasanya, yang mereka lawan dalam film tersebut adalah teman sendiri. Captain America cum suis melawan Iron Man cum suis. Setelah “The Avengers” pada 2012, film tersebut dapat dikatakan sebagai titik tolak kesuksesan kedua dalam Marvel Cinematic Universe.
Pada tahun yang sama, film “Dr. Strange” dirilis. Beberapa karakter superhero muncul dalam film itu. Dr. Stephen Strange sendiri diperankan oleh Benedict Cumberbatch. Pada 2017, sekuel film “Guardian of the Galaxy” diluncurkan dengan judul “Guardian of the Galaxy Vol.2”. Seperti sebelumnya, film tersebut membawa unsur humor yang cukup kaya.
Pada tahun itu pula, muncul karakter superhero yang paling populer, yakni Spiderman, dalam film “Spiderman: Homecoming”. Karakter yang sebenarnya telah muncul di film “Captain America: Civil War” itu diperankan oleh Tom Holland.
Menutup tahun 2017, seri Thor muncul lagi dalam “Thor Ragnarok”. Film itu sukses di pasaran karena segar akan humor dan ada adegan pertarungan Thor dan Hulk yang memicu rasa penasaran.
Pada 2018, dirilis film “Black Panther” yang juga sangat sukses. Film itu menjadi penutup Fase Tiga dan menjadi film superhero Marvel paling akhir sebelum penayangan “Avengers: Infinity War” yang akan melibatkan seluruh superhero dalam Marvel Cinematic Universe.
Lihat bagaimana struktur keberhasilan bisnis film-film superhero Marvel terjadi. Mereka memanfaatkan dua hal. Pertama, modal yang sudah ada, yakni karakter-karakter superhero yang sudah mapan dalam jagat superhero Marvel. Kedua, kerinduan manusia akan nilai-nilai heroisme.
Dua hal itu diolah sedemikian rupa melalui seni visual yang membuat superhero-superhero itu seakan nyata dan ada di tengah-tengah dunia. Lalu, melalui cerita mereka menawarkan oase bagi kerinduan orang akan nilai-nilai heroisme. Boom! Mereka sukses.
Yang menarik bagi saya bukan pertama-tama soal bisnis atau sukses, melainkan pertanyaan sampai kapan kerinduan kita akan nilai-nilai heroisme dipenuhi oleh superhero-superhero Marvel.
Kalau kita mau lebih teliti, tampak sebenarnya bahwa kita memiliki dua modal yang Marvel manfaatkan, yakni karakter-karakter dan kerinduan akan nilai-nilai heroisme itu sendiri. Karakter-karakter itu ada pada sosok-sosok pahlawan yang kita miliki, sedangkan kerinduan akan nilai-nilai heroisme itu ada dalam masyarakat.
Kalau film-film superhero saja disukai oleh semua kalangan, bahkan beberapa adegan dalam film tertentu lekat dalam benak banyak orang (Hulk yang membanting-banting Loki, misalnya, dalam “Avengers: Age of Ultron”), kisah-kisah pahlawan Indonesia seharusnya dapat menjadi inspirasi bagi semua orang di Indonesia. Kisah-kisah heroik mereka semestinya lekat dalam benak manusia Indonesia sebagai pengingat bagi siapa saja bahwa Indonesia is not taken for granted.
Wikipedia menyebutkan bahwa sampai 2017, Indonesia memiliki 160 pria dan 13 perempuan yang dianugerahi gelar sebagai pahlawan Indonesia. Mereka adalah kekayaan bangsa, kekayaan semua orang Indonesia.
Saya bermimpi kekayaan ini dapat dibagikan dalam suatu buku. Buku yang saya maksud bukan buku deskriptif mengenai profil para pahlawan (yang sudah banyak di pasaran), melainkan buku naratif yang terdiri dari cerpen-cerpen berkualitas yang menampilkan sisi heroisme para pahlawan.
Mengapa cerita? Karena cerita mengikat makna dan makna lebih mengesan di hati seseorang. Kalau impian saya bisa terwujud, alangkah bahagia hati ini karena kerinduan akan nilai-nilai heroisme dapat dipenuhi tidak hanya dari kisah para superhero Marvel, tetapi juga dari kekayaan yang negeri ini sebenarnya miliki, yakni kisah-kisah para pahlawannya.
Penulis-penulis muda, bayangkan, kumpulan cerpen berkualitas tentang sisi heroisme pahlawan-pahlawan yang bangsa ini miliki. Sedap! Bukankah akan jadi kebahagiaan kita bersama jika buku itu dapat menjadi sumbangan yang baik bagi bangsa ini?