Akhir-akhir ini kita diramaikan oleh persoalan hoaks yang begitu sering terjadi. Hampir setiap hari ada saja media yang memberitakan kasus hoaks atau hanya sekadar menggunakan kalimat tersebut dalam status di akun media sosial. Dari mulai hoaks yang menyerang Presiden Jokowi, yang dituduh PKI, sampai kasus hoaks paling fenomenal yang dibuat oleh Ratu Hoaks Indonesia: Ratna Sarumpaet.
Tak heran jika banyak media yang membahas persoalan tersebut. Mulai dari pihak kepolisian, politisi, ulama sampai pegiat media sosial dihadirkan dalam satu forum diskusi untuk membahas persoalan ini. Hasilnya, semua sepakat bahwa hoaks harus diberantas dan harus ada semacam tindakan pencegahan agar hoaks ini tidak terus berkembang di masyarakat.
Sebelum kita lanjut ke akar persoalan yang lebih dalam, kita harus memahami dulu apa itu hoaks. Dalam KBBI, disebutkan bahwa hoaks adalah berita bohong. Artinya, berita atau informasi tersebut tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Sumbernya pun biasanya bukan dari sumber yang benar-benar kredibel. Namun demikian, tidak selamanya media abal-abal yang selalu memuat berita atau informasi hoaks, media-media mainstream yang dianggap kredibel pun kadang memuat berita yang tidak benar atau hoaks itu. Walaupun kemudian mereka memberikan klarifikasi atas kesalahan tersebut.
Hoaks biasanya identik dengan ujaran kebencian. Walaupun sebenarnya hoaks dan ujaran kebencian adalah dua hal yang berbeda, namun saling berkaitan satu sama lain.
Terkadang, ujaran kebencian timbul akibat dari hoaks. Begitu juga sebaliknya, orang percaya hoaks akibat dari kebencian seseorang terhadap satu individu atau kelompok tertentu. Jadi, hoaks dan ujaran kebencian ini menjadi semacam lingkaran setan dalam sebuah hubungan simbiosis parasitisme. Artinya, menguntungkan bagi sebagian individu atau kelompok tertentu saja.
Kebencian terhadap suatu individu atau kelompok merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang atau kelompok mempercayai berita atau informasi palsu. Jika informasi tersebut dirasakan memihak atau mungkin menguntungkan bagi dirinya atau kelompoknya dan berpotensi untuk menjatuhkan lawannya, maka ia percaya bahwa informasi tersebut bukan hoaks.
Namun, jika informasi tersebut tidak sesuai dengan kepentingan dan menyudutkan dirinya atau kelompoknya, maka ia katakan itu sebagai hoaks. Walaupun sebenarnya berita itu bukan hoaks alias berita benar. Artinya, kebencian memengaruhi seseorang untuk percaya atau tidak percaya kepada suatu berita tertentu. Intinya, menguntungkan atau tidak bagi dirinya atau kelompoknya.
Saya memahami bahwa kepercayaan seseorang terhadap hoaks itu terjadi karena rendahnya literasi serta tingkat kecerdasan atau inteligensi seseorang untuk memilah informasi mana yang benar dan mana yang tidak benar. Dalam era internet sekarang ini, tentu banyak sekali berita-berita yang ada di website yang dengan gampangnya seseorang mengakses berita tersebut dan membagikannya ke media sosial.
Jika seseorang itu tidak memiliki cukup kecerdasan, maka dia akan percaya begitu saja berita-berita tersebut. Tidak peduli berita itu benar atau tidak. Jika judulnya menarik dan kontroversial, dia akan langsung membagikannya tanpa ada proses literasi dan konfirmasi terlebih dahulu.
Parahnya lagi, orang lain yang membaca berita yang dia bagikan tersebut kemudian ikut juga membagikan ke pengikut di akun media sosialnya, begitu seterusnya sehingga berita tersebut menjadi viral. Karena berita tersebut telah dibagikan ratusan bahkan mungkin ribuan kali, maka berita tersebut dianggap berita yang benar dan orang-orang akan percaya.
Adanya undang-undang ITE yang dapat menjerat para pelaku ujaran kebencian dan penyebar berita bohong di internet memang dirasa cukup membantu dalam mencegah masalah tersebut. Namun, di sisi lain, hal tersebut malah membuat orang menjadi sensitif. Akibatnya, orang jadi saling lapor hanya karena persoalan sepele.
Karena dengan dalil UU ITE tersebut, orang dengan gampang melaporkan hal yang dia rasa merupakan hinaan kepada dirinya. Walaupun sebenarnya mungkin hanya sebatas kritikan terhadap dirinya dalam bentuk satire. Tentu hal tersebut akan berdampak buruk bagi demokrasi kita. Orang akan takut untuk mengkritik karena takut dilaporkan kepada kepolisian. Di sinilah perlunya inteligensi yang tinggi karena dengan kecerdasan yang tinggi kita tidak akan mudah tersinggung dengan ejekan ataupun sindiran.
Karl Marx pun pernah mengejek Hegel dengan mengatakan Hegel adalah seorang yang bodoh karena dia berjalan dengan kepala di bawah. Lantas apakah Hegel marah kepada Marx? Tentu tidak. Sebab, perkataan Marx tersebut hanyalah sindiran kepada Hegel karena pendapatnya terbalik. Di sinilah pentingnya kecerdasan inteligensi dibutuhkan supaya kita dapat memahami mana kritikan mana hinaan.
Kemudian yang menjadi pertanyaan kita adalah siapa sebenarnya yang dengan sengaja membuat informasi palsu itu dan apa kepentingannya? Apakah mereka mendapat pesanan dari salah satu elite politik? Atau mungkin dari pemerintah?
Tentu kita tidak menuduh pemerintah ataupun elite politik sebagai sumber dari berita hoaks. Namun, jika kita analisis berita-berita hoaks yang ada menunjukan bahwa berita tersebut memang sarat dengan muatan politis. Apalagi kita masuk dalam tahun-tahun politik, di mana di tahun 2019 mendatang akan diadakan lagi Pemilihan Legislatif serta Pemilihan Presiden. Tentunya partai politik, baik oposisi maupun yang masuk dalam pemerintahan yang mempunyai kepentingan politik yang besar di dalamnya.
Memang tidak semuanya hoaks mengandung unsur-unsur politik, karena ada sebagian yang mengandung unsur-unsur SARA. Namun demikian, tetap saja ujung-ujungnya adalah kepentingan politik.
Saya setuju jika agama dijadikan sebagai dasar dari politik. Karena bagaimanapun juga, dalam agama mana pun, pastilah ada aturan yang mengatur bagaimana kita berpolitik yang baik dan benar dalam menjalankan sebuah pemerintahan. Hanya saja kadang kita terbalik, bukannya agama yang menahkodai politik, tetapi politik yang menahkodai agama. Apalagi jika politiknya adalah politik yang kotor, maka yang terjadi adalah timbulnya perpecahan di antara umat beragama.
Memberantas hoaks memang sulit dilakukan pada era internet saat ini. Tugas pemerintahlah untuk dapat membendung penyebaran hoaks melalui kekuasaan dan tentunya pemerintah mempunyai perangkat-perangkat hukum yang kuat untuk mencegah dan memberantas hoaks, terutama pada media online. Sebab hoaks akan sangat mudah tersebar lewat media online, karena hanya dengan modal hanphone dan dengan beberapa klik saja, hoaks langsung tersebar ke penjuru dunia.
Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan semacam penyuluhan tentang bagaimana berinternet dan bersosial media yang sehat kepada masayarakat. Perintah pemblokiran situs atau aplikasi kurang tepat di saat sekarang ini. Sebab itu hanya akan memutus arus informasi yang dapat menimbulkan informasi satu arah saja.
Peran serta masyarakat juga sangat penting dalam mencegah penyebaran hoaks. Budaya literasi di tengah masyarakat harus ditingkatkan supaya masyarakat dapat memahami mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah. Tentu peran pemerintah juga diperlukan dalam menumbuhkan budaya literasi di tengah masyarakat ini. Seperti misalnya membangun rumah-rumah baca atau perpustakaan.
Lingkungan pendidikan juga merupakan faktor pendukung untuk memberikan pengajaran kepada para pelajar atau mahasiswa untuk berpikir kritis dan tidak asal mengambil informasi. Sehingga para pelajar dan mahasiswa tumbuh menjadi intelektual yang kritis yang tidak gampang percaya begitu saja dengan berita atau informasi yang dia baca.
Sebagai penutup, saya kutip sebuah kisah alegoris yang berkaitan dengan hoaks. Semoga dengan kisah ini kita bisa mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya.
Di kisahkan ada seekor keledai di ikat pada sebatang pohon. Kemudian Setan datang melepas tali kekangnya. Keledai tersebut memasuki kebun dan memakan sayuran-sayuran yang ada di kebun tersebut. Kemudian istri pemilik kebun, ketika melihat tanamannya dirusak oleh keledai, tanpa berpikir panjang mengambil senapan dan membidiknya ke kepala keledai.
Pemilik keledai, ketika melihat apa yang terjadi pada keledainya, menjadi marah dan bertengkar dengan istri pemilik kebun sampai pada akhirnya dia membunuh istri pemilik kebun tersebut.
Pemilik kebun yang baru datang dari luar ketika melihat istrinya berlumur darah dengan cepat mencari pembunuhnya dan dalam waktu singkat menemukan pemilik keledai. Kemudian tanpa ampun ia menghabisi nyawanya.
Ketika Setan ditanya apa yang kamu lakukan? Dia menjawab: “Aku hanya melepas keledai.”
Tak ubahnya seperti penyebar hoaks, ketika ditanya dengan enteng dia menjawab: “Saya hanya mengutip dari orang lain.”