Domestikasi dan marginalisasi perempuan di ruang publik memang sudah berjalan dalam kurun waktu yang sangat panjang. Tentu bukan hal yang asing lagi jika budaya patriaki, teks-teks keagamaan yang dipahami secara diskriminatif, dan kebijakan negara yang tidak sensitif gender melanggengkan realitas perempuan yang marginal.

Lyli Zakiyah Munir, dalam buku berjudul “Hak Asasi Perempuan dalam Islam: Antara Idealisme dan Realitas”, menegaskan pemikirannya bahwa budaya patriarki telah menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap, sebagai pendamping suami. Hal ini bertentangan dengan Islam yang menyatakan hubungan laki-laki dan perempuan adalah setara dan resiprokal. 

Menurut Lyli, Islam tidak membebani perempuan dengan kewajiban di sektor produksi, tetapi lebih kepada tugas reproduksi. Peran ini menurutnya lebih penting karena hal ini merupakan penentu kualitas hidup manusia selanjutnya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan atas pilihan perempuan untuk bekerja di sektor produktif dan kemasyarakatan atas kerelaan dirinya sendiri (Munir, 1999: 53-55).

Feminisme sendiri merupakan pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakdilan karena jenis kelaminnya (Humm, 2002: 158). Sedangkan patriarki yang berkembang di seluruh dunia merupakan sumber opresi yang menimpa perempuan. 

Patriarki bukanlah determinisme biologis, tetapi merupakan sistem struktur sosial, dan praktik-praktik di mana setiap laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. 

Patriarki meliputi enam struktur, yaitu (1) mode produksi patriarki, dimana dalam struktur rumah tangga, perempuan perempuan adalah kelas yang memproduksi dan laki-laki yang mengambil keuntungan. 

(2) Patriarki pada pekerjaan dengan upah, melarang perempuan masuk ke dalam jenis pekerjaan yang lebih baik karena menganggap perempuan tidak berkompeten. 

(3) Patriarki dalam negara, dimana negara bias terhadap kepentingan patriarkis dalam kebijakan dan tindakan. (4) Kekerasan laki-laki, muncul dalam bentuk yang beragam dan secara sistematis dimaafkan dan ditoleransi oleh masyarakat.

 (5) Patriarki dalam seksualitas, mewajibkan heteroseksualitas, dan standar ganda seksual, yang menempatkan perempuan sebagai objek seks. (6) Patriarki dalam lembaga budaya, menciptakan representasi perempuan dari sudut pandang patriarki dalam arena agama, pendidikan, dan media (Walby, 2014:28-30).

Feminisme sendiri juga menitikberatkan dan memberikan ruang bagi perempuan teropresi untuk mencari jalan pembebasan yang dipilih, yakni dengan membebaskan dirinya dari fungsi-fungsi reproduksi yang dianggap menindas, membebaskan diri untuk menikmati seksualitas sesuai dengan pilihan masing-masing, maupun dengan menghargai tubuhnya sendiri dengan fungsi-fungsi reproduksi yang tidak tergantikan dengan fungsi artifisial yang direkayasa patriarki untuk mengasingkan perempuan.

Meskipun demikian, keperluan analisis juga diperlukan dengan cara mengambil metodologi yang sewajarnya dan selaras dengan ketetapan Alquran dan Sunah untuk menjamin keabsahannya. Penerimaan pemikiran dan analisis gender Barat sepenuhnya yang hanya berdasarkan intelektualitas dan rasionalitas kemanusiaan semata-mata tanpa menitikseimbangkan nilai keagamaan dan tradisi budaya tempatan adalah pertimbangan yang tidak tepat dalam memperjuangkan keadilan sosial dalam kalangan wanita mahupun lelaki. 

Sedangkan, realitas kedudukan dan kodrat wanita dalam masyarakat Muslim adalah berbeda antara satu sama lain dan ia perlu ditanggapi dengan cermat dari perspektif dalam masyarakat itu sendiri (ethnocentrism). 

Pemakaian kacamata eurocentrism (berpusatkan sudut pandang barat atau Eropa) mungkin akan menimbulkan salah faham penafsiran tentang keadilan dalam budaya masyarakat Muslim umumnya dan hukum Islam khasnya. Hal ini dikarenakan tidak semua perbedaan menggambarkan ketidakadilan dan tidak semua persamaan menggambarkan keadilan. Begitupun sebaliknya meletakkan sesuatu pada tempatnya merupakan asas keadilan dalam Islam.

Sehubungan itu, analisis gender boleh dijadikan satu instrumen analisis sosial yang berkesan sekiranya mengambilkira pandangan syariat Islam serta nilai tradisi masyarakat Muslim. Dengan itu, keseimbangan antara apa yang dicitrakan dalam syariat Islam dengan apa yang berlaku dalam realiti sosial dapat dianalisis dengan adil dan saksama. 

Dalam Nahdlatul Ulama sendiri para ulama yang menjadikan Aswaja sebagai ideologi organisasi yang mengarahkan cara berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan. Aswaja yang juga menuntut para ulama untuk konsisten mengikuti konsep Imam al-Asy’ari dan Imam Maturidi dalam akidah, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali dalam syariat (fikih), dan Imam al-Ghazali atau Imam Junaidi al-Baghdadi dalam tasawuf. 

Para imam utama ini menekankan moderasi, toleransi, keseimbangan, dan tegak lurus dalam melakukan amar ma’ruf nahyi munkar.

Peran domestik perempuan tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. Seorang perempuan yang aktif di ruang publik harus tetap menempatkan peran domestik sebagai peran utama yang harus diprioritaskan. 

Oleh sebab itu, konsep gender dan feminisme perempuan dalam NU selalu berpegang para prinsip tawassuth, yaitu moderasi peran domestik dan publik yang diharapkan mampu mewujudkan kemaslahatan hakiki di dunia dan akhirat.