Di tiga pertandingan terakhirnya di La Liga, Barcelona tak memperoleh kemenangan—imbang dengan Girona di kandang, kalah dari Leganes ketika tandang, dan imbang dengan Athletic Bilbao di kandang. Untuk klub sekelas Barcelona, ini tentu sesuatu yang buruk. Menariknya, di tiga pertandingan tersebut, Barcelona sesungguhnya tidak bermain secara buruk.

Barcelona tampil di tiga pertandingan tersebut dengan karakternya: dominan dalam penguasaan bola, aliran bola dari kaki ke kaki, terciptanya peluang-peluang emas, aksi-aksi ciamik Messi dan beberapa pemain lain. Jika seorang cules—suporter Barcelona—menonton tiga pertandingan tersebut dari kick-off hingga pertandingan berakhir, kiranya ia beranggapan bahwa hasil-hasil buruk itu lebih diakibatkan oleh tidak beruntungnya klub kesayangannya itu.

Namun anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang Barcelona tidak beruntung, dan itu terlihat dari beberapa tembakan pemain mereka yang membentur tiang gawang di tiga pertandingan tersebut, tetapi bukan hanya itu yang menyebabkan mereka gagal meraih kemenangan. 

Ada faktor yang lebih krusial seperti kerap lengahnya lini pertahanan mereka. Dan di sini, agaknya menarik untuk sedikit membahas Gerard Pique, salah satu bek tengah andalan mereka.

Anomali Pique

Setiap pecinta sepakbola tentu akan sepakat bahwa Pique adalah salah satu bek tengah terbaik dunia, dan “label” ini disematkan padanya karena kualitas dan performanya di lapangan. Ia lihai dalam mengantisipasi datangnya bola; ia andal dalam duel di udara; dan ia pun kerap mengejutkan lini pertahanan lawan dengan sesekali aktif dalam penyerangan dan sesekali mencetak gol. 

Dan di tiga pertandingan tadi ia masih seperti itu—ia bahkan mencetak satu gol dalam pertandingan Barcelona vs Girona. Namun satu hal: gol-gol yang bersarang ke gawang Barcelona, di tiga pertandingan itu, sebagian besar adalah karena kesalahannya.

Di pertandingan melawan Girona, misalnya, gol Girona di babak pertama bisa terwujud karena Pique kehilangan fokus sepersekian detik. Di pertandingan melawan Leganes, gol kedua Leganes tercipta murni karena Pique keliru dalam mengantisipasi datangnya bola—ia justru mengarahkan bola itu ke seorang pemain Leganes yang berdiri bebas di depan gawang. Dan di pertandingan melawan Bilabo, Pique sedikit terlambat melangkah ke depan sehingga perangkap offside-nya gagal, dan Barcelona pun kebobolan.

Kesalahan-kesalahan Pique tersebut menjadi krusial sebab memiliki andil langsung dalam terciptanya gol-gol lawan, dan turut “membantu” Barcelona gagal meraih kemenangan. Dan ini sungguh sebuah anomali, sebab di luar kesalahan-kesalahannya itu performa Pique di tiga pertandingan tersebut bisa dibilang sesuai standarnya.

Hilangnya Intensitas dan Agresivitas

Sebenarnya jika dipikir-pikir, untuk klub sekelas Barcelona, terlebih lagi dengan kehadiran Lionel Messi di lapangan, kebobolan satu-dua gol dalam sebuah pertandingan mestilah tak jadi soal, sebab mereka bisa membalas dengan lebih banyak gol dan itu yang sering kita lihat di musim lalu. Tetapi itu tidak terjadi di tiga pertandingan terakhir mereka. Kenapa? Itu yang menjadi pertanyaan kita.

Salah satunya barangkali dikarenakan kurang tingginya intensitas mereka dalam menyerang, dalam menekan lawan, juga dalam menciptakan peluang. Bisa juga dibilang, mereka sedikit kurang agresif. Akibatnya, meski kalah telak dalam penguasaan bola, lawan mereka tidak terlalu keteteran dan kehabisan energi. Malah sebaliknya, energi mereka itu sesekali tersalurkan lewat serangan-serangan balik yang berbahaya dan efektif. Dan mereka kerap terlihat percaya diri, baik ketika bertahan ataupun menyerang.

Ini membuat dominasi Barcelona dalam penguasaan bola relatif tidak menakutkan. Dan inilah salah satu akar masalahnya. Hanya ketika tampil sebagai kesebelasan yang menakutkan Barcelona bisa membuat lawan-lawan mereka gugup, gagap, dan akhirnya kehilangan niat untuk bermain. Di era Pep Guardiola, terutama di tahun-tahun awal kepelatihannya, Barcelona adalah tim yang piawai membuat lawan-lawan mereka gugup dan gagap, dan itu memudahkan mereka untuk meraih kemenangan demi kemenangan.

Tetapi apa yang menyebabkan intensitas dan agresivitas itu hilang? Jika jawabannya adalah komposisi pemain, agaknya tidak cukup masuk akal. Jauh lebih logis untuk mengatakan bahwa mereka, para pemain Barcelona di lapangan, kekurangan motivasi, kekurangan dorongan dan suntikan psikis. Dalam hal ini, peran pelatihlah yang sangat diharapkan.

Luis Suárez, striker Barcelona, baru-baru ini mengatakan bahwa Ernesto Valverde, pelatih mereka, masih terbilang pasif. Suárez menyadari betul bahwa di lapangan para pemainlah yang lebih berperan, namun ia pun beranggapan bahwa Valverde, sebagai pelatih, semestinya bisa lebih aktif selama pertandingan berlangsung.

Beberapa pelatih sepakbola ternama di Eropa, seperti Jürgen Klopp (Liverpool) dan Pep Guardiola (Manchester City), terkenal aktif di lapangan, dan memang kesebelasan yang mereka pegang tampil cukup menakutkan; dan sejauh ini, di musim ini, keduanya juga tim yang terbilang tinggi dalam produktivitas gol, dan sulit untuk dikalahkan. Dan barangkali inilah yang dimaksud Suárez. Dengan seorang pelatih yang jauh lebih aktif di lapangan, para pemain Barcelona akan terdorong untuk mengeluarkan kemampuan terbaik mereka.

Tetapi bisa jadi ada faktor lain, yang katakanlah sama krusialnya. Misalnya, sosok kapten. Kapten utama Barcelona saat ini adalah Messi, dan jika kita tengok lagi performa timnas Argentina di Piala Dunia Rusia kemarin, di mana Messi diposisikan sebagai kapten, itu semestinya menjadi pertanyaan tersendiri—sejauh mana Messi bisa mengangkat semangat juang para pemain lain, misalnya. 

Sudah jelas, di Barcelona, Messi adalah ace. Dan ketika ia harus menjadi ace sekaligus kapten, sangat mungkin beban yang dirasakannya akan terlampau berat.

Bandingkan, misalnya, dengan Barcelona di era Pep Guardiola yang masih dikapteni oleh Carles Puyol, atau Barcelona di era Luis Enrique yang sempat dikapteni oleh Xavi Hernández. Puyol punya jiwa kepemimpinan yang kuat, dan ia pun sosok yang tenang dan dewasa. Ini jelas membantu tim untuk bisa menjaga stabilitas di lapangan. 

Xavi, sementara itu, adalah jenderal di lapangan tengah, si pengatur tempo dan ritme, yang karenanya ia bisa aktif berkomunikasi dengan pemain-pemain lain. Messi berbeda. Pertama, ia tidak terlihat memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Kedua, meski kini kerap bermain di tengah menjadi si pengatur tempo dan ritme, posisi utamanya masihlah sebagai ace—bukan jenderal di lapangan tengah.

Kekosongan sosok kapten mulai dirasakan Barcelona setelah Xavi pergi. Iniesta, yang didapuk sebagai penggantinya, terbukti tak bisa menjalani peran itu sebaik dua pendahulunya. Salah satunya karena Iniesta terbilang sosok yang pasif. Setelah Iniesta pergi, peran tersebut diteruskan oleh Messi. Dan ternyata kekosongan itu masih kuat terasa.

Seandainya saja Barcelona memilih sosok yang tepat sebagai kapten, bisa dipastikan, raksasa Catalan ini akan memperoleh kembali intensitas dan agresivitasnya, yang semestinya adalah juga bagian dari karakter mereka.

Permainan yang Atraktif -cum-Efektif

Dalam tiga pertandingan terakhir yang dijalaninya itu, terutama di awal-awal dan akhir-akhir pertandingan, Barcelona menyuguhkan permainan kolektif yang ciamik. Mereka bermain atraktif, sesekali mencoba trik, dan menciptakan peluang-peluang emas. Sayangnya banyak sekali yang berakhir sia-sia—peluang-peluang emas itu terbuang percuma. Kiper serta lini pertahanan lawan, di sisi lain, tampil dengan begitu baik dan mengagumkan.

Jika ingin keluar dari situasi tak menyenangkan ini, Valverde, selaku pelatih, harus meningkatkan efektivitas anak asuhnya, sambil di saat yang sama menguatkan konsentrasi di lini pertahanan, dan lebih jauh lagi dari itu ia pun harus membangkitkan kembali aura menakutkan yang semula dimiliki Barcelona. Tentu, sebagai penggemar sepakbola “indah”, kita berharap terwujudnya hal-hal tersebut tidak sampai menghilangkan permainan atraktif Barcelona, sebab bagaimanapun itu adalah bagian dari karakter mereka.

Dan jika kita bicara soal sepakbola “indah” atau sepakbola atraktif, Barcelona saat ini sesungguhnya memiliki lebih dari cukup pemain yang mendukung visi tersebut. 

Di lini depan, ada Lionel Messi dan Ousmane Dembele yang kerap mencoba melakukan dribbling. Di lini tengah, ada pemain-pemain kreatif dengan teknik tinggi seperti Philippe Coutinho, Arthur Melo, Ivan Rakitić, dan Denis Suárez. Selanjutnya tinggal bagaimana Ernesto Valverde selaku sang pelatih meramu komposisi.

Apakah dengan gagal meraih kemenangan di tiga pertandingan terakhir mereka di La Liga menandakan bahwa Barcelona sedang berada dalam krisis? Saya kira tidak. Buktinya adalah permainan atraktif yang tetap mereka suguhkan di tiga pertandingan itu. Barcelona kiranya hanya perlu kembali mencapai stabilitas di lini tengah dan belakang ketika bertahan, dan di saat yang sama meningkatkan efektivitas serangan. 

Dan mereka bisa jadi sudah berhasil mencapainya di dua-tiga pertandingan mereka selanjutnya. Atau bahkan, di pertandingan melawan Tottenham Hotspurs tengah pekan ini. Mari kita tunggu saja.