Akhir-akhir ini, peristiwa yang berpotensi mencederai kerukunan umat beragama kembali terjadi. Peristiwa itu sudah kita ketahui bersama, yakni insiden di suatu masjid ketika seorang wanita dengan marah memasuki masjid dengan membawa anjing dan tanpa melepas alas kaki. 

Menurut banyak kabar yang beredar, wanita tersebut marah karena suaminya dikabarkan akan menikah lagi di masjid.

Meskipun pihak kepolisian telah menetapkan status tersangka dugaan penistaan agama terhadapnya, hal tersebut tentu memicu polemik di antara masyarakat Indonesia, terutama umat muslim yang beberapa di antaranya merasa terlecehkan oleh perilakunya.

Rasa terlecehkan tersebut dapat dipahami karena air liur anjing dikategorikan sebagai “najis besar” di dalam syariat Islam. Oleh karena itu, perilaku wanita tersebut dianggap ingin “menodai” tempat ibadah mereka sehingga memunculkan rasa terlecehkan.

Banyak warganet berkomentar mengenai insiden ini, mulai dari yang memohon agar wanita itu dimaafkan hingga mengutuk keras perilakunya. 

Akan tetapi, muncul juga komentar dengan nada menyindir pihak yang berlawanan pendapat hingga seakan-akan “memaklumi” insiden dengan komentar semacam orang islam juga ke gereja bawa bom; referensi kepada kejadian Bom Surabaya 2018, di mana satu keluarga muslim melakukan serangan bom bunuh diri terhadap beberapa gereja di Surabaya, dan kejadian lainnya yang dilakukan oleh teroris bergama Islam atas nama “jihad”.

Sebagai bagian dari masyarakat serta warganet Indonesia, memberi dan menyikapi komentar dan opini yang berkembang di media sosial mengenai kasus ini dengan bijak merupakan keharusan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghindari serta mencegah kemunculan dari komentar yang dapat bersifat provokatif dan mengadu domba. 

Mengapa? Karena insiden seperti ini dapat memicu timbulnya peristiwa yang lebih besar lagi dan dapat memuncak dengan suatu peristiwa besar yang menyinggung SARA. 

Selain itu, insiden seperti ini dapat diprovokasi oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan mereka berupa mobilisasi, propaganda, dan lainnya yang berpotensi memicu aksi atau bahkan kekerasan yang dapat memecah belah keragaman budaya, suku, agama, dan bangsa di Indonesia.

Banyak peristiwa, konflik, dan kekerasan bernuansa SARA yang mewarnai sejarah Indonesia yang dipicu oleh peristiwa serupa dengan insiden “anjing masuk masjid” ini. Beberapa di antaranya ada di tahun 1984, 1997, dan 2016.

Beberapa di antara kita pasti mengetahui Peristiwa Tanjung Priok 1984. Peristiwa penembakan massa oleh ABRI tersebut awalnya disebabkan oleh sikap oknum Babinsa yang dianggap “menodai” tempat ibadah, yaitu tidak melepas sepatu hingga menyiram poster “subversif” dengan air comberan di dalam musala. 

“Penistaan” tersebut menyulut amarah warga setempat yang kemudian membakar motor milik oknum Babinsa sehingga beberapa orang harus ditangkap oleh aparat. Beberapa hari kemudian, massa kemudian beramai-ramai pergi ke markas aparat setempat untuk meminta pembebasan mereka yang ditahan. Tetapi, massa ditembaki oleh aparat ABRI sehingga jatuh banyak korban tewas.

Peristiwa Banjarmasin 1997 merupakan peristiwa lain yang diawali oleh tindakan provokatif berbau agama lainnya meski lebih bersifat politis. Dalam artikel Prahara Rasial Pemilu 1997: Jumat Petaka di Banjarmasin yang dimuat di tirto.id (2017), peristiwa tersebut diawali oleh terganggunya kegiatan salat Jumat di Masjid Noor, Bajarmasin, oleh konvoi kampanye Golkar yang bising dan meraung-raung. 

Massa yang marah kemudian menyerang Kantor DPD Golkar Kalimantan Selatan hingga merembet ke pusat kota dan merusak berbagai fasilitas umum dan lainnya. Kerusuhan yang terjadi juga berubah menjadi kerusuhan rasial dengan berbagai etnis menjadi sasaran amuk massa.

Peristiwa tahun 2016 tentu masih teringat dengan jelas oleh kita. Penyebaran potongan kalimat dari ucapan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, yang dianggap menistakan ayat Alquran dengan cepat di media sosial menyebabkan amarah sejumlah kelompok umat muslim sehingga memunculkan berbagai “aksi damai”. 

Adanya identitas dan militansi yang kuat dimanfaatkan oleh kelompok politik tertentu. Ini berpengaruh terhadap tingginya polarisasi pada Pilpres 2019 yang berimbas pada meningkatnya ujaran kebencian berbau SARA.

Dari tiga peristiwa di atas, dapat kita simpulkan bahwa banyak peristiwa, konflik, atau kekerasan berbau SARA di Indonesia disebabkan oleh adanya peristiwa atau insiden lokal yang mengundang provokasi massa (seperti peristiwa 1984 dan 1997) hingga adanya permainan pihak-pihak tertentu di balik peristiwa atau insiden yang terjadi untuk kepentingan kelompoknya sendiri (seperti peristiwa 2016).

Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat serta warganet Indonesia, kita harus bisa dan berkewajiban memberi dan menyikapi komentar dan opini mengenai kasus ini dengan bijak untuk mencegah munculnya konten provokatif yang dapat menyulut peristiwa yang lebih besar lagi. 

Selain itu, sikap bijaksana dalam menyikapi komentar dan opini juga dapat mencegah adanya propaganda atau penggiringan opini dari pihak-pihak tertentu yang ingin memanfaatkan insiden ini untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Selain itu, peristiwa ini juga sudah ditangani oleh pihak yang berwenang. Maka, apakah tidak lebih baik jika kita membantu, mengawasi, dan memberi dukungan kepada pihak yang berwenang untuk mengusut tuntas kasus ini daripada saling sindir dan debat di media sosial?

Kita tentu tidak ingin Indonesia kembali kepada kondisi di mana kerukunan masyarakatnya terancam, bukan?