Gus Mus dalam puisinya "Negeri Haha Hihi" pernah menyebutkan seperti ini,
"Banyak yang terus pamer kebodohan dengan keangkuhan yang menggelikan
Banyak yang terus pamer keberanian dengan kebodohan yang mengharukan"
Sungguh, diksi yang dipilih Gus Mus dalam puisinya sangat saya rasakan benarnya. Lebih-lebih sejak menengok beranda media sosial yang diramaikan dengan ajang pamer isi otak, semakin kosong, semakin ramai. Jika kebodohan--bagi sebagian orang--adalah aib, dan Tuhan dengan segala welas asihnya sudah menutupi aib tersebut. Justru banyak orang yang membuka bungkusnya kembali dan menunjukkannya di muka publik.
Pernah suatu ketika, saya menemukan sebuah tautan video yang dibagikan oleh teman di facebook. Video tersebut, akan saya terangkan isinya sebagai berikut. Seekor ayam berwarna putih tampak merapikan beras yang tercerai-berai di tanah membentuk lafaz Allah dalam bahasa Arab. Video itu lengkap dengan catatan, "Subhanallah, lihat apa yang dilakukan ayam ini?".
Saya hanya perlu waktu sesingkat-singkatnya untuk menyadari bahwa video itu diputar terbalik atau mundur. Jadi, video sebenarnya berupa beras yang sudah dibentuk lafaz Allah, kemudian dimakan ayam sampai berserakan. Video ini diputar dari belakang sehingga tampak ayam tersebut yang membentuk lafaz Allah. Lalu disebarkan lewat internet dan dibagikan ratusan ribu orang! Ini sedikit contoh dari representasi pamer kebodohan di ruang publik. Yang mengerikan dari pamer kebodohan adalah, virus ini sangat cepat menular.
Masyarakat kita, entah kenapa banyak yang fanatik dengan simbol-simbol. Fanatisme yang berlebihan ini kadang membuat kita terjebak di dalamnya. Dan yang sering terjebak dalam simbol-simbol ini justru kebanyakan muncul dari mereka yang percaya Tuhan, mereka yang beragama.
Mungkin karena segala keterbatasan manusia yang ingin mengenal Tuhan, dan belum mampu untuk bertemu denganNya di dunia, sehingga manusia mulai mengejawantahkan Tuhan ke dalam simbol-simbol yang mampu mereka tangkap melalui pancaindra. Tuhan Yang Maha Sempurna tidak bisa diwujudkan lewat imajinasi manusia yang bahkan tanpa batas. Tuhan terlalu sempurna untuk dibayangkan, sehingga dalam Islam, pertanyaan seputar wujud Tuhan lebih baik untuk ditinggalkan.
Nabi Musa dalam Quran dikisahkan, ingin melihat Tuhan. Tuhan memberi peringatan, "Engkau sekali-kali tidak akan mampu melihatKu.". Gunung lebur, Musa pingsan. Setelah itu ia memohon ampun kepada Allah atas permintaannya yang melewati batas. Seseorang sekaliber Musa yang seorang nabi saja tidak mampu, lalu bagaimana dengan kita yang cuma cecenguk-cecenguk ini? Namun ternyata, masih banyak golongan yang melampaui batas.
Golongan yang memuja simbol-simbol. Mereka ini--secara tidak langsung--beranggapan bahwa simbol-simbol yang mewakili Tuhan merupakan penjelmaan Tuhan itu sendiri. Mereka lebih fokus kepada hal-hal yang tampak dari luar, dan mengabaikan eksistensi segala sesuatu.
Dalam aksi "Bela Islam Jilid II" kemarin, saya keberatan dengan konsep yang dihembuskan banyak pihak, berupa pengkudusan angka 411. Saya Islam dan saya tidak menyembah angka-angka. Mereka berkata bahwa 411 adalah penjelmaan lafaz Allah. Banyak foto profil yang diganti dengan angka 411. Mereka berjudi dengan Tuhan. Mereka ingin menggelar aksi di hari Jumat, hari agung umat Islam.
Mereka ingin mengadakannya di bulan November tahun 2016. Lalu mereka mulai memutar roda dan bola jatuh di tanggal 4 November 2016. Dan setelah beberapa racikan, mereka mendapatkan angka 411 yang secara kebetulan mereka anggap cocok dengan lafaz Allah.
Jackpot! Mereka menang perjudian. 411 yang seharusnya menunjukkan tanggal 4 November justru dialihkan kepada eksistensi wujud Tuhan. Lagi-lagi ide seperti ini dibungkus dengan rapi, lalu disebarkan lewat internet. Ratusan ribu orang mengamini! Jadi jika sekarang saya menginjak angka 411, saya akan disebut penista agama.
Padahal, dalam Quran jika ada pertanyaan tentang tanda-tanda Tuhan, Allah selalu menyerukan agar melihat sekitar. Melihat di penciptaan langit dan bumi, pergantian siang-malam, perahu yang berlayar di lautan, hujan yang turun di muka bumi dll. Allah tidak menyerukan, "Lihatlah ke perwujudan asma Allah di awan, di angka-angka pada kalender, dan dimana-mana kamu bisa menemukan asma Allah.". Ya, kan?
Lalu untuk aksi 2 Desember nanti, saya berharap tidak ada penafsiran macam-macam seputar angka yang kebetulan tanggal sekian itu. Kalaupun ada, semoga mentok di penafsiran 212 yang merujuk kepada Pendekar Kapak Maut Naga Geni, Wiro Sableng.