Inti sari dari Das Kapital jilid satu sampai tiga karya Karl Marx, Mbah Komunisme dunia, yaitu: kapital, modal atau apapun istilah lainnya adalah sumber malapetaka, sumber penghisapan manusia. Dan negara ada untuk melayani kepentingan modal.
Masih menurut Marx dalam Manifesto Komunis: Tidak ada jalan lain untuk menghentikan sumber penghisapan itu kecuali mengalahkan dan menghancurkannya; Pokoknya, sekali lagi pokoknya, lawan itu Kapitalis!
Dalam perjalanannya, seruan itu telah melahirkan banyak varian gerakan. Mulai dari kiri benaran, kiri tengah, kiri-pinggiran, kiri kekini-kinian, sampai kiri-kanan ok. Hahaha..jadi teringat Rudi, teman saya yang pernah Kiri itu, saban hari kerjaannya melototi fluktuasi pergerakan harga saham.
Sadar atau tidak, seruan Karl Marx itulah yang kerap kita pakai untuk menghitam-putihkan sebuah peristiwa ekonomi-politik yang terjadi. Pendekatan kelas dan analisis struktural ini digunakan kalangan NGO atau gerakan sosial lainnya.
Saya tidak alergi dengan pilihan teori dan idiologi yang dianut, atau tidak ingin terlibat menghalangi-halangi seperti yang dilakukan FPI atau lainnya. Saya hanya merasa aneh saja kok hari gini masih merasa paling benar.
Menganggap mereka yang mendukung reklamasi pantai sebagai kelompok anti kemanusiaan. Menganggap relokasi warga dari lokasi kumuh sebagai pelanggaran HAM. Menuduh pembangunan Jakarta hanya untuk orang kaya.
Saking asyiknya menuduh sana-sini, akhinya kita lupa ukuran “kemanusiaan” itu seperti apa? Apakah membiarkan orang tiduran di bantaran sungai yang kumuh dan atau membiarkan nelayan dengan perahu tradisional tanpa ikan itu bagian penghormatan pada nilai kemanusiaan? Konyol memang.
Bila kita menganjurkan nelayan dikuatin teknologinya. Ehh..di ujung meja sana sudah ada yang berteriak: “Jangan ajarkan alat produksi terbaru nanti merusak kearifan lokal.” Halaa, yang berteriak itu, sementara mengunakan alat produksi terbaru, macbook, tanpa pernah diteriaki akan merusak kearifan mesin ketik.
Mereka lupa bahwa Manusia hidup itu untuk mempertahankan hidup. Kata “mempertahankan hidup” itu manusia bekerja dan ia berproduksi. Setahuku, ini ada di Das Kapital dasar jilid I.
Dari relasi produksi menghasikan pergerakan modal, dari gerak modal ini lahirlah peradaban manusia, seperti saat ini. Kita tidak mungkin menghentikan arus modal karena kalau dihentikan maka dinamika kehidupan itu berakhir. Sama saja menyuruh Tuhan mengiamatkan dunia.
Karena teori dasar itu, maka tidak ada yang aneh bila Pemodal, siapapun dia, tidak salah dalam mereklamasi pantai Jakarta atau pantai lainnya. Lagian juga terbuka lapangan kerja.
Pernahkah kita berhitung, berapa puluh ribu tenaga kerja yang dibutuhkan ketika pantai itu direklamasi. Pernahkah kita berpikir kalau lapangan kerja terbuka juga akan mengurangi kejahatan. Siapa yang akan diuntungkan bila kejahatan berkurang? Pastinya Anda-anda toh.
Tapi masih pada ngeyel jawabannya. Katanya, semuanya hanya menguntungkan pemodal. Lah, iyalah itu sudah pasti. Mana ada pengusaha di dunia yang tidak cari untung. Nabi Muhammad saja, sudah utusan Tuhan pun, tetap cari untung ketika berusaha.
Ada juga yang berteriak, reklamasi itu merusak ekosistem, merusak mata rantai kehidupan laut. Hoii..sadarlah, tanpa ada reklamasi, ekosistem laut sudah rusak, karena perilaku hidup kita membuat sampah serampangan. Kerusakan itu tidak melulu karena keberadaan pemodal.
Melihat wajah baik dari Kapitalisme itu penting. Karena hanya dengan cara itupun kita akan selalu berpikir positif tanpa menghilangkan kekritisan. Toh, mengagumi “karya monumental” dari para pemodal itu tidak akan mengurangi kadar anda sebagai aktivis.
Oh iya, tadi siang saya membaca salah satu media online nasional, yang menginformasikan bahwa warga yang digusur dari kawasan penjaringan, Jakarta Utara, telah hidup nyaman di Rumah susun. Nah, apakah kita masih akan menuduh Ahok hanya berpihak pada pemodal?
Juga pastinya, biaya untuk membangun Rumah susun, memperbaiki taman kota, yang sering kita datangi untuk bersantai, biaya memperbaiki bantaran sungai agar rumahmu tidak banjir, itu uangnya dari hasil pajak. Sudah pasti pembayar pajak tertinggi itu adalah pengusaha yang kalian lawan. Silahkan cek di kantor pajak.
Coba Anda bayangkan, bila reklamasi pantai utara Jakarta itu jalan—tanpa mengabaikan analisis Amdalnya—begitu banyak dana yang di dapatkan pemeritah DKI dari para pengembang itu. Pastinya, dana subsidi silang itu akan banyak membuat rakyat Jakarta sejahtera.
Bila dana 15% kontribusi dari reklamasi itu tidak digunakan Ahok, untuk membangun Kota Jakarta. Misalnya, ia gunakan untuk diri sendiri, barulah kita beramai-ramai menonjok Ahok.
Sesekali semuanya harus duduk santai—jangan lupa pesan kopi—melihat kembali ajaran Marxis itu. Jangan-jangan ada yang salah dari ajaran Karl Marx. Bisa jadi, ia telah salah menulis Das Kapital. Lagian juga ia menulis Das Kapital di jaman Kapitalis primitif.
Saya meyakini, andaikan Marx bangkit dan hidup lagi, dia akan terkagum-kagum melihat sisi manusiawi dari kapitalisme. Ia akan membeli iPhone 6 Plus dan menulis pesan kepada anda semua: “Mulai Hari ini Das Kapital itu akan saya revisi, dan Kapitalis itu, saudara, bukan lawan”.