Saya membayangkan Indonesia yang damai, tenteram, saling menyayangi, Indonesia tanpa menghujat. Namun harapan itu tidak mungkin terlaksana tahun ini karena satu alasan, tahun politik. Keinginan itu yang sangat utopis di tahun politik, sebab pangung politik kita sudah dipenuhi dengan intrik-manuver yang sudah tidak sehat dengan wacana kebencian, anti keberagaman, sentimen keagamaan.
Lebih-lebih setiap pasangan calon presiden 2019 mempunyai pendukung yang sangat fanatik. Cembong dan kampret adalah dua pendukung dua kandidat yang akan berkontestasi 2019. Merekalah yang memenuhi arena pertarungan wacana politik kita, saling mencaci, menghuja, bahkan lebih sadis mem-bully. Mereka akan memuji calonnya sendiri, akan menyerang lawan politiknya, lebih-lebih lawan politik membuat kesalahan.
Hal itu diperkeruh oleh para intelektual yang juga ikut andil dalam budaya seperti itu. Artinya, yang melakukan seperti di atas bukan hanya orang awan tapi “intelektual berdasi“ ikut terlibat menjadi bagian. Seharusnya merekalah yang menjadi bagian untuk memberikan edukasi politik terhadap masyarakat agar tercipta budaya politik yang sehat.
Budaya politik kita sekarang sudah jauh dari politik kebangsaan, sudah menghilangkan akal sehat. Politik yang awal jalan untuk memperbaiki bangsa, kemudian berubah menjadi momok yang sangat menakutkan. Hal itu imbas dari para elite kita yang beda kepentingan antar satu sama lain. Korbannya adalah rakyat bawah yang tidak tahu apa-apa, mereka hanya terseret kepentingan para elite.
Ironisnya lagi, para elite ini membiarkan fenomena seperti ini, sedangkan para elite di atas ketawa-ketiwi dengan senang melihat arus bawah yang terus bergejolak.
Sedangkan di akar rumput, politik sangat kaku, jumud, tak secair politik para elite. Tingkatan para elite hanya bertengkar di panggung sandiwara seperti ketika tampil di media saja atau ketika di forum saja. Di belakang layar, para politisi kita begitu cair, saling memuji, ketawa-ketiwi, saling ngopi bareng--dengan catatan kepentingan tidak terganggu.
Mereka akan saling serang di media agar dilihat bahwa mereka bekerja demi rakyat. Oposisi juga memainkan peran sebagai oposisi untuk kelihatan pro terhadap rakyat kecil walaupun kadang terlalu kritis yang tidak jelas. Di situlah rakyat sedang tertipu, sedangkan para pendukung mati-matian untuk mendukung hingga perbedaan kadang membawa ketidakharmonisan antar keduanya, bahkan berujung pada nyawa seperti kasus di Sampang berujung duel secara fisik yang mengakibatkan nyawa yang melayang.
Kembali pada pertanyaan awal, mungkinkah para cebong-kampret bisa saling berdamai? Sepertinya keinginan ini tak mungkin terjadi tahun 2019, seperti langit dan bumi yang jauh. Keduanya sepertinya sadar. Namun karena kepentingan politik, kesadaran menjadi tak berarti.
Seharusnya, kita sebagai rakyat bersatu membangun bangsa ini. Perbedaan politik jangan membuat kita saling menghilangkan persaudaraan sebagai anak bangsa. Ingat tahun politik hanya lima tahun sekali, sedangkan persaudaraan adalah selamanya.
Kita boleh menjadi pendukung antara kedua pasangan calon (paslon), baik Jokowi atau Prabowo, karena hak politik dijamin dalam konsitusi kita. Tapi jadilah pendukung yang cerdas, yang mengampanyekan program-program yang pro terhadap rakyat, menjadikan politik yang berorientasi pada kebangsaan. Jangan malah memperkeruh kebangsaan kita di tengah bangsa kita yang sedang terpuruk dalam identitas kebangsaan.
Bangsa kita masih dapat predikat negara yang masih berkembang, yang sejak dulu sampai sekarang. Untuk keluar dari masalah itu, kita harus bekerja bersama, membangun bersama. Hal itu bisa terjadi kalau politik kita akan stabil. Maka dari itu, jadilah cebong-kampret yang cerdas. Mendukunglah seperlunya, jangan menjadi pendukung yang fanatik.
Kita sebagai rakyat harus cerdas, jangan mau diadu domba. Kitalah yang harusnya menentukan semua, bukan malah kita yang dijadikan objek. Di era demokrasi, kita harus menjadi subjek. Kalau bisa, kita yang mendikte para pemimpin kita. Sesungguhnya, kitalah yang memiliki kekuasaan.
Ingat filosofi demokrasi, rakyatlah pemegang kedaulatan: pemerintah dari untuk rakyat. Mareka hanya perwakilan dari kita yang kita pilih.
Kalau kita cerdas, tak mungkin mereka bisa mengadu domba kita. Impian di atas seperti Indonesia damai, tenteram, tanpa hujat, akan terlaksana jika rakyat sudah cerdas. Mereka tak akan mudah dibodohi oleh para elite. Mulai sekarang, mari kita sadar bahwa sesungguhnya kita korban para elite politik.
Masihkah kita akan dibodohi pasca baca tulisan ini? Jangan sampai kita seperti keledai yang jatuh pada lubang dua kali. Kita sebagai mahluk yang mulia diberikan otak oleh Tuhan agar bisa gunakan untuk berpikir. Masih belum terlambat untuk berpikir, pemilihan umum masih kurang lima bulan lagi. Tapi setelah baca ini, jangan Anda salah paham tentang tulisan ini. Saya tak menyuruh Anda untuk golput. Saya hanya menyuruh Anda untuk menjadi pemilih cerdas.
Sekali lagi, mungkinkah cebong-kampret akan berdamai? Biarlah keduanya yang menjawab.