Definisi terorisme dan terorisme tunggal “Lone Wolf Terrorism” bervariasi di seluruh negara, tidak ada definisi tetap. Beberapa tipologi telah diusulkan untuk memahami kerangka multidimensi Lone Wolf Terrorism, termasuk yang dilakukan oleh Pantucci, Yang mempertimbangkan faktor-faktor seperti kesepian, arah, motivasi, afiliasi, dan bantuan. Tipologi ini membantu membedakan antara berbagai definisi dan memberikan analisis yang lebih luas tentang pendefinisian Lone Wolf Terrorism.
Terorisme dan radikalisme Islam menimbulkan ancaman keamanan yang signifikan di Indonesia, dengan sejarah yang berasal dari era kemerdekaan negara. Bom Bali pada tahun 2002 menjadi penanda titik balik dalam langkah-langkah kontra-terorisme di Indonesia, yang mengarah pada pembentukan unit dan lembaga khusus yang berfokus pada kontra-terorisme.
Sementara beberapa serangan teroris direncanakan oleh kelompok-kelompok terstruktur, telah terjadi pergeseran strategi terhadap penyerang tunggal, yang dapat direkrut atau bertindak secara independen, menimbulkan tantangan bagi upaya penegakan hukum dan kontra-terorisme.
Apa itu Lone Wolf Terrorism.?
Studi tentang Lone Wolf Terrorism terutama berfokus pada Amerika Serikat dan Eropa, dengan berbagai ideologi di balik serangan ini. Studi Hewitt pada tahun 2003 mengidentifikasi empat jenis penyerang tunggal, termasuk supremasi sayap kanan, ekstremis Islam, militan kulit hitam, dan anti-aborsi.
Lone Wolf Terrorism sejatinya lebih mengacu pada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh individu yang bertindak sendiri, tanpa dukungan atau keterlibatan langsung dari organisasi teroris yang lebih besar. Lone Wolf Terrorism biasanya melakukan serangan secara spontan atau setelah merencanakan aksi mereka sendiri tanpa mengungkapkannya kepada orang lain.
Mereka sering kali memiliki motivasi ideologis atau agama yang kuat, dan melakukan tindakan kekerasan tersebut sebagai bentuk protes atau balasan terhadap kebijakan atau peristiwa tertentu.
Lone Wolf Terrorism memiliki karakteristik yang berbeda dengan terorisme yang dilakukan oleh kelompok teroris yang terorganisir, karena Lone Wolf Terrorism tidak memiliki dukungan dan bantuan langsung dari orang lain, dan mereka biasanya tidak terlibat dalam perencanaan atau pelaksanaan serangan bersama-sama dengan orang lain.
Hal ini membuat sulit untuk mendeteksi atau mencegah serangan lone wolf, karena mereka dapat beroperasi secara mandiri dan tidak meninggalkan jejak digital atau mengambil tindakan apapun yang dapat mengungkapkan rencana mereka sebelum serangan terjadi.
Studi Spaaj pada tahun 2010 menemukan bahwa serangan Lone Wolf Terrorism terjadi di 15 negara yang berbeda, dengan penyerang membunuh rata-rata 0,62% per-serangan dan motif menjadi kombinasi dari nilai-nilai pribadi, interpersonal, dan politik. Studi Smith pada tahun 2015 membandingkan karakteristik teroris lone wolf dan mereka yang berada dalam sel/kelompok, menemukan bahwa penyendiri biasanya laki-laki, memiliki gelar sarjana, dan sebagian besar belum menikah.
Profil penyerang tunggal menunjukkan bahwa mereka biasanya laki-laki, lajang, dan berusia 20-an hingga 40-an, dengan usia rata-rata 32 tahun. Setengah dari penyerang adalah wiraswasta, dan 20% menganggur, menunjukkan kemungkinan perjuangan ekonomi dan isolasi sosial, yang dapat berkontribusi pada keputusan mereka untuk melakukan serangan one wolf. Temuan ini konsisten dengan penelitian lain dan menyoroti pentingnya mengatasi faktor sosial dan ekonomi yang mendasari dalam mencegah terorisme tunggal.
Contoh Kasus teroris Tunggal
Poin penting untuk mengidentifikasi Lone Wolf Terrorism tidak hanya terletak pada anggotanya yang tunggal. Lebih dari itu, perlu untuk mengidentifikasi afiliasi pelaku tersebut, apakah terlibat atau tidak dengan salah satu kelompok radikal.
Sebagian orang beranggapan bahwa aksi terror bom gereja di Surabaya pada tahun 2018 yang dilakukan oleh satu keluarga merupakan contoh nyata dari aksi Lone Wolf Terrorism. Secara teori hal ini benar, karena mereka melakukan aksi itu secara mandiri. Namun setelah ditelusuri, hal ini adalah kekeliruan dalam memahami Lone Wolf Terrorism.
Serangan bom keluarga di Surabaya yang terjadi pada tahun 2018 tersebut tidak dapat dianggap sebagai aksi Lone Wolf Terrorism karena pelakunya bukanlah individu yang bertindak sendiri tanpa dukungan atau keterlibatan langsung dari organisasi teroris yang lebih besar.
Pelaku dalam serangan bom keluarga tersebut adalah anggota dari kelompok teroris yang terorganisir, yaitu Jamaah Ansharut Daulah (JAD), sebuah jaringan teroris yang terkait dengan kelompok militan ISIS.
Meskipun serangan tersebut dilakukan oleh sekelompok individu yang terdiri dari satu keluarga, namun pelaku-pelaku tersebut tidak bertindak secara mandiri dan telah menerima dukungan, arahan, serta pelatihan dari kelompok teroris yang lebih besar. Oleh karena itu, serangan bom keluarga di Surabaya tidak dapat dianggap sebagai aksi lone wolf terrorism, melainkan sebagai aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok teroris yang terorganisir.
Contoh nyata aksi Lone Wolf Terrorism adalah serangan penembakan di Orlando, Florida pada bulan Juni 2016 yang dilakukan oleh Omar Mateen. Mateen adalah seorang warga Amerika Serikat keturunan Afghanistan yang melakukan penembakan di sebuah klub malam LGBT yang disebut Pulse, menewaskan 49 orang dan melukai puluhan lainnya sebelum akhirnya tewas dalam baku tembak dengan polisi.
Mateen melakukan serangan tersebut secara mandiri, tanpa dukungan atau keterlibatan langsung dari organisasi teroris manapun. Namun, ia diduga memiliki simpati terhadap ISIS dan mengaku sebagai "prajurit ISIS" dalam percakapannya dengan petugas 911 saat serangan berlangsung.
Serangan penembakan oleh Mateen dapat dianggap sebagai contoh nyata aksi lone wolf terrorism karena ia bertindak sendiri dan tanpa dukungan langsung dari kelompok teroris manapun, tetapi memiliki motivasi ideologis yang kuat dan melakukan aksinya sebagai bentuk protes terhadap gaya hidup LGBT.
Di Indonesia, kita bisa melihat kasus serangan bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar pada Maret 2021 yang dilakukan oleh sepasang suami istri, LVB dan YSF. Mereka melakukan serangan tersebut secara mandiri tanpa dukungan atau keterlibatan langsung dari kelompok teroris manapun.
LVB dan YSF dilaporkan telah memiliki ideologi radikal dan merupakan pendukung ISIS. Mereka menggunakan sepeda motor dan mengendarai motornya ke arah gerbang masuk ke Gereja Katedral Makassar saat jemaat sedang keluar dari gereja pada saat Minggu Palma, dan meledakkan bom yang mereka bawa, menewaskan 20 orang termasuk diri mereka sendiri dan melukai belasan orang.
Dari fakta tersebut, dapat kita ketahui bahwa ancaman Lone Wolf Terrorism di Indonesia masih tetap ada, terutama mengingat bahwa negara kita memiliki sejarah panjang terkait terorisme dan radikalisme. Meskipun pemerintah Indonesia telah mengambil tindakan untuk menanggulangi terorisme, aksi Lone Wolf Terrorism tetap menjadi ancaman serius karena sulit untuk dideteksi dan dicegah.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi munculnya aksi Lone Wolf Terrorism di Indonesia antara lain adalah ideologi ekstremis yang masih ada, akses mudah terhadap bahan peledak, serta kemajuan teknologi informasi yang dapat memudahkan seseorang dalam mencari informasi tentang cara membuat bom atau cara melakukan serangan.
Selain itu, situasi pandemi COVID-19 telah mempengaruhi potensi munculnya Lone Wolf Terrorism di Indonesia, karena situasi yang tidak stabil dan sulit bagi sebagian orang dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka dapat menimbulkan ketegangan dan frustrasi yang memicu aksi kekerasan.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu terus meningkatkan kerja sama antar lembaga, pengawasan dan pengawalan terhadap sumber daya bahan peledak, serta melakukan edukasi dan pencegahan terhadap radikalisme dan ekstremisme yang dapat menjadi faktor pendorong dalam munculnya aksi Lone Wolf Terrorism.