Pada 28 September 2016 lalu, 6 pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh ikut uji tes baca Al Quran di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Prosesi uji baca Al Quran juga diikuti kandidat Bupati/Walikota di 20 Kabupaten/Kota di seluruh Aceh yang kebetulan menggelar Pilkada serentak.

Syarat ini tentu saja tak akan kita temui di Pilkada-pilkada daerah lainnya di Indonesia. Ini khusus untuk Aceh, yang memiliki banyak keistimewaan di banding saudaranya di tempat lain di Indonesia. Pilkada Aceh, karenanya begitu istimewa, sebab Komisi Independen Pemilihan (KIP, KPU-nya Aceh) boleh membuat aturan tersendiri terkait hal ini. Tapi, citarasa nasional tetap terasa.

Ada sebuah harapan yang diangan-angankan dari tes baca Al Quran terhadap para kandidat yaitu agar nantinya calon pemimpin Aceh ini memahami isi kandungan dari kalam suci sebagai pedoman dalam menahkodai daerah yang dipimpinnya, lebih-lebih karena Aceh berlaku Syariat Islam. “Bagaimana kepala daerah terpilih nanti mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari,” kata Ridwan Hadi, Ketua KIP saat memberi sambutan sebelum uji baca Al Quran digelar.

Pun begitu, bisa membaca Al Quran tak jadi jaminan bahwa sang pemimpin tak akan menyeleweng ketika kekuasaan sudah digenggamnya. Sudah banyak contoh di sekitar kita, beberapa Bupati harus berurusan dengan hukum dan merasakan pengapnya kamar tahanan.

Di tingkat nasional, bahkan pemimpin yang lahir dari partai dakwah sekali pun tetap dicolok KPK karena korupsi dan suap. Namun, dengan memahami isi kandungan Al Quran, minimal para pemimpin tahu bahwa korupsi dan suap itu dilarang agama dan perbuatan salah. Itu saja, sudah cukup.

Meski sebagian besar fokus publik Indonesia kini tersita terhadap pertarungan perebutan kursi Gubernur di DKI Jakarta, yang dinilai sebagai kontestasi menarik dan menasional, tapi jangan pernah lupakan Pilkada Aceh yang juga tak kalah serunya. Selalu memunculkan kejutan demi kejutan.

Pilkada-nya Anak Muda

Kalau mau jujur, sejak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pertama selepas konflik dan tsunami digelar, hajatan politik di Aceh selalu menarik disimak dan kerap jadi perhatian elite politik nasional. Pilkada 2006, misalnya, adalah pemilihan langsung pertama di Indonesia yang diikuti oleh calon independen. Elite nasional yang kadernya ikut bertarung dalam perebutan kursi gubernur merasa perlu turun tangan. Ini pula yang membuat kontestasi politik menjadi semarak.

Tapi, Pilkada 2006 murni sebagai pertarungan sesama orang Aceh. Saat itu, belum hadir partai lokal, dan partai nasional masih menancapkan kukunya di Aceh.

Banyak sekali kandidat yang maju menjadi kepala daerah memanfaatkan tiket jalur perseorangan dalam merebut kursi orang nomor satu di daerah. Meski dalam pertarungan terakhir, di beberapa daerah pemilihan, calon yang rata-rata didukung oleh mantan kombatan GAM memenangi pemilihan. Bahkan, di antara calon itu tergolong berusia muda.

Saya pikir, Pilkada 2006 merupakan momentum unjuk kekuatan anak muda dalam melawan kelompok tua. Di tingkat Provinsi, muncul nama Muhammad Nazar, mantan Ketua Presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang dianggap mewakili aspirasi anak muda, dan terpilih sebagai Wakil Gubernur, mendampingi Irwandi Yusuf. Mereka mengungguli nama-nama beken yang kenyang makan ‘asam-garam’ politik seperti Humam Hamid, Azwar Abubakar, dan Malik Raden.

Sementara di beberapa kabupaten/kota, calon dari kalangan muda juga unjuk kekuatan. Munawar Liza Zainal-Islamuddin berjaya di kota Sabang, Nasruddin Abubakar terpilih jadi Wakil Bupati di Aceh Timur, Fuadri Wakil Bupati di Aceh Barat,  Daska Aziz Wakil Bupati di Aceh Selatan, Nazir Adam Wakil Bupati di Pidie dan Illiza terpilih sebagai Wakil Walikota di Banda Aceh. Boleh dibilang, Pilkada 2006 adalah Pilkada-nya anak muda Aceh.

Kondisi serupa tak terulang pada Pilkada 2012. Calon dari kalangan muda rontok di mana-mana. Spektrum politik berubah dengan hadirnya calon dari partai lokal. Jalur independen yang banyak digunakan oleh kalangan muda dan jadi primadona kandidat dalam Pilkada 2006 mulai dipandang sinis serta diposisikan sebagai musuh bersama. Akibatnya, calon dari independen jadi bulan-bulanan di mana-mana, dan tak mendapatkan suara cukup signifikan.

Aroma pertarungan lokal dan nasional memang lebih mengemuka pada Pilkada 2012 ini, tapi tak cukup signifikan. Juga terjadi pembelahan politik dan dukungan secara vulgar, ditandai dengan jatuhnya korban gara-gara perbedaan pilihan politik tersebut.

Tak pelak, Pilkada 2012 dianggap sebagai pemilihan paling berdarah, dan menjadi arena tarung terbuka antara kandidat mantan kombatan GAM: Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf vs Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan. Sebuah lembaga internasional, International Crisis Group (ICG) bahkan sampai mengeluarkan laporan “GAM vs GAM” mengomentari fenomena politik ini.

Tangan-tangan Jakarta juga ikut bermain. Kandidat dari Partai Aceh, Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf, misalnya, mendapat sokongan kuat dari Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Kandidat ini juga mendapat dukungan dari beberapa partai nasional yang memilih mengekor mereka karena peluang menang jago dari partai lokal itu lebih besar.

Dan, hasil pemilihan memang membuktikan demikian. Kandidat Partai Aceh yang didukung Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Daulat Aceh (PDA) dan beberapa Partai Nasional unggul telak setelah mengantongi lebih 50 persen suara, mengalahkan Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan yang maju dari jalur independen (29 persen), dan Muhammad Nazar-Nova Iriansyah dari koalisi Demokrat, PPP dan SIRA (7 persen), dan beberapa kandidat lain yang suaranya tak lebih 5 persen.

Bukan lokal versus Lokal

Citarasa kontestasi nasional kini kembali terhidang dalam Pilkada 2017 di Aceh. Ini misalnya terlihat dari hadirnya calon gubernur yang diusung partai lokal berkoalisi dengan partai nasional. Pertarungannya tak hanya di antara kandidat yang diusung koalisi partai lokal dan partai nasional, melainkan juga melawan kandidat dari jalur perseorangan. Juga pertarungan sesama elit kombatan GAM.

Kubu GAM yang terpecah-pecah di Pilkada 2017 ini, misalnya, melahirkan Zaini Abdullah,  Zakaria Saman (keduanya maju dari jalur independen) dan Irwandi Yusuf (yang diusung Partai Nasional Aceh, Partai Demokrat, dan PKB), serta Muzakkir Manaf (koalisi Partai Aceh, Gerindra, dan beberapa partai nasional). Mereka akan berjuang menarik hati para kombatan GAM yang juga diincar oleh Tarmizi A Karim dan Abdullah Puteh.

Dua nama yang disebut terakhir memang bukan dari trah kombatan GAM, tapi Tarmizi Karim, misalnya, didukung oleh Mantan Panglima GAM Wilayah Pase, Sofjan Dawood, sementara mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh, wakilnya adalah tokoh GAM barat-selatan.

Sekilas, pemilihan di Aceh menjadi semacam pertarungan antara para mantan kombatan GAM, atau lokal versus lokal. Tapi, jika dilihat lebih jauh, pertarungan itu menyerupai adu kekuatan ikon partai yang kini terhidang dalam Pilkada DKI, melibatkan SBY, Prabowo dan Mega.

Di Aceh juga demikian, ada tangan Jakarta yang ikut memainkan peran penting dalam memenangkan para kandidat. Pasangan Muzakkir Manaf-TA Khalid (PA-Gerindra) disokong oleh Prabowo Subianto, Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah (PNA, Demokrat, PKB) didukung oleh Susilo Bambang Yudhoyono, dan Tarmizi A Karim-Ir T Machsalmina Ali (Nasdem, Golkar) memiliki Surya Paloh dan Setya Novanto.

Lalu, Zakaria Saman dan Zaini Abdullah, sama-sama mengklaim didukung oleh Jusuf Kalla. Pasalnya, keduanya merasa memiliki ikatan emosional dengan Wakil Presiden itu, setelah terlibat dalam pemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Pilpres 2014 silam.

Dari situ nampak jelas, Jakarta ikut berkepentingan dalam Pilkada di Aceh. Inilah Pilkada bercitarasa nasional, tak jauh-jauh dari keterlibatan para tokoh sepuh. Bagi proses regenerasi kepemimpinan, Pilkada Aceh tahun 2017 jauh lebih mundur dari Pilkada 2006 silam. Pasalnya, anak muda kembali tergerus permainan orang tua, dan tak ambil bagian dalam proses perebutan kekuasaan, kecuali sekadar menjadi tim sukses demi melempangkan jalan bagi kandidat yang didukungnya.

Harapan hadirnya pemimpin yang lebih fresh dan muda kembali memudar. Apalagi lagi berharap hadirnya perubahan dari kandidat yang sudah banyak makan asam-garam politik, jauh panggang dari api. Jadi, sebagus apapun ayat suci dilantunkan, tak menjamin mereka untuk tidak korupsi!

#LombaEsaiPolitik