Seorang kerabat berkabar kalau pembangunan mall baru di tengah kota telah kelar. Di dalamnya terdapat tempat bermain anak yang saat ini lebih akrab dengan sebutan Playzone. Ini kabar gembira bagi anak-anak dan saya memiliki anak, maka saya pun mampir agar Viona, anak saya, gembira.
Viona bermain dan saya menjauh, lalu duduk di antara kerumunan orang tua lainnya. Istri saya heran lantaran saya tuntut untuk melakukan hal yang sama. Ia waswas dan saya bilang: "sama, aku juga waswas!" Maka sesekali kami mengintip Viona untuk memastikan ia baik-baik saja. Dan tentu ia baik-baik saja.
Itu awalkali kami menjauh. Biasanya kami menjaganya terlalu dekat, sedekat ajudan saat mengawal presidennya. Kami khawatir bila hal buruk menimpa anak kami. Entah itu tersenggol anak lain, jatuh di kubangan atau meronta-ronta lantaran tak mampu mengatasi bungkus permennya.
Saya rasa beberapa orang tua lain pun serupa, kerapkali cemas bila anaknya kenapa-kenapa. Maka wajar bila beberapa cara dipakai untuk mengusir kecemasan itu. Misalnya, mengekor si anak kemanapun ia pergi. Atau mempekerjakan Asisten Rumah Tangga (pembantu) untuk mengawasi anak setiap waktu.
Dua, tiga malam yang lalu, secara tersirat Jessica Joelle bertanya kepada saya melalui bukunya yang berjudul: "The Danish Way Of Parenting." Apa masalah terburuk yang akan menimpa anak bila orang tua membebaskannya bermain?
Berebut mainan adalah masalah. Saling sikut pun sama, itu masalah juga. Begitu pula mengantre giliran meluncur di perosotan. Yang paling ngeri bila buah hati kita tercampur dengan anak-anak yang usianya tak setara. Ini seperti merelakan anak kepada raksasa agar direbus dagingnya dan dilumat cuma-cuma. Anda tahu, postur tubuh dua orang anak yang berselisih usia dua tahun, bisa sangat berbeda.
Tentu ada satu, dua atau lima masalah. Tapi rasanya sulit bila digolongkan dalam kategori buruk. Ia tidak akan trauma bila hanya tersungkur dari sepeda. Apalagi cuma kalah berebut mainan lantaran lawannya seukuran anak gajah. Bukankah itu hal biasa?
Anak saya sering terjatuh dari sepeda. Padahal sepedanya dilengkapi dua roda kecil yang membantu keseimbangannya. Betapa payah, bukan. Menangis? Tentu saja. Bahkan ada luka di lutut kanannya. Ia mengadu dan saya menjawab: "Bermain sepeda pasti terjatuh. Kalau tak mau jatuh, jangan main sepeda."
Saya sering menyuapinya dengan kalimat semacam itu setiap kali hal buruk menimpanya. Dengan harapan, ia mengenal apa itu pilihan dan risiko yang diam-diam sembunyi di baliknya.
Anda mustahil menggunakan kalimat: "setiap pilihan selalu ada konsekuensinya." Ini terlalu canggih. Anak Anda bukan Optimus Prime. Logikanya belum secanggih itu lantaran bahasanya masih terbata-bata dan pengalamannya sekecil kerikil, bila tidak bisa disebut upil.
Ini sekaligus alasan kenapa orang tua harus hidup dalam budaya literasi yang baik. Sehingga logika-nya bagus dan peristiwa rumit yang menimpa anak dapat segera disulap menjadi satu, dua kalimat sederhana yang anak bisa pahami.
Di lain sisi, cara itu seperti menandur bibit pada alam bawah sadar anak. Ia kelak akan paham bahwa setiap pilihan selalu berkonsekuensi. Sehingga memiliki daya mengkritisi sebelum melakukan atau memilih sesuatu. Anda boleh saja mengucap: "Cup-cup, makanya kalau main hati-hati!" dan keesokan harinya ia akan kembali bersepeda. Tapi apakah akan tumbuh kesadaran baru? Menurut Jurnal Parenting yang saya baca, tidak.
Bagi orang dewasa, "hati-hati" mudah ditafsirkan dengan akurat. "Hati-hati, di sini banyak maling" misalnya. Orang dewasa yang mendengarnya akan segera menjaga dompet atau melepas kalung emasnya. Tapi bagi anak, "hati-hati" sulit dimaknai dengan jelas. Ia tentu manggut-manggut, tapi itu tak menjamin ia mengerti sepenuhnya.
Bahkan tak sedikit orang tua yang menghindarkan anak dari masalah. Melarangnya melakukan sesuatu hanya karena sesuatu tersebut pernah menyebabkan luka. Tetangga saya pernah berteriak: "Jangan lari-lari, nanti jatuh!" Saya yakin Anda pun sering mendengarnya. Kendati sepele, nasihat itu sangat menggelikan.
Apa-apaan ini. Mereka (anak) baru beberapa tahun memiliki kaki, dan sedang asyik-asyiknya menikmati fungsinya, dan orang lain melarangnya berlari, dan orang lain itu orang tuanya. Ini semacam komedi yang garing. Raditya Dika bisa tipes bila mendengarnya.
Setiap orang memiliki masalah. Tapi, masalah Anda dengan klien tak membuat Anda berhenti menemuinya. Istri Anda rutin hadir arisan paling pertama kendati bermasalah dengan beberapa pesertanya. Proposal skripsi ponakan Anda ditolak berulangkali, tapi itu tak membuatnya berhenti untuk merevisi. Begitu pula dengan anak, ia pun memiliki masalah dan sebaik-baiknya sikap adalah menghadapi bukan menghindarinya atau menghindarkannya, bila merujuk pada tema tulisan ini.
Jessica Joelle juga menulis bahwa anak-anak seringkali menguji situasi yang berbahaya. Mereka memanjat pohon dan berayun di rantingnya. Melompat dari ketinggian yang tak biasa. Tak seorang pun yang tahu dosis tepat atau bagaimana mengelola kemampuan si anak dalam situasi seperti itu. Kecuali anak itu sendiri.
Dalam sebuah masalah, sama halnya orang dewasa, anak dituntut untuk mencari solusi yang di dalamnya terkandung proses berpikir. Inilah alasan kenapa orang tua tak seharusnya selalu ikut campur dalam mengatasi masalah anak.
Terus-terusan menghindarkan anak dari masalah setara dengan melarangnya untuk berpikir. Kelak akan membuatnya malas berpikir mandiri atau merdeka. Dan menjadikannya manusia yang larut dalam tradisi dan budaya lama dan piawai meng-copy paste cara-cara berpikir yang telah kadaluarsa.
Saya tentu tak mau bila kelak Viona, anak saya, hanya menjadi pohon nangka, atau bongkahan batu saat menjalani hidupnya. Yang akan berbuah sendiri tanpa berupaya, yang akan menggelinding bila disampar siapa saja. Entah Anda.