Ada yang terlampau aneh dari pernyataan Amien Rais baru-baru ini. Di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat (31/3), ia mengatakan bahwa jika terjadi kecurangan dalam pemilu, maka rakyat Indonesia tidak perlu mendatangi Mahkamah Konstitusi, menggugatnya melalui cara-cara yang konstitusional (proses hukum), melainkan menggunakan people power, aksi jalanan.

“Kalau nanti terjadi kecurangan, kita nggak akan ke MK. Enggak ada gunanya. Kita people power (aksi jalanan). People power sah,” kata Amien Rais.

Tentu saja, selain aneh, pernyataan Amien Rais itu sangat meresahkan. Yang dihembuskan, lagi-lagi, adalah politik ketakutan; sebuah sikap yang jelas tidak datang sang negarawan, melainkan si provokator.

Bayangkan misalnya kalau hasil akhir Pemilu 2019 ke depan ini benar-benar tidak sesuai dengan harapan Amien Rais, atau umumnya pihak BPN Prabowo-Sandi. Lalu apa yang akan terjadi?

Kalau kita ikuti logika Amien Rais di atas, tentu akan ada ajakan besar-besaran menolak hasil pemilu—hanya karena tidak memuaskan pihaknya, proses pemilu lalu dianggap curang.

Saya khawatir, jika banyak orang terpengaruh mentah-mentah manipulasi people power Amien Rais seperti itu, amukan massa akan bergejolak. Potensi aksi berjilid-jilid berpotensi terulang. Bukan tak mungkin aksi demonstrasi jalanan akan kembali menyesakkan demi hasil pemilu yang diharapkan. Mereka akan setiap hari bikin unjuk rasa sampai tujuan tercapai: pembatalan hasil pemilu.

Apakah langkah people power tersebut terbilang demokratis? Tidak! Sama sekali tidak! Yang Amien Rais akan lakukan justru adalah tindakan anarkis: menggugat secara inskonstitusional.

Saya tidak percaya kalau Amien Rais tidak paham prosedur demokrasi di negara ini. Dalam negara demokratis seperti Indonesia, selalu ada cara konstitusional yang demokratis untuk menyelesaikan masalah, apalagi sebatas perbedaan pendapat belaka.

Misalnya dalam kasus pemilu, seperti pernah terjadi pada Pemilu 2014, yang memberi kata akhir sebagai kesimpulan adalah Mahkamah Konstitusi, yang tentu dengan berbagai pertimbangan menurut konstitusi.

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 sudah mengatur itu. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Putusan ini bersifat final. Terkait sengketa pemilu, MK memiliki kewenangan mengadili perkara perselisihan. Putusan ini bersifat mengikat.

UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pun telah membuka ruang kepada peserta pemilu yang keberatan dengan hasil akhir. Dan Amien Rais, saya kira, sudah paham. Atau memang pura-pura tidak paham demi mencari sensasi?

Sekali lagi, dalam negara demokratis yang menegakkan supremasi hukum, selalu ada cara konstitusional yang demokratis untuk menyelesaikan perbedaan. Jadi Amien Rais atau siapa pun nanti bisa membawa bukti-bukti yang menunjukkan bahwa memang ada kecurangan dalam Pemilu untuk diperiksa MK. Kalau bukti-buktinya cukup kuat, MK bisa saja membatalkan hasil pemilu.

Tapi ingat, hasil akhirnya niscaya berada di tangan atau putusan MK. Hasil akhir itu bukan berdasar people power, apalagi kepentingan Amien Rais seorang.

Siapa pun bisa tidak setuju, termasuk Amien Rais, terhadap putusan MK nanti. Namun, sebagai warga negara yang baik, yang terikat oleh hukum yang berlaku, maka harus patuh dan tunduk pada keputusan MK. Hasil akhirnya tidak bisa diganggu-gugat. Begitulah konsekuensi hidup di negara berpayung hukum seperti Indonesia.

Jikapun Amien Rais memilih tidak percaya keputusan MK, tidak masalah. Hak siapa pun untuk percaya atau tidak. Hanya camkan, hak setiap warga di negara ini terbatas. Hak-haknya dibatasi oleh hak banyak orang.

Lagi pula, elite politik, siapa pun, harus memberikan contoh yang baik. Apalagi Amien Rais bukan hanya elite politik, tetapi sempat menjadi simbol reformasi negeri ini. Ia harusnya bisa jadi contoh dan bukan jadi provokator.

People Power untuk Apa dan Siapa?

People power bukanlah istilah asing dalam kamus per-demokrasi-an kita di Indonesia. Ini memang gerakan rakyat, baik yang melawan atau mendukung pemerintah, yang sah keberadaannya di hadapan konsitusi. Ia selalu dihormati selama ada alasan yang cukup untuk menggerakkannya.

Kepada yang melawan, misalnya, mereka harus bisa menunjukkan bahwa alasan yang dibawanya itu benar-benar valid, bukan semata dugaan apalagi manipulasi fakta. Harus ada alasan untuk mempertanyakan keabsahan pemerintahan yang sah.

Tapi yang perlu dicatat juga, people power, di mana pun, selalu terjadi hanya untuk menumbangkan rezim diktator. Jadi kalau itu dipakai Amein Rais, maka kita harus balik bertanya: siapa yang punya rekam jejak berpotensi jadi diktator? Bukankah justru orang yang sedang Amien Rais bela dan dukung hari ini?

Saya justru menduga, pernyataan Amien Rais terkait people power ini adalah bagian dari taktik. Ia sengaja melontarkannya ke publik agar para pendukung Prabowo-Sandi makin tidak percaya kepada alat negara dan sistem yang sah.

Ya, semacam benteng belaka. Kalau Prabowo-Sandi kelak kalah, misalnya, maka sikap yang akan oposisi tunjukkan kepada pihak yang menang bukanlah sikap legawa, melainkan mengancam akan melakukan hal-hal yang tidak patut. Dan ini wajar bagi mereka yang tidak pernah mau mengakui kekalahan.

Bagaimanapun, MK di Indonesia masih sangat layak kita percaya sebagai wasit tertinggi. MK tetap independen. Sejauh ini, tidak ada indikasi kecurangan pemilu yang serius, kecuali manipulasi kecurangan dari pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.

MK, secara esensi, hanya perlu tunduk pada hukum dan keadilan yang sudah terumus dalam UUD 1945. Tidak seorang pun, termasuk pemerintah, dapat memengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.

Jadi, wahai Amien Rais, belajarlah untuk menerima kenyataan. Kita terima hasil pilihan rakyat Indonesia pada 17 April 2019 nanti. Jangan mencoba memanipulasi people power demi kepentingan pribadi atau golonganmu.