Di awal abad 14 kerajaan Blambangan di perintahkan oleh Prabu Menak Sembayu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit.
Pada suatu hari Prabu Menak Sembayu gelisah karena puteri satu-satunya sakit hingga berbulan-bulan.
Setelah diobatkan ke tabib tidak sembuh akhirnya, Prabu Menak Sembayu membuat sayembara kepada rakyatnya, pada saat itu Prabu Menak Sembayu menyuruh rakyatnya untuk berkumpul di halaman kerajaan dan Prabu Menak Sembayu pun mengumumkan pada rakyatnya.
“Wahai para rakyat-rakyatku... barang siapa yang bisa menyembuhkan puteriku maka dia akan ku kawinkan dengan putriku dan barang siapa yang bisa menghilangkan wabah penyakit di kerajaan Blambangan maka dia akan ku jadikan Adipati. “ ujar Prabu Menak Sembayu.
Setelah Prabu Menak Sembayu mengumumkan rakyat pun langsung berbondong-bondong untuk menyembuhkan puteri Prabu tetapi tidak ada satu pun orang yang bisa menyembuhkan puteri prabu.
Tanpa berpikir panjang akhirnya Prabu pun menyuruh Pati Baju Sangara untuk mencari petapa sakti untuk menyembuhkan puteri Prabu.
“Pati Baju, sekarang pergilah ke bukit carikan orang sakti disana yang bisa menyembuhkan puteriku satu-satunya.” ujar Adipati
“Siap Adipati.” jawab Pati Baju
Pada saat menelusuri goa akhirnya bertemulah dengan tokoh sakti dari negeri seberang dan orang yang di maksud itu adalah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah sembunyi-sembunyi di negeri Blambangan.
a saat Pati Baju Sangara bertemu dengan beliau Pati Baju bercerita dan akhirnya beliau mau menyembuhkan puteri Prabu dengan satu syarat yaitu prabu mau masuk agama islam.
Dan saat syekh Maulana Ishak mengobati puteri Prabu seketika itu penyakit dan wabah langsung hilang.
Sesuai dengan janji Prabu Menak Sembayu akhirnya Syekh Maulana Ishak pun menikah dengan puteri Prabu yaitu Dewi Sekardadu.
Selain itu Syekh Maulana Ishak diberi kedudukan menjadi Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menduduki sebagai Adipati di negeri Blambangan.
Asal mulanya negeri Blambangan mayoritas rakyat disana beragama hindu dan budha dan semenjak Syekh Maulana ishak menduduki sebagai Adipati di negeri Blambangan rakyat disana di suruh untuk berpindah agama menjadi Islam. Hati Prabu pun menjadi panas karena mengetahui hal itu.
Pada saat Dewi Sekardadu hamil 7 bulan, Syekh Maulana Ishak sadar bahwa kalau diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu.
Kasihan rakyat jelata menanggung akibatnya maka Syekh Maulana Ishak pun pamit pada sang istri yang kini hamil tua.
“Wahai tuan puteriku izinkan suamimu pergi meninggalkan negeri ini agar hidup rakyat-rakyat disini bisa damai dan tentram.” ujar Syekh Maulana Ishak. Dewi Sekardadu hanya mengangguk dengan perasaan yang sangat sedih.
Akhirnya Syekh Maulana Ishak pun pergi meninggalkan negeri Blambangan dan istri tercintanya. Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu pun melahirkan bayi laki-laki yang sangat elok rupanya.
Sesungguhmya Dewi Sekardadu dan Prabu Menak Sembayu merasa senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain dari yamg lain karena wajahnya memancarkan cahaya terang.
Lain halnya dengan Patih Baju Sengara, dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang selama 40 hari.
Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembayu. Kebetulan pada saat itu wabah di negeri Blambangan muncul kembali, maka itu Patih Baju segera berubah lagi.
“Wahai Prabu, bayi itu! Benar Gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana dikemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di Blambangan ini disebabkan oleh adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu!” ujar Pati Baju dengan wajah serius.
Sang Prabu pun berpikir panjang karena dalam hatinya dia terlanjur sayang kepada cucunya yang elok dan rupawan itu.
Namun sang Patih masih tetap mencuci pikiran Prabu agar cucunya itu segera di keluarkan dari negeri ini dan akhirnya sang Prabu pun terhasut dengan pikiran keji dari Patih Baju.
Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Akhirnya Prabu pun memilih untuk di masukkannya kedalam peti dan di hanyutkan di samudera.
Di sebuah malam ada prahu dagang dari Gresik melintasi selat bali. Ketika prahu itu berada di tengah-tengah selat Bali tiba-tiba prahu pun tidak bisa bergerak, maju pun tak bisa dan mundur pun tak bisa.
Nahkoda memperhatikan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan dari prahu itu, ia rasa hanya tertabrak batu karang dan seetelah ia lihat ternyata itu adalah peti yang berukiran sangat bagus seperti peti milik bangsawan yang harganya tidak mahal.
Nahkoda memerintahkan untuk mengambil peti itu. Setelah di buka semua orang pun terkejut melihat isi peti tersebut karena memancarkan cahaya terang yang isinya adalah seorang bayi mungil yang elok dan rupawan.
Semua pun gembira melihat si bayi itu, tapi juga mengutuk karena tidak berprikemanusiaan.
Akhirnya Nahkoda pun menyuruh untuk melanjutkan perjalanan ke pulau Bali tetapi awak kapal tidak bisa bergerak dan akhirnya Nahkoda pun menyuruh untuk kembali ke Gresik dan kapal pun berlaju sangat cepat.
Di hadapan Nyai Ageng Pintih janda kaya raya pemilik kapal Nahkoda berkata sambil membuka peti itu.
“Peti inilah yang menyebabkan kapal kami kembali ke Gresik dalam waktu secepat ini. Kami tidak dapat melanjutkan perjalanan ke pulau Bali. ”
“Bayi? Siapa bayi ini? “ Nyai Ageng Pinatih sangat kaget dan diambillah bayi itu dalam peti.
“Kami menemukan bayi itu di tengah laut kiranya tadi perahu kami tertabrak oleh karang dan setelah kami lihat ternyata ada sebuah peti yang berisi bayi itu Nyai.” sahut Nahkoda.
Akhirnya bayi itu pun di serahkan pada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil dan diangkatnya sebagai anak.
“Bayi ini akan saya beri nama Joko Samudera.” ujar Nyai.
“Iya Nyai nama yang sangat bagus, Joko Samudera.” jawab Nahkoda.
Di umur 11 tahun Nyai Ageng Pinatih menyuruh Jaka Samudera untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya.
Awalnya Joko Samudera pulang pergi dari Gresik ke Surabaya dan akhirnya Sunan Ampel menyarankan kepada Nyai Ageng Pinatih agar anaknya tersebut mondok saja di pesantren Ampeldenta agar lebih konsentrasi dalam menimba ilmunya dalam mempelajari agama Islam.
Disuatu malam, seperti biasanya Raden Rahmat berwudhu guna melaksanakan sholat tahajjud, mendoakan murid dan umatnya agar selamat dunia dan akhirat.
a saat akan mengambil air wudhu Raden Rahmad bingung dengan kamar yang ditempati oleh Jaka Samudera karena dari luar terlihat sinar yang sangat terang dan pada saat Raden Rahmad masuk ke kamarnya Raden Rahmad memberi ikatan sarung pada seorang anak yang wajahnya bersinar itu, dan pada keesokan harinya Raden Rahmat mengumpulkan santrinya.
“Siapakah diantara kalian pada waktu bangun tidur ada ikatan sarung? “ tanya Raden Rahmat.
“Saya kanjeng sunan .” jawab Joko Samudera sembari mengancungkan tangannya.
Raden Rahmat pun mulai yakin bahwa Joko Samudera bukan anak sembarangan. Akhirnya Raden Rahmat pun memanggil ibu tiri Joko Samudera dan Nyai Ageng Pnatih pun berbicara sejujur-jujurnya pada Raden Rahmat.
Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri pasai maka Raden Rahmad mengubah nama Joko Samudera diganti menjadi Raden paku.
Setelah berusia 16 tahun Raden Paku atau Jaka Samudera itu diutus untuk menimba ilmu lagi di negeri sebrang bersama anak Raden Rahmat yaitu Raden Makdum Ibrahim.
Setelah sampai disana mereka berdua disambut dengan meriah, penuh haru dan rasa gembira oleh Syekh Maula Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi.
Raden paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan di tengah samudera kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih yang kemudian akhirnya disuruh untuk berguru di Raden Rahmat.
Selain itu Syekh Maulana Ishak juga menceritakan riwayat hidupnya pada saat berdakwah di Blambangan sehingga dipaksa untuk meninggaalkan isteri yang sangat dicintainya.
Raden Paku pun menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan karena kemalangan dirinya yang dibuang oleh kakeknya tetapi memikirkan nasib ibunya bagaimana keadaannya sekarang apakah masih hidup atau sudah meninggal.
Setelah tiga tahun berada di pusat Pasai. Dan ia beranggapan bahwa belajarnya sudah cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu akhirnya kembali lagi ke tanah Jawa.
Oleh ayahnya, Raden Paku diberikan amanah sebuah bungkusan yang berisikan tanah.
“Carilah tanah yang sama seperti tanah yang kuberikan. Jika kamu sudah menemukan tanah yang sama maka dirikan pesantren di daerah tersebut.” ujar Syekh Maulana Ishak.
“Iya ayah, saya akan berdakwah di Jawa dan mencari tanah yang sama seperti yang ayah amanah kan kepada saya.” jawab Raden Paku.
Dan akhirnya Raden Paku pun kembali ke jawa dan dan mensyiarkan agama islam di Jawa. Dan pada saat beliau berdakwah melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan yang berhawa sejuk, hatinya terasa damai.
Ia pun mencocokkan tanah yang di bawanya dengan tanah yang tempat ia berada saat itu. Dan ternyata tanah itu cocok dengan tanah yang di beri oleh ayahnya. Maka di Desa Sidomukti itulah Raden Paku kemudian mendirikan pesantren.
Karena tempat itu dataran tinngi atau gunung maka pesantren itu dinamakan Pesantren Giri.
Atas dukungan dari ibunya dan juga dukungan sepiritual dari Sunan Ampel, maka dalam waktu tiga tahun nama Pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara. Raden Paku pun dikenal dengan nama Sunan Giri.