Sejarah Islam mencatat bahwa banyak bermunculan aliran-aliran didalam Islam setelah adanya konflik panjang yang dimulai dari Khalifah Utsman bin Affan sampai Ali bin Abi Thalib. Berawal dengan terbunuhnya Utsman, yang kemudian kepemimpinan digantikan oleh Ali. Akibatnya terdapat konflik-konflik  yang tidak terhidar-kan.

Perang Shiffin menjadi tanda Kalahnya Ali bin Abi Thalib dalam diplomatik sehingga Ia kehilangan Legitimasi politiknya. Legitimasi itu beralih kepada Mu'awiyah mengakibatkan para pendukung Ali malancarkan protes, dan membentuk kelompok sendiri, yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum Khawarij (pembelot)  ( Nurcholish Madjid : 1984). Kaum ini juga disebut dengan kelompok ekstrimis, yang mana pada awal perkembangannya mereka melakukan gerakan-gerakan sosial-politik dengan tujuan untuk mengulingkan kekuasaan Ali dan Mu'awiyah. Yang pada akhirnya hanya dapat membunuh Ali, sedangkan Mu'awiyah tidak bisa ditembus oleh mereka karena sudah belajar ke Romawi dalam hal melindungi diri.

Di samping melakukan gerakan-gerakan tersebut kaum Khawarij juga menanamkan doktrin bahwa golongan yang berselisih mereka itu kafir,kecuali yang tidak berilmu di antara mereka, semuanya diberikan penangguhan hukum kafir hingga dakwah sampai kepada mereka. Begitupun Negara atau wilayah yang tidak sepaham dengan mereka sebagai negara yang fasik bukan kafir. Membela para pelaku kesalahan dengan syarat satu pemahaman dengan mereka, tetapi mereka tetap kekal dalam neraka. Mukmin adalah orang-orang yang sepemahaman dengan mereka.

Selain Golongan Khawarij yang mengeluarkan diri dari barusan Ali, di Damaskus juga tumbuh aliran Murji'ah sebagai reaksi atas sikap yang tidak mau terlibat dalam upaya"kafir mengafirkan"terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimna yang dilakukan kaum khawarij.  Menculnya kelompok Murji'ah ini dilatarbelakangi oleh persoalan politik antara Ali dan Mu'awiyah bin Abi Sofyan. 

Murji'ah sendiri adalah kelompok atau aliran yang tetap berada dalam barisan ali bin Abi Thalib. Berkembangnya aliran ini antara lain dengan gagasan irja' atau arja'a yang dikembangkan oleh sebagian sahabat sebagai penjamin persatuan dan kesatuan umat islam .gagasan irja' merupakan doktrin murji'ah,yang muncul pertama kali sebagai gerakan politik diperlihatkan oleh al-hasan bin Muhammad al-hanafiyah.

Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah W. Montgomery dalam Rosihan terdapat beberapa diantaranya, 1.) Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga memutuskannya di akhirat kelak, 2.) penangguhan Ali untuk menduduki rangking ke empat dalam peringkat al-Khalifah ar-Rasyidin, 3.) pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah, 4.) doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptic dan empiris dari kalangan helenis.

Jika abad ke-1 dan akhir Hijriyah menculnya kelompok Khawarij serta Murji'ah maka pada abad ke- 2 Hijriyah muncul aliran Mu'tazilah di kota Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Kemunculan aliran ini kira-kira bertepatan dengan kepemimpinan Kekhalifahan Umayyah khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Aliran Mu'tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil Bin Atha' yang menanyakan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (Murtakib Al-Kabair)kepada gurunya Hasan Al-Basri. 

Konon katanya Hasan ditanya tentang penilaiannya tentang seorang Muslim yang berdosa besar, tetapi sebelum ia selesai dengan penjelasannya, Washil Bin Atha', muridnya yang cerdas mengintruksi dengan mengatakan bahwa Ia tidak setuju dengan faham kaum Khowarij (pendosa menjadi kafir) maupun faham kaum Murji'ah (menilai tetap sebagai Muslim).

Harun Nasution dalam Teologi Islam menjelaskan, Mutazilah adalah golongan yang membawa persoalan teologi yang lebih mandalam dan bersifat filosofi. Artinya dalam membahas persoalan persoalan agama, kaum Mutazilah lebih banyak menggunakan akal yang lebih bersifat rasional. Mereka juga mendapat julukan sebagai “kaum rasionalis islam”. Aliran ini yang kemudian melahirkan banyak tokoh intelektual Islam pada masa kejayaannya.

Seiring dengan perkembagan Mu'tazilah serta dalam penyebaran pahamnya terjadi suatu peristiwa yang menjadi lembaran hitam dalam sejarah perkembangan aliran tersebut. Khalifah al-Makmun yang menerapkan prinsip amar makruf nahi munkar melakukan pemaksaan paham Muktazilah dalam seluruh jajaran pemerintahannya.Dalam pemaksaan paham-paham Muktazilah ini banyak ulama yang menjadi panutan masyarakat menjadi korban penganiayaan. Salah satunya Imam Ibnu Hambal yang berpedoman seorang yang berpedoman terhadap Al-Qur'an dan Hadist, yaitu tidak mengikutinya Imam Ibnu Hambal terkait Al-Qur'an itu Mahluk (pemahaman teologi Mu'tazilah).

Keadaan demikian, muncullah Abu Hasan al-Asy’ari dengan paham teologi baru yang berusaha menampung aspirasi rakyat dengan berpegang teguh pada Al-Qur'an, sunah Nabi Muhammad SAW dan tradisi para sahabat. Aliran teologi baru ini kemudian dengan nama Asy’ariyah. Paham-paham yang dikembangkan oleh Asy’ari ini banyak yang berbeda dengan paham-paham yang disebarkan oleh Muktazilah.

Sama halnya dengan aliran-aliran Khowarij, Murji'ah, Mu'tazilah, aliran As-Asy’ariyah juga memiliki doktrin-doktrin atau pemahaman tentang teologi. dapat disebutkan bahwa terdapat beberapa kajian pemahaman kelompok As-Asy'ariyah diantaranya, tentang Sifat Allah, kedudukan Al-Qur’an, melihat Allah Di Akhirat, kebebasan manusia dalam berkehendak, tentang Akal, wahyu dan kriteria baik dan buruk, tentang dosa Besar dan keadilan Allah.