Membahas mengenai politik sangatlah begitu menarik. Tapi, tidak semua mau dan betah untuk berbicara lama-lama tentang politik. Seakan-akan politik itu adalah perihal yang mubazir bila digali dan diperbincangkan sampai otot nadi mengurat.

Politik dipahamai sebagai strategi ataupun taktik untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu, melalui proses dialektika ataupun gerakan paksaan yang parasitisme –halal haram kadang dilupakan. Gerakan politik dan prosesnya yang kadang membuat cemberut salah satu individu atau kelompok, membuat muak beberapa orang untuk berbincang politik. Lalu, apasih untungnya kita berbincang tentang politik?

Sebelum itu, yang menarik untuk kita dedah ketika angkatan muda atau tua sudah mati dan tak mau berbincang tentang politik. Tersenyum dan bangga bagi mereka pemain politik yang sedang bermanuver untuk menggerogoti negara dengan cita-cita adil dan makmur. Tidak ada transfer informasi dan mati atas kesadaran adalah bahaya bila kita acuh dan alergi pada kondisi politik.

Politik tidak melulu tentang keterkaitan pemerintah setingkat negara. Hidup  di lingkungan RT dan RW memiliki peran bagian politik. Masyarakat adalah bagian dari komponen politik. Kita tidak bisa jauh, ataupun menolak dari sistem yang dibentuk dari politik. Tidak ada arahan lain selain memang untuk mengunyah dan melek terhadap politik kalau tidak mau jadi objek politik.

Politik sumber masalah

Populisme dari politik yang kadang hanya mengangkat salah satu nama dan kadang kental dengan nuansa gontok-gontokan, membuat geram dan tak banyak menganggap skeptis dan membuang-buang tenaga untuk dikaji. Menjamurnya korupsi dan kerusakan lingkungan menjadikan politik tak seksi untuk diperbincangkan di beberapa kalangan.

Penggundulan hutan, penguasaan tambang dan konflik agraria tak jauh dari manifestasi buruk politik. Paradoks untuk membenci dan acuh kepada sistem politik. Semakin kita menjauh, semakin empuk para politikus kotor untuk bermanuver dengan lihai menggapai kepentingan kelompok mereka.

Fanatisme kepada tokoh politik kadang menimbulkan perepecahan. Lagi-lagi yang menjadi korban adalah masyarakat. Memang tidak bisa kita pungkiri, dikarenakan masyarakat adalah komponen dari politik. Kesadaran merupakan momentum vital bagi masyarakat atas konsep politik yang tengah berjalan. Tanpa ada kesadaran, akan pasif dan tak dinamis. Tidak ada opsi lain selain menerima dan memberontak secara ide dan perilaku begitulah kata Camus dalam absurdismenya.

Pergolakan di Myanmar dan Thailand, bukanlah suatu proses instan, ada sebuah wadah dan kekuatan masyarakat dimana benar-benar melek dan berani terlibat. Walaupun berujung penumpasan besar-besaran demonstran yang melanggar hak hidup manusia.

Di Indonesia baru-baru ini dikagetkan dengan pemecatan 75 Anggota KPK karena tes kebangsaan menuai polemik setelah direvisinya UU KPK pada 2019 lalu. Geromobolan mahasiswa telah melakukan kritik karena adanya kesadaran probabilitas terusiknya eksistensi KPK untuk menumpas KKN. “Tok.” Na’as, tetap saja disahkan revisi UU KPK, membuat skeptis pada politik semakin menjadi.Ketika sudah mati atas kesadaran yang ditawarkan oleh politikus dengan sering mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat, maka harapan demokrasi bisa jadi punah.

Sublimasi kesadaran

Munculnya layanan aplikasi dengan klaim mencetak uang atau bahkan hipnotis aplikasi sehingga rela pengguna menggoyangkan pinggulnya berkali-kali dengan tujuan like dan mendapatkan insentif berupa e-money, membuat kondisi semakin pelik. Mereka lebih tertarik pada aspek praktis seperti mendapatkan uang dengan cepat dan setelah itu dihamburkannya untuk konsumsi dunia maya.

Dongkrakan psikologis karena bombardir jumlah like, membangkitkan dopamin dan berimbas pada hal-hal pelik seperti politik akan dibuang jauh-jauh. Berbicara layaknya Ir. Soekarno dan harapan menjadi intelektuil seperti Moh. Hatta, tak lagi popular karena harumnya telah tertimbun kebusukan sistem politik yang tak kunjung membaik.

Pakaian nyentrik, balutan kemewahan yang ditawarkan oleh media sosial, secara langusung merubah opini pengguna media sosial. Seakan-akan hidup itu tentang nyentrik dan mampu membeli parfum seharga kuda poni. Patut dan tidaklah kaget bila saja negeri ini semakin hari semakin ambruk soal kebudayaan, kesopanan bahkan mentalitasnya.

Belum lagi narasi “Partai kami bersama rakyat miskin.” Sudah menjadi jargon klasik dan sering menjaring ribuan korban. Mereka terbelenggu oleh pangkat kegamaan sampai kepremanan dan mirisnya juga gelar intelektuil yang dianggap mampu mengatasi kondisi negeri yang jauh dari cita-cita bangsa.

Gerakan besar tolak UU Omnibuslaw, hingga revisi UU KPK menyentil para pemegan kebijakan atas kesalahan regulasi. Proses penolakan telah dilakukan namun berujung pada pengesahan rentetan UU yang kontroverisal itu. Memantik kesadaran secara penuh tidak bisa setengah-setengah, harus ada sebuah kontinuitas untuk bisa tetap fokus mengawal problematika yang sedang terjadi.

Gerakan hari ini tidak bisa semasif dengan gerakan pada era 98. Kondisi telah mengalami perubahan sedemikian rupa. Kelompok pengakumulasi modal sudah mulai berselingkuh dengan pemegang kebijakan. Kemesraan mereka memunculkan parlente-parlente baru hingga penampung proyek besar hibah dukungan politik. Disamping itu, Rakyat-rakyat miskin dengan mata berbinar-binar masih berharap belas kasih penguasa, namun tak sedikit mengecamnya.

Angkatan muda lebih sibuk ngurus perihal praktis semata dibanding giat dalam beberapa agenda-agenda diskusi untuk memperkuat wawasan tentang kebangsaan. Bahkan kecaman bagi para orang-orang kritis di kampus pun bakal terjadi. Bila masalah itu tak cepat-cepat di perbaiki, anti intelektualitas bakal menggerogoti isi kepada anak muda Indonesia yang digadang sebgai penerus bangsa. Siapun itu, angkatan muda atau tua, harus bisa berfikir dengan tepat, taka da pengkotakan satu dengan yang lainnya. Bila itu, cocok  untuk bangsa dan negara. Jangan dihindari! Sekian.