untuk kedua kalinya aku akan merasakan gejolak petang yang mulai beranjak larut. Awan-awan mulai turun ke bumi, menyelimuti dingin yang dirasakan mata. Waktu tak dapat diperkirakan, begitu pun pagi yang terasa semakin jauh dan tak pernah berlabuh dalam bayang-bayang penyesalan.
Semua takdir tampak seperti penghianat, datang hanya untuk memberi harap dan pergi meninggalkan luka. Atau mungkin semesta yang menunjukan fatamorgana di antara taman-taman ilalang dalam persinggungan waktu yang terasa sempit.
Semua itu terjadi dalam sekali kedip mata. Tubuhku seolah di disain untuk melupakan apa yang tumbuh subur namun dibunuh oleh arogansi. Melupakan jejak sejarah yang membuatku terbang tinggi namun lupa bahwa sayap hanya untuk mereka yang bertahan dalam idealisme dan arogansi untuk berkuasa.
Sifat itu secara naluriah menunjukan titik lemah sebagai manusia dalam diriku. Aku ditakdirkan bukan untuk terbang dan melihat sejauh mana manusia menyembunyikan buku-buku harian yang diletakan pada rak waktu mereka. Seolah, bumi tempat yang semestinya aku pijak. Namun tidak, aku ditakdirkan tenggelam dalam samudra yang tak memiliki dasar. Begitu jauh, hingga setiap aku sadar, seolah aku telah menghampiri dasar.
Sialnya, dalam gelap, ketika kabut mulai semakin lebat. Aku tenggelam semakin dalam. Pola semacam ini terus berlanjut seiring berjalannya waktu. Sampai di mana aku tersadar bahwa tidak ada jalan menuju permukaan, apalagi untuk terbang.
Lihatlah jika kalian memiliki mata untuk melihat, seberapa dalam samudra ini dan seberapa gelap dan menyeramkannya. Aku akan senang jika kalian di sini, aku tidak lagi sendiri. Akan ada perjuangan lain yang bisa dibicarakan di atas meja makan, atau mungkin di dalam perut paus yang kenyang dengan kapal-kapal karang di atas sana.
Aku telah kehilangan semuanya, bahkan waktu telah menjauh dan kenyataan bahwa relasi sosial yang fluktuatif telah hancur berkeping-keping. Apalagi yang bisa dilakukan oleh manusia sepertiku, dengan kekosongan, manusia sudah tidak memiliki arti.
Bahkan memilih untuk tidak berarti di tengah fakta bahwa aku sedang mengalaminya adalah sebuah ketololan yang tidak bisa dimaafkan. Manusia memang dikutuk untuk berusaha. Berusaha untuk berarti dalam hembusan nafas yang tersedak.
Kekejaman ini belum berakhir, bukan saatnya berharap akan ada hari di mana semuanya akan kembali lebih baik, setidaknya berhasil melihat permukaan. Hanya mempertahankan kesadaran aku pikir itu sudah cukup sebagai bekal membunuh hari-hari yang semakin terhimpit.
Tinggal menunggu waktu untuk mengakhiri semuanya dengan cara alami. Menghilang sebagaimana ketetapan alam telah mengutuk setiap yang bernyawa untuk hilang dengan atau tidak meninggalkan jejak.
Bagiku itu semua pilihan kecil untuk manusia. Memilih berarti atau tidak. Pepatah lama mengatakan gajah meninggalkan gading dan manusia meninggalkan nama. Hanya saja, siapa peduli dengan zaman yang semakin riuh ini. Menggoreskan nama di setiap benak kearogansian bagiku bukan pilian bijak. Lambat laun, apa yang tertanam dalam benak mereka akan menjadi sarang kekacauan berikutnya bagi mereka yang tidak terpuaskan dengan kutukan hasrat.
Bukankan sebagai manusia kita tidak bisa lepas dari kemunafikan, setiap kepala punya cara kontrol sendiri menghadapi setiap kepala lainnya. Cara bertahan yang mengharuskan manusia saling bunuh dengan cara paling sederhana, yaitu pertemuan, komunikasi dan keegoisan yang saling membabi buta.
Bagiku, itu sebabnya manusia terus bertahan. Dari pertikaian yang dijaga dan pertarungan mempertahankan nama, harkat dan martabat yang seolah menjadi kepemilikan akhir dari manusia.
Semakin bertumbuhnya zaman, kekacauan bukan dapat dengan mudah di reda, namun semakin ganas dan semakin menguras kemampuan alamiah manusia. Yang paling memungkinkan dari proses evolusi manusia selanjutnya adalah kecerdasan yang membawa manusia entah semakin baik atau semakin buruk.
Aku lebih meyakini manusia berada di antara keduanya, karna suatu saat baik dan buruk hampir berbeda tipis dan tidak dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.
Hari ini dan beberapa dekade terakhir. Fakta itu sudah menjadi samar, dikarenakan polarisasi dari kehidupan manusia yang dikuasai kapitalis. Dan akan semakin samar dikemudian hari.
Apa yang perlu manusia harapkan dari samarnya kebenaran. Aku menunggu arogansi selanjutnya dari proses manusia bertahan hidup. Menikmati kekacauan dari balik jendela ruang hampa tanpa ada hasrat sebagai pemenang.
Memandang betapa kacaunya percumbuan waktu ini, mungkin itu konsekuensi logis dari proses manusia berdialektis. Yang selalu menimbulkan gelombang-gelombang baru dari proses manusia tumbuh.
Akhirnya aku akan menyadari bahwa manusia dikutuk untuk terus merasakan penderitaan, terlempar dari surga untuk kemudian berpijak di bumi yang tandus. Beranak pinak, membuat kekacauan, lalu kembali ke alam surga yang kekal.
Yang berlaku baik akan mendapat balasan yang setimpal dari apa yang dilakukan, begitu pun sebaliknya. Hanya langit yang dapat menentukan keadilan. Di bumi kita semua membuat kekacauan dan saling menyalahkan tentang keadilan dan ketetapan yang dirahasiakan oleh langit.