Sore itu, selepas memberikan penyuluhan Pendidik Sebaya (PE) dan relawan mahasiswa asyik bincang-bincang di warung pak Kuntoro. Seminggu sekali kami melakukan penyuluhan pentingnya mencegah Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV – AIDS ke pekerja seks komersil (PSK). Sebagaimana biasanya, selepas kegiatan kami bincang-bincang, keluh kesah anak dampingan, pelanggan, kiwir (pacar simpanan), pakaian, media sosial dibicarakan semua.
Kami bicara lepas, tanpa beban. Kami memang diajarkan untuk bicara apa adanya. Lain halnya dengan beberapa relawan dari mahasiswa yang cenderung banyak diam, terkesan malu, lebih banyak mendengarkan layaknya berada di ruang kelas yang terpenjara.
Sindrom pendidikan dengan metode pedogogi sepertinya telah merasuk sampai ke mahasiswa calon intelektual yang bertugas memberi pencerahan ke masyarakat. Pendidikan ala banking, guru pinter- murid bodoh, tidak ada dialog, terbawa hingga dalam kehidupan.
Seorang PE yang masih muda bertanya pada Ibu Warti yang berusia sekitar 50 tahun.
“Ibu dulu pelacur, tapi bukannya sekarang hidupnya sudah enak, kenapa masih mau membantu kami?“
Ibu Warti diam sejenak, manahan napas. Semua yang ada di sana memandangnya dan menunggu jawaban, termasuk relawan mahasiswa yang sedikit kaget dengan pertanyaan PE tersebut.
“Dengarkan anak-anakku, jangan disela ceritaku, terutama kepada anak-anakku mahasiswa. Aku harap kisahku nanti bisa jadi pertimbangan kalian dalam menilai seseorang. Kepadamu, kami para pelacur berharap, jika nantinya kamu mengajar atau ketemu masyarakat, sampaikan dengan perasaan empati. Jangan menghakimi dan mencela tanpa tahu yang sebenarnya. Itu kebencian, anakku."
****
Iya, aku mantan pelacur, perek, sundel, pekerja seks. Terserah orang menyebutnya apa, tapi sejatinya mereka tidak tahu yang sebenarnya. Suara orang semacam itu, aku anggap suara kentut. Ya, kentut! Kentut itu baunya tidak enak tetapi akan hilang dengan sendirinya terbawa angin, karena tidak memberikan kemanfaatan selain bau. Aku, kehidupanku, anakku, ibuku, bapakku yang sudah tua, semua menjadi bagianku. Bila ada dari mereka yang sakit maka raga dan jiwaku juga sakit.
Seorang ibu melihat anaknya nangis minta mainan, tidak bisa membelikan itu saja sudah bersedih. Apalagi soal makan, perut keroncongan, merengek minta makan, pastilah menderita. Mana ada seorang ibu yang masa bodoh melihat anaknya menangis kerena lapar? Itu hanya ada dalam TV. Kehidupan nyata tidak begitu, pasti menangis.
Terkadang orang bilang, itu hanyalah alasanku saja. Tidak! Aku ulangi lagi, ini bukan alasan. Biarlah para pendakwa mengatakannya. Ini persoalan tanggung jawab, persoalan kemanusiaan, persoalan harapan yang harus diberikan pada anak-anak yang dilahirkan sebagai pewaris masa depan.
Bagaimanapun, anak-anak harus punya masa depan. Punya harapan itu artinya anak-anak harus sekolah. Tugas orang tua harus bisa memberi harapan dengan segala, ketika pemerintah hanya bisa mengobral janji.
Suami Pergi
Bapak-ibuku sudah tua, tidak kuat lagi menjadi buruh tani. Yang bisa mereka kerjakan hanyalah beternak ayam di pekarangan belakang rumah yang sempit. Kedua anakku masih kecil, yang besar kelas 4 SD, dan yang kedua baru berumur 4 tahun. Semua harus kutanggung seorang diri.
Bapaknya anak-anak pergi, sudah lama tidak pernah kembali, sejak anakku yang kedua berumur 1 tahun. Alasan dia pergi adalah untuk mencari kerja di Kalimantan. Ia berangkat bersama temannya, tapi sampai sekarang tidak pernah memberi kabar.
Laki-laki selalu begitu, lupa tanggung jawab bila sudah menemukan kesenangan. Apalagi kalau matanya sudah ketutup pantat perempuan. Lihatlah para lelaki hidung belang ini, seribu alasan pada keluarga, pergi mengunjungi teman, kerja, semua dicocok-cocokkan untuk diterima alasannya, padahal semuanya bohong.
Lelaki itu tidak merasakan sakitnya melahirkan, makanya sering melupakan tanggung jawab. Seperti para politikus kita, merayu dengan janji berbusa-busa, kalau sudah dapat mereka meninggalkan tanpa dosa.
Ibuku terkadang menukar telur-telur dengan beras, ayam dijual untuk membeli kebutuhan sekolah anakku: beli sepatu, baju atau peralatan sekolah lainnya. Pernah suatu saat sepatu anakku sobek hingga terlihat kaus kakinya, ia tidak mau sekolah sebelum ada penggantinya. Akhirnya hasil jual ayam tersebut kubelikan sepatu bekas di pasar loak. Sekolah memang gratis semenjak digulirkan 9 tahun wajib belajar tetapi tetek-bengeknya masih banyak membutuhkan uang.
Mana ada ibu yang tidak senang anaknya kelak bisa sukses. Mana ada ibu yang tidak punya cita-cita untuk anaknya, semua harus dimulai dari sekolah, semua harus dimulai dari uang. Uang penghasilanku sebagai buruh tani jelas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarga.
Jangan bilang cukup. Cukup itu relatif! Setiap orang memiliki batas- batas ketercukupan, cukup menurut siapa, ukurannya apa?
Kalau secara normal makan sehari tiga kali, apakah sehari sekali makan dianggap cukup? Apakah lulus SD, yang penting sekolah, juga dianggap cukup ketika pendidikan menjadi penting untuk mengubah kehidupan dan negaranya. Aku kira itu hanya cara menghibur orang miskin agar menerima, pasrah dan tidak berontak.
Aku katakan cara berpikir semacam itu salah. Salah! Karena setiap orang tua punya tanggung jawab untuk masa depan anak-anaknya. Orang tua harus bisa memberikan harapan pada anak-anaknya. Aku tidak ingin mewariskan kemiskinan pada anak-anakku. Aku ingin anakku jadi "orang", bisa melindungi aku, melindungi orang tuanya dan berguna untuk orang banyak.
Menjadi PSK
Sabar! Sabar itu punya batasannya. Ketika yang tercinta menderita, harus ada upaya untuk mengubahnya. Kita tidak bisa hanya menunggu, harus bergerak. Kehidupanku terus berjalan, anak-anakku perlu pertumbuhan, ibu-bapakku perlu makan untuk mempertahankan hidupnya. Waktu tidak bisa dihentikan, perubahan tetap berjalan. Karenanya aku harus memilih.
Pilihan untuk memutuskan menjadi pelacur itu sudah perjuangan batin yang sangat berat. Bukan karena aku tidak takut dosa, selama orang itu bertuhan, pastilah dia takut dosa, takut nereka. Tetapi pilihan-pilihan demi yang terkasih itu selalu menuntut ada yang dikorbankan, termasuk merelakan diri untuk dilaknat.
Aku kira Tuhan maha tahu. Aku mengerti ada bahaya virus HIV yang mematikan. Itu adalah risiko dari pilihanku. Menurutku, membiarkan anak kelaparan juga sebuah dosa.
Pasti Anda akan tanya, kenapa tidak cari yang lain? Bukannya aku sudah katakan tadi. Ketika jalan lain sudah aku lakukan, di mana orang sok suci, pejabat dan tokoh masyarakat tidak membantu, membiarkan aku berjuang sendiri, maka biarkan aku memilih perjuanganku.
Jangan pertanyaakan soal moral di sini. Karena bagiku, seorang moralis yang melakukan pembiaran pada anak-anak, menutup harapan-harapan untuk masa depannya, lebih rendah dari pelacur yang memberi harapan.
Jangan kira aku tiba-tiba langsung jadi pelacur, butuh waktu cukup lama. Sebelum menjadi pembantu aku sudah mau jadi pelacur, begitu juga setelah keluar dari toko. Aku berpikir berulang-ulang, merenung, membayangkan anak-anakku tumbuh, membayangkan anak-anakku tanpa kerja, membayangkan anak-anakku tanpa bekal. Semua ada dalam pikiranku. Dengan menangis, menangis, akhirnya aku memutuskan jadi pelacur.
Sekarang anakku sudah jadi orang, yang laki-laki jadi tentara, yang perempuan jadi guru. Mereka hidup lumayan dengan keluarganya. Sebagai ibu, ibu dari segala kehidupan, sudah aku tunaikan tanggung jawabku untuk menjadikan turunanku tidak dalam kemiskinan yang akut. Persoalan dosa, itu ada di pundakku. Sementara tanggung jawab anak-anak adalah mengamalkan ilmunya, membantu orang tuanya, dan berguna buat orang banyak.
Tidak ada seorang pun yang punya cita-cita jadi pelacur, kemiskinanlah akarnya. Jika saja negara tidak abai dan bisa menyejahterakan rakyatnya, dan pilihan-pilihan lain bagi kami tersedia, barulah Anda bisa mempertanyakan moral seorang pelacur.
Tetapi, ketika seorang ibu dibiarkan hidup dalam kesengsaraan bersama anak-anaknya, di mana banyak orang korupsi, menjarah uang rakyat, negara tidak hadir untuk melindungi ibu dan anak, pilihan jadi pelacur adalah pertahanan terakhir yang tersisa dengan segala beban dan pengorbanan.
Hinalah mereka yang menghina pelacur tanpa tahu sebab-musababnya, tanpa berbuat apa-apa, tanpa empati. Karena mereka itu tidak lain hanyalah orang yang merasa moralis tetapi tidak lebih bermoral dari lelaki yang datang ke tempat ini.
Kalau Anda tanya kenapa aku masih mau tetap jadi PE sementara pilihan hidup di rumah dengan nyaman bisa didapat dengan dukungan anak-anak, jawabannya karena aku mantan pelacur. Aku memahami kehidupan itu, maka sudah seharusnya sisa hidupku bisa memberikan keteduhan pada pelacur-pelacur yang malang. Minimal mereka bisa memanggil aku ibu.
Kata terakhir itu diucapkan Ibu pelan. Kita yang hadi di sana pun diam, memandang ibu yang meneteskan air. Kami disadarkan oleh seorang mahasiswa yang terpaku dengan pengalaman baru dan langsung merangkul ibu Warti dengan air mata yang menetes haru. Mahasiswa lain yang tadinya banyak diam, mengucapkan terima kasih pada ibu Warti yang telah memberikan pencerahan, pengalaman baru, kesadaran baru sebagai manusia yang sudah seharusnya memanusiakan manusia.
"Terima kasih Bu, Ibu telah mengajarkan kami tentang kehidupan, tentang kemanusiaan, tentang perjuangn seorang ibu untuk memberikan harapan pada pewaris kehidupan. Terima kasih, Bu.” Kata mahasiswa itu sambil memeluk erat Ibu Warti. Kami semua terharu, menemukan kesadaran baru untuk selalu memanusiakan manusia, apa pun latar belakangnya.
Terima kasih ceritanya, Bu. Terima kasih kepeduliannya. Kami akan menuliskan cerita Ibu.