Menyambangi Kota Jogja, kurang lengkap rasanya kalau tidak ngangkring dulu di angkringan yang menjadi ciri khas dari Kota Gudeg. Ya, angkringan memang memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Jogja. Kota yang terkenal dengan biaya hidup serba murahnya ini terbukti dari berbagai makanan yang dijajakan dengan harga ramah kantong, contohnya angkringan.
Tempat makan yang menggunakan gerobak dorong berbahan kayu dengan menu andalannya berupa sego kucing ini tersebar di setiap titik Kota Jogja. Seperti di gang-gang pedesaan sampai di pinggiran jalan besar. Meskipun tempatnya sederhana, namun orang-orang yang datang cukup beragam. Mulai dari tukang becak, mahasiswa, hingga orang yang berstrata tinggi pun ada yang datang untuk makan atau sekadar menyeruput segelas kopi.
Keberadaan angkringan pada kenyataannya tidak hanya menjadi tempat untuk berburu makanan murah saja, tetapi lebih dari itu. Masyarakat bisa saling bertemu dan ngobrol ngalor-ngidul meski mereka sebelumnya tidak saling mengenal. Namun, tak jarang obrolan di antara mereka bisa menciptakan keseriusan dan terkadang gelak tawa yang membuat sunyinya malam menjadi terasa ramai.
Terkadang banyaknya kafe-kafe estetik yang berdiri menimbulkan rasa khawatir jika sampai keberadaan angkringan tergusur. Tapi, jika dibandingkan dari segi harga serta nilai filosofinya, tentu angkringan masih menempati posisi pertama.
Angkringan, Sego Kucing, dan Kawan-kawannya yang Murah Meriah
Selain menggunakan gerobak dorong, angkringan juga identik dengan tutup terpal dan lampu senthir (lampu berbahan minyak tanah). Namun, di zaman sekarang ini sudah banyak angkringan yang menggunakan bohlam berwarna kuning dan ada juga yang menggunakan bohlam berwarna putih.
Karena angkringan biasanya mulai beroperasi sejak sore hari hingga tengah malam. Sehingga membutuhkan penerangan yang diletakkan di tengah gerobak atau di atas makanan. Lalu di depan gerobak tersedia kursi kayu panjang, di mana pengunjung bisa duduk berjajar. Sedangkan bagian pinggir gerobak dibiarkan kosong yang sengaja dijadikan meja untuk pembeli.
Menu yang disajikan angkringan sangat beragam. Menu utamanya tetaplah sego kucing berupa nasi yang tidak sampai setengah centong dan lauk berupa oseng tempe atau sambal teri yang takarannya juga ala kadarnya. Lalu dibungkus daun pisang atau kertas minyak dan diikat dengan karet.
Selain itu disediakan juga sate-satean, seperti sate telur puyuh, sate usus, dan sate ati ampela. Kemudian ada juga gorengan, baceman, makanan ringan, hingga berbagai minuman seperti wedang jahe, susu jahe, teh, jeruk, kopi, dan minuman saset. Makanan itu disusun rapi di atas gerobak, lengkap dengan cerek-cerek berisi air panas untuk membuat minuman.
Nantinya orang yang datang tinggal mengambil saja makanan yang disediakan sembari memesan minum pada penjual. Sedangkan membayarnya urusan belakang setelah selesai dengan cara menyebutkan apa saja yang diambil dan penjual akan menghitungnya.
Ke semua makanan yang ditawarkan di angkringan dijamin murah-meriah, yakni di antara Rp 1.000 hingga Rp 5.000. Harga segitu tentu jauh dengan harga secangkir kopi di kafe yang bisa mencapai belasan atau puluhan ribu rupiah. Sehingga, angkringan memang cocok didatangi oleh siapa saja, terutama mereka yang isi dompetnya mepet.
Mulai dari Ngopi hingga Ngobrol Ngalor-ngidul
Umumnya angkringan didatangi oleh para laki-laki yang ingin makan, ngopi, ngerokok, sambil ngobrol. Baik itu mereka yang dalam perjalanan dan ingin beristirahat sejenak atau masyarakat sekitar yang meluangkan waktu setelah beraktivitas untuk nongkrong di angkringan.
Namun sekarang ini, tidak sedikit juga perempuan yang datang ke angkringan untuk makan di tempat atau dibawa pulang. Apalagi sudah banyak angkringan yang menyediakan alas berupa tikar jika pembeli yang datang jumlahnya banyak.
Waktu angkringan beroperasi dari sore hingga tengah malam memang cocok di saat orang-orang sudah pulang kerja. Meski lelah, namun pergi ke angkringan seolah menjadi tempat refreshing tersendiri. Tiba di angkringan dan langsung duduk di kursi kayu sembari mengambil makanan di depannya. Lalu, datang lagi pembeli yang lain, kemudian duduk di sebelahnya. Secara tidak langsung, kursi kayu panjang membuat antar pembeli duduk berdekatan.
Kedekatan posisi duduk itulah yang akhirnya mendorong seseorang mau tidak mau saling bertegur sapa dengan sebelahnya. Dan dimulailah obrolan dari yang paling sederhana seperti menanyakan “saking pundi?” (dari mana?) hingga obrolan yang serius dan menciptakan gelak tawa.
Momen seperti inilah yang seolah menjadi tradisi dari sebuah tempat bernama angkringan. Orang-orang dari berbagai profesi akan saling membicarakan banyak hal, seperti humor, sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya. Suasana malam, di mana sebagian besar orang istirahat, namun angkringan mampu menjadi tempat bertukar pikiran dan menuangkan unek-unek secara santai.
Sederhana tapi Selalu Jadi Tempat Kembali
Seperti halnya Jogja yang ngangeni dan membuat orang ingin kembali. Begitu juga dengan angkringan, setiap orang selalu memiliki alasan tersendiri untuk kembali. Angkringan memang hanya tempat makan yang sederhana, menu-menunya juga terbatas, kadang harus makan dempet-dempetan. Namun, bagi setiap orang yang datang, ada kesan dan cerita unik yang bisa dibawa pulang.
Bahkan melalui pengalaman ngangkring itu mampu membuat seseorang kecanduan ingin kembali lagi dan bagi mereka yang kembali ke kotanya akan sangat merindukan hangatnya makan sembari berbincang di dekat gerobak angkringan.
Kesederhanaan yang ditampilkan oleh angkringan pada kenyataannya tidak hanya menjadi tempat bagi mereka yang ingin menyantap hidangan murah-meriah saja. Tetapi ada nilai-nilai lain yang secara tidak sengaja ditemukan oleh para pembeli dan membuatnya merasa nyaman hingga suatu saat ingin menyambangi kembali.
Seperti halnya makanan yang disediakan di gerobak angkringan. Umumnya orang-orang ketika datang ke tempat makan tidak sabar ingin segera menyantap makanan yang baru diolah dan dalam kondisi panas. Namun di angkringan, makanan sudah dingin semua dan pengunjung tetap menikmati makanan tersebut. Di samping itu, pengunjung yang datang juga dari berbagai lapisan masyarakat. Sehingga semuanya, yang kaya atau yang miskin, mau tidak mau harus menyantap makanan yang sudah dingin.
Selain itu, penjual angkringan biasanya juga sangat ramah dan tak segan mengajak berbicara pelanggannya. Kemudian pengunjung lain turut terlibat dalam pembicaraan itu. Secara sadar, mereka kembali mengambil makanan di depannya tanpa memikirkan lagi bahwa makanan yang enak itu kalau masih panas.
Dengan begitu, sayang rasanya jika angkringan harus punah di tengah masyarakat Jogja. Angkringan dengan kesederhanannya telah menjadi ciri khas yang bisa terus dipertahankan meski bertebaran kafe yang kini digemari anak-anak muda.
Angkringan akan selalu menjadi tujuan bagi mereka yang ingin mengisi perut namun dengan duit pas-pasan, mereka yang ingin ngopi dengan bonus nambah sedulur (saudara), hingga menemukan inspirasi secara tidak terduga.