Cerita ini melibatkan seorang dosen, mahasiswa berpakaian acak-acakan dan Profesor aneh yang berbicara dengan kertas—serta memendam keinginan menjadi sebuah kipas angin.
Tak lupa pula, kejadian ini mengikutsertakan serangkaian dialog tak kasat mata antara atom-atom dan segala hal yang tak berhubungan di tahun 2026.
Itu ialah masa di mana orang akan menghilang ke dalam gadget canggih. Mereka menyatu hingga jari-jari dan layar menjadi satu. Kuota dan hidup tak terpisahkan. Dan mereka lalu lebih banyak membaringkan otaknya di ruang-ruang digital dan hubungan-hubuangan pertemanan yang tak nyata.
Tak mengherankan perilaku sebagian orang juga semakin ngelantur di zaman itu. Kadang mereka menyandingkan antara hujatan dan ibadah. Hal-hal yang tak terikat dengan yang dipaksakan disimpul mati oleh nalar-nalar sakit. Ada juga petinggi negara paranoid yang berpikiran tentang kuda, demo dengan tunggangan. Atau para pendaku staf ahli Tuhan yang bermulut dua lalu berbicara tentang kebesaran Tuhan dengan kutukan.
/1/
Di dalam kelas dengan suasana tak tenang itu percakapan ini berlangsung. Setelah sebelumnya jubelan rumus, simbol-simbol dan teorema telah berlalu di papan tulis, ruang diskusi oleh dosen muda itu dibuka selebar-lebarnya.
Menit pertama semua mahasiswa diam.
Menit kedua sebagian besar mahasiswa memilih sibuk dengan hal-hal yang berbeda.
Menit ketiga akhirnya ada tangan yang mengacung dari salah satu mahasiswa yang—entahkah akan bertanya karena ingin tahu, kasihan, mengetes kemampuan dosen atau hanya menggugurkan tanggungjawab satu kelas—mengajukan diri ikut larut dalam diskusi.
“Pak, adakah hubungan antara saya yang makan es krim di sini dan orang-orang yang kelaparan di Afrika?” tanya mahasiswa itu. Sekilas pakaiannya terlihat seperti pemulung, tapi jauh di dalam kepalanya, pertanyaannya seperti pengepul yang menjadikannya unik di jejeran bangku bagian tengah.
Kelas menjadi sunyi seketika bersama udara yang didinginkan AC.
Menit pertama dosen muda itu terdiam.
Menit kedua dosen muda itu mengerutkan dahi.
Menit ketiga kelas masih kacau. Di belakang terlihat mahasiswa-mahasiswa lain dengan pakaian lebih sedap dipandang—namun etika yang buruk—memainkan pulpen. Sebagian yang lain berbicara dengan suara yang berbisik. Sebagian lain sedang menertawakan pertanyaan konyol itu. Sebagian lain sedang menggerutu dalam hati berharap kelas segera usai.
Menit keempat seisi ruangan seperti pelangi dengan aneka warna dari aktivitas yang berbeda.
“Iya ada.” Jawab si dosen sambil tersenyum.
Ia lalu memegang dagu dengan jari telunjuk dan ibu jari. Mencoba memusatkan pikiran dan imajinasinya pada pertanyaan yang terasa konyol itu.
Perhatian sebagian mahasiswa dalam kelas kini teralihkan sedikit.
“Apakah itu pak?”
“Hubungannya adalah ketidakterhubungannya. Kecuali ketika es krim itu memacu niat jahatmu lalu kau membunuh presiden negara superpower dan mencuri brankas negara sana lalu membuat hujan uang di angkasa, mungkin itu baru berhubungan.”
“Bapak bisa saja.”
“Haha, hidup tak sebercanda itu.”
Ada jeda sunyi yang kini menyelimuti mereka.
Menit selanjutnya waktu berlalu tanpa ada hal yang terlalu berarti
/2/
Di sisi lain ruang kuliah itu, di tempat yang jauh, seorang Profesor memikirkan hal yang sama juga. Dengan jenggot dan tubuh yang tak terlalu dirawat ia menghabiskan banyak waktu di meja kerjanya. Cakaran bertumpuk, ampas kopi mengering di dasar cangkir dan beberapa kulit kacang yang terserak terlihat seperti nisan sahabat-sahabat setianya nya yang telah dikuburkan.
Tak lupa pula suara bising dari lalat beterbangan di atas sampah bekas bungkus nasi kuning yang ia beli di perempatan untuk membersamai kesendiriaannya.
Lama dalam keterasingan membuat benda mati pun diajaknya bicara. Baginya benda mati dan benda hidup adalah sebuah dikotomi dari sesuatu yang dipaksa berhubungan. Batu yang katanya mati bisa hidup menjadi kebencian di tangan para pendemo, atau senjata yang katanya tak bernyawa itu menjadi upaya makan untuk bertahan hidup. Ia percaya bahwa anggapan benda-benda mati dan benda hidup hanya karena susunan di awal masa. Hasil main dadu Tuhan yang membagi dua akibat, keberuntungan atau kesialan.
Sesekali ia berujar pada dinding-dinding rumah kontrakannya, bahwa hanya karena keberuntungan—atau pun kesialan—ia tidak menjadi kotoran sapi. Dan juga karena keberuntungan, kertas tidak menjadi istrinya.
Dengan kertas ia berbicara sekarang.
“Apa hubungan antara aku dan kipas angin di dinding itu?”
Kertas itu hidup di dalam khayalannya lalu berujar, “Hubungannya adalah kau bukan kipas angin.”
Profesor itu termenung. Memikirkan dalam-dalam tentang kipas angin dan dirinya. Ia cukup merasa beruntung tidak menjadi kipas angin. Tapi apakah menjadi kipas angin akan seburuk itu? Ataukah menjadi berguna seperti kipas angin tidak lebih menyakitkan daripada tuduhan ingin menjadi Tuhan?
Ia meneguk kopi dalam tegukan yang tak biasa. Mengingat peristiwa beberapa belas tahun lalu menyakitkan hatinya. Mungkin itulah muasal keinginannya menjadi kipas angin. Menjadi benda mati yang tidak mengerti arti hujatan dan kesakitan dari perbedaan.
Bersama putaran dari kipas angin, ingatannya melesat ke masa yang perih itu.
Beberapa belas tahun lalu
“Ilmuwan kafir, ingin jadi Tuhan, akan kubakar kau hidup-hidup.”
Teriakan pendemo itu menggema dari seluruh sudut-sudut di sekitar pusat penelitian di kota Makassar Angin Mammiki. Gabungan beberapa ormas agama itu menuduhnya ingin menggantikan peran Tuhan. Banyak informasi yang di sampaikan media itu terpotong.Sebenarnya, hasrat pengetahuannya hanya ingin membuat meja menjadi bayi-bayi dengan mengatur ulang susuaan atom-atom lalu memberikannya pada pasangan yang belum dikarunia anak. Juga mengubah air menjadi bensin sebagai solusi menghadapi krisis energi. Atau mengubah tanah-tanah tandus menjadi makanan yang layak dikonsumsi untuk masyarakat Afrika yang kelaparan.
Kabar itu tercium dengan banyak bumbu-bumbu dan akhirnya memicu gelombang aksi penolakan besar-besaran.
Dia menjelaskan dengan baik pada perwakilan demonstran itu, tapi demo terlanjur pecah dan bentrokan antara polisi dengan demonstran membuat darah tumpah dan batu, senjata, gas air mata, tameng mulai menjadi hidup dengan kebencian-kebencian.
Untuk menghindari jatuhnya korban lebih lanjut ia memilih mundur dari risetnya dan mengasingkan diri di perumahan yang jauh dari kampus. Dengan uang pensiunan guru besarnya ia mengabdikan diri pada kesendiriannya.
Sekarang
“Saya belum coba jadi kipas angin, tapi seandainya saya jadi kipas angin siapa yang akan menulis di atasmu wahai kertas?”
“Mungkin kipas angin yang jadi dirimu.”
Tawanya meledak-ledak, bahunya seolah berguncang hebat, dan waktu membawanya melupakan kenangan itu.
/3/
Percakapan antar atom
“Kau dengar tidak kalau manusia-manusia kurus di Afrika membutuhkan makanan?” tanya Helium ke Hidrogen dan Karbon.
“Apa urusannya dengan kita?” Karbon balik bertanya.
“Hubungannya adalah karena makanan-makanan mereka adalah susunan-susunan kita yang berbeda. Jika saja tanah dan nasi sama, mungkin mereka tak usah hidup seperti itu. Mereka makan tanah saja, bukan dikubur tanah.” Hidrogen menanggapi serius.
“Apa hubungannya kita dengan kelaparan, Afrika dan tanah? Tanya saja pada dosen muda dalam kelas itu, mahasiswa yang seperti pemulung atau profesor yang berniat menjadi kipas angin itu.” Celetuk Karbon.
“Ahh sudahlah. Kita adalah pembunuh sejati. Hanya susunan yang berbeda kita menjadi senjata, menjadi kuburan, atau daging anak-anak kecil yang terpisah dari badannya. Kita telah mengacaukan hidup para manusia.”