"Berikan aku sepuluh pemuda maka akan kucabut Semeru sampai ke akar-akarnya." -- Bung Karno

Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pilkada) serentak jilid II tahun 2017 sudah ditabuh dalam genderang penyeleggaraan. Setiap bunyi bersuara merdu penuh janji politik menghiasi hari-hari. Setiap waktu ke depan, semua media akan memberikan asupan politik bagi warga negara, termasuk pemuda.

Pilkada sebagai bentuk pemilu lokal adalah bentuk pencarian sosok pemipin yang dianggap bisa memuaskan mayoritas rakyat di daerah tertentu. Bagaimana pun, pilkada sudah terwarnai oleh politik kepentingan bagi yang berkepentingan dan patut diperhatikan adalah jarang kepentingan-kepentingan ini memuat kehendak pemuda.

Muncul pertanyaan mendasar, apakah pilkada membuka ruang berekspresi bagi pemuda? Pertanyaan lanjutan adalah bagaimana pilkada mampu mengakomodir pemuda? Kemudian sebagai balasan, apa peran pemuda dalam pilkada? Pertanyaan ini adalah stimulus bagi kita untuk mencubit diri agar tersadar bahwa pilkada telah jauh meninggalkan dunia kepmudaaan.

Mari menjawab dengan sederhana saja. Pilkada adalah pesta demokrasi lokal bagi mereka yang disebut memenuhi syarat untuk hadir dan berpesta dalam demokrasi lokal. Para peserta di data terlebih dahulu, lalu diundang dan diberi kesempatan untuk berpesta dengan menggunakan hak suara. point awalnya adalah pendataan bagi yang berhak di undang dan pemilik suara sah.

Dalam hal ini, regulasi pemilu/pemilukada yang diatur oleh legislatif dan eksekutif memberikan hak memilih bagi mereka yang sudah berusia 17 tahun dan/atau pernahmenikah. Artinya, dimulai dari pemuda hingga yang berbau tanah lah yang dianggap berhak berpesta.

Bila kita mencungkil sedikit aturan pemuda adalah nereka yang berusia 17 tahun hingga 30 tahun. Pemuda ini termasuk dalam daftar yang dikunjungi untuk di data dalam regulasi kepemiluan. Maka wajarlah penyelenggara pilkada memperhatikan pemuda dan memamfaatkan jiwa muda untuk aktif dalam demokrasi. Pemuda harus dilihat dalam kacamata pemuda. Bukan sekedar pemuas nafsu politik karena mereka memiliki hak suara.

Relasi, Pengawas dan Agen Politik

Belajar dari pengalaman pemilu 2014, ya karena belajar adalah kerja-kerja pemuda. Pemilu 2014, pemuda mendapatkan tempat dari penyelenggara pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan peranan berlabel Relawan Demokrasi disingkat dengan RELASI.

Singkatan Relasi dianggap tepat karena pemuda merupakan alat penghubung jaringan silaturahmi terkuat. Pemuda bisa berjalan kesana kemari untuk membangun relasi. Kemampuan komunikasi bermodal semangat diharapkan mampu memberikan peran sebagai agen pendidikan politik demi peningkatan partisipasi publik.

Di lain sisi, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengaktifkan program sejuta relawan pengawas pemilu. Kata relawan sering dianalogikan sebagai kerja bagi yang rela-rela. Nah, kerja yang rela ini lebih melekat kepada jiwa muda yang sanggup berjuang untuk mengawasi dan mencegah proses pemilu agar menghasilkan produk pemilu yang berkualitas.

Baik relasi maupun relawan pengawas, keduanya adalah ranah perjuangan pemuda yang disiapkan untuk dijalankan demi memenuhi hasrat pemuda yang terus bergelora untuk bekerja dan mengabdi kepada nusa dan bangsa. Relasi untuk mendidik dan relawan pengawas dalam mencegah dan mengawasi hasil didikan.

Namun, keterbatasan anggaran dan kurangsiapnya penyelenggara dalam menemukan pemuda aktif menimbulkan ruang kosong bagi pemuda. Benar bahwa masih banyak pemuda yang belum siap beraktifitas akibat kegalauan jiwa muda atau terlalu menikmati kepemudaaannya hingga menjauh dari urusan-urusan politik.

Selain itu, Pemerintahan daerah produk pilkada beserta partai politik belum bisa menyentuh relung hati pemuda. Pada kahirnya tunas apatisme politik berkembang biak bersama para golongan putih (golput). Berdalih dengan alasan tersebut, maka dibutuhkan program aktivasi pemuda dalam mengawal demokrasi lokal demi mencapai bengunan Pemda yang peduli pemuda.

Salah satu cara dengan menghimpun komunitas organisasi dan lembaga yang banyak di isi oleh para pemuda. Penghimpunan ini bertujuan untuk menyebarluaskan pemahaman bahwa pemuda lah pengawal pilkada pahlawan demokrasi lokal.

Mereka penentu pembisik-pembisik politik lingkaran kekuasaan yang bersiul demi membagi sedikit kue keberhasilan kepada pemuda. Agar kue keberhasilan produk pilkada bisa dicicipi dan dinikmati demi menghidupkan peran aktif jiwa-jiwa yang terus bergelora dan siap mengabdi.

Aktivasi Pemuda

Program aktivasi peran pemuda dalam mengawal pilkada tentu harus dilanjutkan. Mulai dari Relasi, Relawan pengawas, dan Agen Politik disinergikan denga pelajar, pemuda, mahasiswa dan politisi muda. Aktivasi peran pemuda wajib ditanamkan sebagai doktrin bahwa pemuda memiliki kewajiban dalam mendidik, mensosialisasikan dan mengawasi pilkada.

Doktrin agen pendidikan politik tentu saja membutuhkan waktu yang cukup lama agar terbangun sebagai mindset.  Kedepan, pemuda harus bersinergi dengan relasi, pengawas dan politisi muda agar mampu memainkan peran dalam sinetron politik pilkada. Program aktivasi pemuda dalam demokrasi kemudian hari menjadi tolak ukur berintegritas atau tidak penyelenggaraan pilkada.

Bila setiap pemuda memberikan pendidikan politik kepada seluruh pemegang hak suara yang diundang dalam pesta demokrasi lokal berjalan secara terstruktur, sistematis dan massif. Maka para undangan akan mengerti, memahami dan turut serta memeriahkan pesta demokrasi lokal.

Jadi ingatlah wahai yang berkepentingan dalam penyelenggaraan pilkada bahwa sudah begitu lama menidurkan peran pemuda. Segeralah mendata pemuda, lalu ajak biacara, doktrin dan tanamkan kepentingan demokrasi, serta berikan penghargaan bagi relawan-relawan muda.

Pada akhirnya kita akan melihat bahwa pemuda kembali mengambil posisi layaknya pemuda tokoh kemerdekaan Indonesia. Pemuda yang sangup mencerdaskan kehidupan politik bangsa dan menekan penjahat demokrasi. Setelah itu semua, partisipasi aktif publik dalam pemilu mencapai target persentasi sebagai bentuk perhitungan suatu kedaulatan rakyat.

#LombaEsaiPolitik