"Meskipun tidak berbadan dua, tapi Ananda sudah tidak suci lagi, Umi," adu seorang wanita muda yang duduk di bangku kuliah itu pada ustazah yang pernah membimbingnya di pesantren lalu.

Seakan balok menyodok ulu hatinya, Umi Anita tercekat. Matanya nanar, lembab. Pandangannya bias. Ia menghela napas. Tak dinyana kejadian tabu itu diakui Ira, mantan santriwatinya dulu.

Belasan tahun ia membimbing, baru kali ini ia dihantam kekecewaan begitu dalam. Dalam sekali. Hantaman yang mengalirkan sungai luka di hatinya. Hantaman yang menggores relungnya tipis-tipis tapi perih tak tertanggungkan.

Belasan tahun ia mengabdikan diri mengurusi pesantren itu. Adakalanya memang muncul santri-santri nakal dengan bermacam tingkah laku. Tapi kenakalan paling nakal biasanya tidak lewat dari mencuri sandal ustadz atau ustadzah, karna, memang curi-mencuri sandal sering terjadi di pesantren. Itu pun tidak sepenuhnya dapat dikatakan sengaja mencuri.

Biasanya, santri hanya iseng meminjam sandal tanpa izin untuk mengambil wudhu, agar telapak kaki tidak kotor saat memasuki masjid. Tapi yang keterlaluan, selain tanpa izin, ia tidak mengembalikan ke tempat semula. Pemilik sandal merasa kehilangan. Saat diinvestigasi, ternyata dibawa oleh santri itu. Dan itu dianggap pencurian.

"Apa yang harus kukatakan kalau kejadiannya begini?" Suara Umi Anita bergetar. "Inilah yang kutakutkan pada pergaulan anak muda saat ini." Lanjutnya.

Ira yang duduk di lantai itu mulai sesunggukan. Melepas air mata yang sedari tadi menggantung di ujung kelopak. Terisak. Sesal merasukinya semakin dalam, berpesta ria di hatinya yang sendu. Sesal begitu kejam menari-nari.

Andai hidupnya adalah piksel-piksel yang bersusun pada garis waktu, dan ia bisa memilih di garis waktu mana ia berada, ia ingin mengulang kejadian saat tahun baru lalu di kosnya itu. Kejadian yang sepenuhnya ia kutuki kini. Namun saat itu, separuh dirinya membiarkan. Separuh dirinya bergejolak.

Tatapan mata dia yang memukau, yang membuatnya mematung, saling menyemburkan percikan api. Pupilnya membesar, menyorot layaknya mercusuar. Hormon-hormon menggelegak, dadanya gemuruh, ketika si dia memberi sentuh. Meski hati kecilnya meronta, tapi separuh naluri liarnya meminta. Mereka pun cepat tenggelam dalam kenikmatan, dalam desahan-desahan.

***

"Kau sudah terperdaya godaan syaitan laknatullah, Ira. Sudah berapa kali itu dibahas dalam pengajian fikih wanita. Zina itu dosa besar." Umi Anita kembali dengan getaran suara penuh kekecewaan.

"Ananda khilaf, Umi. Ananda kacau. Ananda tergoda rayuannya yang memaksa."

"Sudahlah. Mau bagaimana lagi. Semua sudah terjadi. Nasi sudah jadi bubur. Syukur kau mau taubat, semoga Allah yang Maha Pengampun mau mengampuni kau dan dia."

Ira semakin terisak. Ia merasa terjerembab ke kolam noda yang sukar dibersihkan. Ia merasa tubuhnya dibalut lumpur yang tak hilang disiram air.

"Lalu selanjutnya bagaimana?" Tanya Umi Anita.

"Ananda berharap dia mau menikahi Ananda. Karna Ananda sudah hilang perawan sebab dia. Ananda sudah sampaikan kepadanya, tapi ia menolak. Besar harapan Ananda Umi dapat membujuknya, karena ia juga alumni pesantren ini."

Umi Anita membuang pandang ke dedauanan mangga dari pintu yang terbuka di ruang tamunya itu. Lalu ia membetulkan posisi duduknya. Sofa coklat itu terdengar sedikit berdecit.

"Naya! Naya!" panggil Umi Anita ke santriwati di belakang rumahnya yang bertugas bersih-bersih hari itu.

Seorang santri berkerudung tosca bergegas menuju ruang tamu di bagian depan.

"Panggil dia ya! Naya." Seru Umi Anita kepada santriwati itu.

Santriwati itu mengangguk mengerti, lalu kembali ke belakang.

***

Hari berikutnya,

"Bagaimana ceritanya, Dika?" Umi Anita menanyai Dika yang disebut Ira telah mengambil keperawanannya.

Suasana begitu aneh. Canggung. Ada semburat malu di wajah Dika. Juga di wajah Ira yang duduk di lantai bersebelahan.

"Kami..." Dika menjawab lesu, "Berpacaran, Umi. Malam tahun baru itu kami jalan-jalan bersama. Menikmati kembang api tanda pergantian tahun. Hingga saatnya pulang ternyata sudah jam satu dinihari."

"Lalu?" Umi Anita penuh selidik.

"Karena terlalu larut. Ananda terpaksa mengantar Ira ke kosnya. Tetapi teman kosnya ternyata pulang kampung dan ia sendiri. Ananda hendak menginap disana, dan kejadian itu terjadi."

"Kan sudah Umi bilang. Betapa banyak kejadian seperti ini karena diawali pacaran. Kalian tidak akan berpikir saat itu. Kecuali sekarang, hanya sesal yang ada." Umi Anita kembali menarik napas, panjang sekali. "Kau, Dika. Nikahi ira!"

Wajah Dika terangkat. Matanya nanar. Pucat.

"Tidak Umi. Tidak bisa."

"Kau harus bertanggung jawab!"

"Ia tidak mengandung, Umi."

"Tapi, aku kehilangan keperawanan, Bang Dika." Ira memotong dengan gemetar dan isak tangis.

Apa bedanya? Sudah, lupakan saja kejadian itu." Jawab Dika dengan nada suara yang semakin naik.

"Tapi..."

"Sudah. Sudah!" Umi Anita menengahi.

"Maaf, Umi. Ananda pamit." Dika beranjak dari ruang tamu itu, keluar melalui pintu.

"Tunggu!" Umi Anita menghalangi.

Dika tak hirau, ia tetap mantap melangkah pergi.

"Tunggu, bang Dika. Tunggu! Kau ambil kesucianku dan kau tak mau bertanggung jawab!" Isak tangis Ira meledak. Namun Dika tak bergeming.

Terdengar suara motor menderu dan menjauh dari ruangan itu. Ira masih terisak-isak. Umi Anita memandang dedaunan datar, tapi geram. Sore itu sesal tiada reda menghujani air asam di hati Ira.